Shalma menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini dirinya tampil berbeda. Biasanya dia hanya memakai bedak bayi dan liptint, tapi sekarang ia menggunakan make up. Meski tipis tapi bagi Shalma ini berlebihan.
Awalnya ia tidak pede. Apalagi rambut sepunggungnya ia potong menjadi sebatas bahu. Tapi, setelah diyakinkan oleh ibunya, sedikit demi sedikit Shalma menjadi lebih pede.
Kurang lebih sudah setengah jam ia ada disini. Berdiam diri sambil menatap pantulan dirinya dicermin. Anak-anak paskibra diharuskan jam delapan sudah ada disekolah. Dan sekarang, jam baru menunjukan pukul setengah delapan.
Shalma menghela nafas panjangnya dan mengeluarkanya dalam satu hentakan. Entah sudah berapa kali ia melakukan ini.
"Shasa, mau berangkat jam berapa?"
Tiba-tiba saja Dina masuk kedalam kamar Shalma dan menghampiri gadis itu lalu tanganya memegang pundak anak bungsunya.
Shalma mendongak, menatap wanita berumur kurang lebih empat puluhan yang ada di depanya ini. Seketika wajah Shalma berubah menjadi cemberut.
"Bunda, Shasa masih nggak pede" Shalma memanyunkan bibirnya.
"Kenapa? Udah cantik ini kok," Dina memberi seulas senyuman untuk Shalma.
"Tapi..." Shalma menggantung kalimatnya.
"Anak bunda udah cantik kok. Udah sana berangkat. Nanti kalo telat dimarahin lho,"
Shalma menghela nafasnya lalu mengangguk dan beranjak dari duduknya. Kemudian anak dan ibu itu turun ke lantai bawah rumahnya.
Keduanya berjalan sampai ke depan rumah. Shalma melihat ada Pak Wahid sudah stand by di samping mobil hitam milik ibunda Shalma.
"Neng Shalma ya, meni geulis pisan euy,"
Shalma terkekeh kecil.
"Tuh kan, apa bunda bilang,"
"Yaudah bun, Shasa berangkat dulu. Assalamualaikum,"
Setelah menyalami bundanya, Shalma masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Pak Wahid. Shalma menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kananya ke arah Dina dan dibalas oleh bundanya. Perlahan mobil mulai berjalan meninggalkan pekarangan rumah dan melesat menuju SMA Angkasa.
***
Mobil berhenti tepat di depan lobby SMA Angkasa. Shalma turun dan langsung kedalam mencari teman-temanya. Kata Fifi sih, mereka kumpul di aula.
Shalma pun berjalan ke arah aula yang artinya ia harus melewati lapangan basket yang penuh dengan murid-murid yang sedang berolahraga. Dengan perasaan malu, Shalma berjalan sambil menunduk dan dengan dipercepat.
Shalma mengehela nafas lega, ketika dirinya sudah dekat dengan aula. Tapi, kening Shalma mengernyit ketika melihat seseorang berdiri sambil menyenderkan punggungnya ke tembok serta kedua tangan masuk kedalam saku celana abu-abunya.
Shalma memperlambat langkahnya ketika dirinya dan seseorang yang seragamnya sengaja dikeluarkan itu semakin dekat.
Tiba-tiba saja sang lelaki yang awalnya menunduk menatap sepatu converse-nya menoleh ke arah Shalma.
Shalma tersentak kaget. Perasaan gugup dan malu muncul di waktu yang sama. Sedang lelaki yang membuatnya gugup itu mengembangkan senyumanya dengan mata berbinar.
Devan menegakan tubuhnya dan berjalan mendekati Shalma. Raut wajah sumringahnya berubah menjadi cemberut.
"Shal," panggil Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shalma
CasualePenyesalan terbesar dalam hidupku adalah salah memilih orang. Dulu dia my euphoria. Namun lambat laun, euphoria berubah menjadi disphoria. Copyright 2019 Dheafebii.