2 #Bintang

51 8 5
                                    

Bintang

Sinar matahari datang tanpa permisi, menyelinap lewat cela tirai jendela yang sudah seminggu ini tidak pernah terbuka, lalu jatuh tepat di mata laki laki yang masih ingin terpejam sedikit lebih lama dalam mimpinya.

Dia melenguh, meregangkan badan yang malah terasa sakitnya saat digerakkan.

"Pagi lagi." Dengusnya kasar, tanpa niat untuk bangkit sedikitpun.

Bagi sebagian orang, pagi adalah hal yang menarik. Seperti kertas putih berisi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, banyak hal yang bisa dicoba kembali hanya dengan alasan kesempatan.

Sayang, baginya kesempatan cukuplah satu, tidak ada kesempatan kedua. Kecuali untuk semakin memperdalam luka dan kesalahan.

Sudah seminggu, tapi ia masih belum terbiasa dengan sepi. Bising dipagi hari masih jadi hal yang paling mencolok perbedaanya sampai saat ini, tidak ada lagi tangan yang akan menarik selimut dan merobek tirai dengan kasar.

Tidak ada lagi suara nyaring yang melengking merusak mimpi, juga tidak akan ada lagi pertengkaran gaduh yang menjadi tanda bahwa masih ada kehidupan di rumah ini.

Ah, mungkin saja terlalu melankolis, tapi bermunafik pada diri bahwa sedang baik baik saja juga bukan cara terbaik menghadapi hari rasanya.

+++

Dia melangkah masuk pada sebuah kamar dengan nama "KEJORA" yang terbuat dari kayu.

Kamar yang dulunya selalu bising dengan musik meski sudah berkali-kali dimarahi itu kini sepi. Laki-laki itu bahkan masih ingat bagaimana kakak perempuannya itu tersenyum nakal dengan dua tangan terangkat. Akibat kabur dari tidur siang untuk bermain sepeda dengan tetangga sekitar saat kecil dulu.

Baginya Kejora adalah kakak yang ajaib, sosok yang sama sekali tidak dapat dijadikan panutan dengan semua kecerobohan dan tingkah bodohnya.

Kejora bahkan berubah berkali kali lipat menjadi sangat menyebalkan saat menjewer telinganya tiap kali merasa sensi saat dipanggil tanpa embel-embel kakak.

Padahal dari dulu memang begitu. Lagipula, siapa yang akan menganggap dia seorang kakak dengan sifatnya yang sangat merepotkan.

Meminta jemput tanpa tau waktu, mengajak bermain permainan aneh padahal sudah dewasa, atau bahkan mengelap ingusnya saat flu di lengan jaket dengan manja. Menjijikkan untuk mengakuinya sebagai kakak.

Sayangnya, kebisingan oleh perempuan itu terasa sangat sepi saat tidak terdengar lagi. Terlalu aneh dan menyesakkan.

Dia meraih sebuah benda persegi di atas nakas.

"Si kampret kesayangan." Laki-laki itu mendengus, Kejora bahkan belum sempat mengubah namanya dengan benar dalam daftar kontak.

Kini giliran ponselnya berdering, ada sebuah notifikasi pengingat hari.

Besok lombanya kampret, jangan sampai lupa karena asik belajar ya adikku Bintang. Kita udah taruhan loh!!! INGET, tuh udah di capslock biar inget. Awas aja sampek kalah atau cedera, GK AKU AKUIN ADEK.

Bintang meremas rambut belakangnya gemas, menahan agar tidak ada lagi bulir bening yang jatuh dari matanya.

Sebagai cowok manly harga dirinya dipertaruhkan sekarang, Kejora yang sudah membuat image nya tercoreng tidak boleh menang dengan mudah.

Dia akan membuat perempuan berisik itu harus membayar hutangnya di Surga nanti.

"Mbak, tolong siapin seragam sama semua keperluan buat sekolah besok ya." Ia menyembulkan kepalanya dari pintu, mendapati pembantu rumah tangganya itu sedikit terkejut.

"Eh, masnya udah baikan?" Bintang mengangguk mantap. Mbak Nirah tersenyum sambil mengacungkan jempol terharu, Bintang balas tertawa tanpa suara.

"Aduh mas Bintang keren deh." Pembantunya itu menatap Bintang penuh haru, baginya sudah lama Bintang terlihat redup seakan lupa cara bersinar.

Kematian Kejora yang riang memang cukup membuat suasana rumah terasa mati, tapi melihat Bintang kembali cengengesan membuatnya kembali semangat bekerja.

"Iya, udah tau tuh. Daridulu kan emang begitu, sejak dari embrio." Bintang menekankan kata terakhir sambil menyibak jidatnya, lalu berjalan dengan sok keren melewati Mbak Nirah yang baru saja ingin membuang air pelan lupa pada tujuan awalnya karena sibuk dibuat tertawa.

"Eh mbak, bentar lagi saya mau keluar ya. Bilang mama kalau nanya, kalau nggk nanya yaudah saya jadi ke-gr-an berarti." Dia melambai, mengakhiri bercandaan dan bergegas pergi.

Meski tetap tidak akan yang kembali sama, setidaknya Bintang akan mencoba untuk hidup dengan baik untuk Kejora.

+++

"Pagi pak." Bintang kembali menunduk sopan, meyapa beberapa guru yang keluar dari kantor sekolah untuk bersiap mengajar.

Ia menggerutu dalam hati, berharap guru olahraganya belum pergi mengajar di kelas.

Ini semua sebenarnya gara-gara alarm sialan sehingga Bintang telat begini. Sejak pagi alarm itu gaduh terus mencoba membagunkan membuat Bintang engggan mengalah dan terus mencoba melanjutkan tidur. Padahal ia sendiri yang memasang alarm itu tadi malam.

"Disana!" Bintang bergegas masuk begitu melihat sosok yang dia cari maish berada di mejanya.

"Pagi pak." Dengan tatapan sedikit terkejut, laki-laki berumur 40 tahunan itu melihat jamnya sebentar lalu kembali duduk. Dia tidak mengatakan apa-apa, sengaja memberi sedikit waktu untuk Bintang menetralkan nafas.

"Bagaimana dengan lomba saya besok pak? Maaf saya belum beli paketan, eh tapi dirumah ada Wifi sih." Bintang menepuk kepalanya, mencoba kembali serius.

Pak Indra mengembuskan nafasnya berat. Dia mengetuk ngetuk mejanya dengan bolpen, lalu kembali melihat Bintang.

"Kamu sudah dikeluarkan dari daftar atlet yang akan berlomba besok."

Bintang terkekeh, gurunya yang satu ini memang sering bercanda sejak dulu. Tapi melihat tatapan seriusnya, agak berlebihan menurut Bintang, karena dia juga sedang malas bercanda sekarang.

"Masak karena cuti seminggu saya udah di depak begitu pak, bapak bercanda kan? Ini lombanya sudah besok loh pak." Pak Indra tidak mengubah tatapannya, membuat Bintang bahwa saat ini memang sedang tidak ada yang bercanda.

"Bapak mengerti Bintang, makanya bapak ingin kamu istirahat saja. Apalagi kamu baru saja kehilangan anggota keluarga." Dia beranjak dari duduknya.

"Hal ini juga sudah disetujui oleh Bapak Hadar, saya harap kamu mengerti." Dia menepuk pundak Bintang lalu pergi. Tidak menunggu jawaban kembali untuk perkataan mutlaknya.

"Tapi kan ini perlombaan saya pak, papa saya tidak berhak atas pembatalannya." Beberapa guru yang masih ada di kantor menatap Bintang yang tiba-tiba mengeraskan suaranya.

"Sialan!" Umpatnya pelan, Bintang kembali terkekeh sambil menunduk meminta maaf. Laki-laki tua itu memang selalu saja egois dengan segalanya bagi Bintang. Bintang yakin dia bahkan tidak akan mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan Kejora tanpa tanda sebelumnya.

"Hahhhhhhh!!!" Bintang menendang pintu kamar mandi, tidak peduli dengan pandangan manusia sekitar yang berada disana. Ia meruntuki banyak hal yang terjadi saat ini, papanya, Pak Indra dan juga janjinya pada Kejora.

+++

saya sangat mengharapkan apresiasi para pembaca, jadi tolong tinggalkan jejak ya. dengan begitu saya akan lebih semangat publishnya.

salam hangat

SEMESTA (bicara tanpa bersuara) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang