1 #Embun

32 9 1
                                    

Embun.

Air bertentangan dengan api, saling memusnahkan namun tak jarang juga berdampingan, itu hukum alam yang tidak bisa kau ubah. Beberapa dari kita kadang ingin memperbaikinya, beberapa juga memilih menerima dan membiarkan begitu adanya.

Adanya pertemuan untuk menghadirkan sebuah perpisahan, datang untuk pergi, keberadaan untuk sebuah ketiadaan, seperti bahagia yang selalu akan selaras dengan air mata.

Dalam hal ini, tidak semua orang bisa menerima, namun cara terbaik untuk tidak merasakan perpisahan terkadang adalah jangan pernah menerima sebuah pertemuan, jika tidak ada yang datang maka tidak ada pula yang harus pergi, juga tidak perlu menghiklaskan sebuah keberadaan untuk merasakan ketiadaan.

Terkesan egois dan bodoh memang, namun bagi mereka yang terlalu rapuh, jalan ini akan lebih baik daripada membiarkan sebuah kehancuran yang tidak bisa diterima oleh hati.

"Embun, tolong bawa sisa makananmu jika sudah selesai!" Fokus gadis yang terpaut pada layar televisi itu terhenti. Ia segera beranjak dengan piring kosongnya.

"Sudah kakak bilang, kalau makan sambil nonton tv itu tidak baik." Suaranya tidak menggurui, cara marahnya bahkan tidak akan membuat orang yang dimarahi akan berpikir bahwa dia sedang marah.

Gadis bernama Embun itu kembali duduk tanpa berniat menjawab. Memperhatikan Mentari yang sabar menunggui Oi, kucing jenis anggora berbulu putih bersih dengan sedikit bercak coklat di kaki depan selesai makan.

Sebenarnya secara teknis hanya Mentari yang memelihara dan merawat Oi sepenuhnya, ibu bahkan tidak mengiyakan namun juga tidak menolak saat 5 bulan lalu kucing itu datang.

Sedang Embun yang notabenenya sama sekali tidak menyukai satupun binatang menolakpun tidak akan didengarkan.

"Oi jangan mendekat!" Embun memekik dan segera menggulung kaki kedekapan saat Oi tiba-tiba saja loncat hendak menangkap salah satu jari kaki yang sempat ia mainkan tadi.

Oi balas mengeong polos, berpura-pura mengeluskan dirinya di kaki sofa.

Mentari yang melihat tingkah kedua makhluk terdekatnya itu mendekat sambil tertawa mengejek, ia menggendong kucing pandai akting itu ke atas sofa dan mengelusnya.

"Begitu saja takut, kau bahkan takut pada ikan karena mengira mereka akan memakanmu, kau kira semua jenis ikan itu hiu apa."

Persis seperti seorang adik yang menyebalkan dalam hubungan kakak adik kebanyakan. Bagi Embun, Oi adalah penghuni rumah yang tidak pernah ingin ia ajak akur.

Apalagi nama yang Mentari berikan sukses membuat Embun selalu terdengar seakan sedang menghardik, Oi membuatnya semakin tidak menyukai hewan saja.

Embun beranjak menuju kamarnya, terlalu malas melihat Mentari yang sibuk memanjakan Oi meski hanya sekilas.

Tapi yang ia lihat sekarang sama tidak menyenangkan, ia mendudukkan diri di meja belajar dan memandangi semua yang berada di depannya tak bersahabat.

Bukan hanya Embun sepertinya yang tidak akan menyambut hari pertama sekolah dengan senang. Meski yang bisa dilakukan saat liburan hanya di rumah, sekolah tetap menjadi pilihan terakhir yang tidak menyenangkan.

"Buku coretan, novel, komik...." Embun beranjak mempersiapkan segala hal lainnya yang dibutuhkan besok, berkutat lama di depan lemari baju. Mencari benda benda yang kerap menghilang secara ajaib setelah liburan panjang.

"Selesai." Dia menjatuhkan dirinya di atas kasur, menatap lekat langit kamar. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi besok seakan semua itu tercetak jelas layaknya layar hologram tipis yang tentu saja tidak bisa dilihat siapapun kecuali Embun.

Yah, imajinasi semenakjubkan itu terkadang.

Sebuah ketukan terdengar membuyarkan, disusul dengan kepala Mentari yang menyembul di balik daun pintu. Merasa tidak ada tanda keberatan, dia melangkah masuk dengan santai meraih tas sekolah Embun dan memasukkan beberapa barang.

"Mau mengembalikan barang." Suara itu terdengar menjawab tatapan Embun yang sedari tadi hanya melihatnya tanpa ingin bertanya. Embun ber-oh ringan.

"Kurangi berkutat dengan buku-bukumu, kamu bahkan membawa semua bacaanmu seakan tidak akan bergaul dengan siapapun kali ini." Bukannya tanpa alasan, Mentari bahkan menatap jengah setelah melihat isi tas yang dipenuhi buku bacaan.

Bukan untuk pertama kalinya ia tau bahwa Embun sedang menyibukkan diri tanpa berniat untuk terjun dalam sosial dan berteman. Ia bahkan terlihat menahan diri untuk tidak mengeluarkan petuahnya, sadar semua itu tidak akan mempan meski berkali-kali dia ingatkan.

"Cobalah berteman dengan beberapa orang, tidak perlu banyak. Cukup yang kamu percaya saja sudah cukup." Kata-kata yang bagus, namun tidak semudah itu untuk membuka pikiran hanya dengan teori.

Embun mengubah posisi, duduk dalam radius yang masih cukupjauh hanya untuk memberi tatapan dengan serius pada Mentari.

"Selama aku nyaman kenapa har.."

"Terserah saja." Mentari keluar begitu saja, menutup pintu kamarku setelah menyela dengan wajah kesal. Malas untuk memahas kembali hal yang sudah sering terjadi, dan berakhir tanpa penyelesaian.

Bukan hanya dia yang kesal setiap kali membahas hal ini, tapi Embun juga. Dia tidak pernah mempermasalahkan jika kakaknya itu mencampuri urusan pribadinya, namun untuk satu hal ini. Seakan ada larangan tersendiri yang terus saja Mentari paksa masuki.

Bersikap seolah mengerti apa yang sebenarnya tidak dia mengerti, bagi Embun itu menyebalkan. Memangnya bagaimana orang bisa mengerti untuk sebuah hal yang sama sekali tidak pernah ia alami.

Mentari yang begitu supel dalam bersosial, tidak akan mengerti bagaimana susahnya mendorong diri untuk melihat keluar, sekedar melontarkan sebuah sapaan atau topik pembicaraan.

Dia tidak akan mengerti rasa gugup saat Embun harus bertemu dengan orang baru, dia juga tidak akan mengerti bagaimana rasanya ragu hanya untuk berkata.

Karena hanya satu hal yang membuat Mentari tidak akan bisa mengerti, Mentari bukanlah Embun.

+++

 cerita ini sudah saya remake karena merasa kurang nyaman untuk dibaca, semoga kalian suka ya.

Tolong hargai saya dengan meninggalkan jejak.

Saya jadi semangat publish kalau banyak jejak, sangat diterima saran dan kritik yang mendidik.

Salam hangat.

SEMESTA (bicara tanpa bersuara) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang