Dewita meletakkan ponselnya di meja makan setelah berbicara kurang lebih setengah jam dengan Dinda. Mereka membahas mengenai acara pertunangan yang diadakan dua bulan dari sekarang.Awalnya Dewita begitu antusias membahas hal itu, namun ketika ia mengakhiri percakapan tersebut, tiba-tiba dia teringat obrolannya dengan Deva semalam.
Akhir-akhir ini hubungannya dengan Deva menjadi sangat baik. Jika dulu dia hanya menjadi penonton diantara kedekatan Deva dan ayahnya, kini dia bisa menempati posisi almarhum suaminya. Dia sekarang mengerti mengapa dirinya selalu saja bertentangan dengan Deva dahulu, ialah karena dia yang tak pernah bertanya apa alasan Deva.
Dia juga sangat terharu setiap Deva memberinya perhatian yang dulu hampir tak pernah dilakukan putranya.
Seperti kemarin saat Deva memergoki dirinya tengah mengobati luka dipunggung tangannya akibat tak sengaja ketumpahan air panah ketika ingin mengisi termos.
"Mama ngapain?" Deva yang menutup pintu kamarnya dan menghampiri Dewita di dapur.
"Nggak. Ini Mama lagi—"
"Lho! Tangan Mama kenapa?" Belum selesai Dewita menjawab, Deva sudah lebih dulu melihat luka ditangannya dan kotak obat di meja.
"Kena air panas tadi waktu isi termos. Nggak apa-apa, kok."
Deva memegang tangan ibunya lalu meniupnya secara berulang hingga obat yang ditorehkan disekitar luka kering.
"Diperban aja, Ma. Biar nggak kena kotoran, takut infeksi," kata Deva.
Dewita termangu melihat raut khawatir diwajah anaknya. Hampir saja ia berkaca-kaca kalau Deva tak bersuara lagi.
"Saya ambil perban dulu di kamar. Sebentar," ujar Deva.
Dewita mengangguk dan buru-buru menyeka air matanya. 29 tahun dia menjadi seorang ibu tetapi baru sekarang ia rasakan haru setelah melahirkan putranya.
Terdengar suara pintu ditutup dan kemudian Deva hadir membawa perban.
"Besok-besok Mama nggak usah lagi isi termos malam-malam gini. Kan bisa masak air paginya," kata Deva. Dia membalut luka punggung tangan ibunya denhan kain kasa.
"Mama takut nggak keburu masak air. Kamu itu kan kalau sudah keluar kamar langsung buru-buru ke pergi. Jadi Mama takut nggak sempat buatin kamu kopi," kata Dewita.
Deva menatap ibunya setelah selesai melakukan tugasnya. Dia menggenggam kedua tangan ibunya.
"Yasudah. Mulai besok saya akan tunggu selama apapun biar bisa minum kopi buatan Mama. Jadi janji sama saya, Mama jangan main-main ke dapur lagi ya kalau sudah malam," ucap Deva.
"Kok main-main? Memangnya Mama anak kecil." Dewita merajuk.
Deva tertawa kecil. "Yasudah sekarang Mama tidur."
Namun yang Dewita lakukan masih bergeming, memandang putranya.
"Kamu mirip Papa," kata Dewita, nyaris berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
Любовные романыKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...