Satu minggu berlalu dari hari di mana Deva menceritakan tentang Adara pada Dewita. Biarpun dia sudah mendapat respons yang baik dari ibunya, namun segala keputusan tetap ada pada tangan Dewita. Dan hari ini, Deva akan mempertemukan ibunya dengan Adara. Dia berharap segala keajaiban akan berpihak padanya khusus hari ini saja agar rencananya dapat berjalan sempurna.
Semoga saja Adara dapat meluluhkan hati Dewita.
"Kamu yakin dia sebaik yang kamu ceritakan ke Mama?" tanya Dewita sangsi, ketika mereka sudah sampai di lapangan parkir tempat mereka janjian dengan Adara.
"Mama nilai sendiri aja nanti," kata Deva, sambil menarik rem tangan.
"Mama penasaran, apa sih yang buat kamu itu tergila-gila banget sama dia?"
Deva menoleh ke arah ibunya. "Entahlah. Mungkin karena sebelumnya saya nggak pernah ketemu wanita seperti dia."
Dewita melihat binar cahaya yang terpancar setiap kali putranya membicarakan tentang kekasihnya itu. Menambah rasa penasaran Dewita terhadap siapa sosok Adara itu sebenarnya.
Mereka turun dari mobil dan memasuki sebuah restoran kecil yang terdapat di salah satu ruko tersebut. Deva gugup setengah mati, sebab ini adalah kali pertamanya dia mengenalkan perempuan kepada orang tuanya. Dulu-dulu dia merasa tak perlu mengenalkan kekasihnya pada ayah atau ibunya karena dia belum yakin kemana hubungan itu akan berlanjut. Namun sekarang sesosok wanita yang baru ia kenal kurang lebih setengah tahun mampu melunturkan pikiran tersebut dan memaksa Deva menata masa depannya.
"Itu, Ma, orangnya," kata Deva, ketika mereka sudah masuk restoran.
"Mana?" Dewita mengerling matanya ke seluruh arah.
"Itu yang pakai baju warna putih gading," ujar Deva, sambil memutar bahu ibunya menuju tempat Adara duduk.
Adara duduk di salah satu tempat paling pojok dekat jendela. Deva yakin alasan gadis itu memilih tempat tersebut karena lebih sepi daripada tempat lain.
"Dar," sapa Deva.
Adara langsung menutup ponsel yang ia genggam dan berdiri.
"Ma, kenalkan ini Adara. Dara, kenalkan ini Mama aku," kata Deva, menatap Dewita dan Adara bergantian.
Adara mengulurkan tangan lebih dulu dan tersenyum sopan. "Adara, Tante."
Dewita membalas uluran tangan Adara sambil tersenyum. "Dewita."
"Ayo, duduk." Deva memecah suasana canggung diantara Dewita dan Adara.
Kemudian Deva memanggil pelayan restoran untuk memesan makanan. Lalu saat pelayan itu kembali pergi, Deva mencoba membuka topik obrolan yang sebisa mungkin tidak membosankan.
"Ma, Adara itu suka masak juga lho kayak Mama," kata Deva, yang langsung menarik perhatian Dewita.
"Oh ya? Kamu bisa masak apa aja?" tanya Dewita pada Adara.
"Banyak sih, Tante. Tapi yang paling aku kuasai biasanya masakan yang orang-orang terdekatku suka aja," jawab Adara. Dia canggung setengah mati.
Dewita mengangguk-angguk. "Makanan kesukaan Deva, tahu?"
"Tahu, Tante. Tumis buncis, rendang, opor ayam, tempe goreng yang harus direndam dulu pakai garam, terus udang pete balado, sama tumis brokoli dia juga suka," jelas Adara, tanpa diminta.
"Kalau yang dia nggak suka?" tanya Dewita lagi.
"Hm... kayaknya hampir semua makanan masuk mulut dia deh, Tan," kata Adara.
Dewita tertawa kecil. "Rakus kamu," katanya pada Deva.
"Biar nggak buang-buang makanan, Ma," bela Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
RomanceKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...