Susan turun ke ruang makan, Ibunya sedang memasak mie goreng untuk sarapan sedangkan Ayahnya sedang fokus pada laptopnya mengerjakan kerjaan kantor, di meja makan. Ayah Susan tipe orang yang gila kerjaan dan sering mengundang teman-teman sejawatnya ke rumah, silaturahim sekaligus membicarakan bisnis. Hal tersebut berimbas pada Ibu Susan yang menjadi sangat mementingkan keadaan rumah dan begitu pula sikap anak-anaknya agar baik di depan mata teman-teman suaminya. Dion, adik Susan yang baru menginjak kelas tiga SD, menyusul turun dari kamarnya. Ketika melihat Susan duduk, Ayahnya langsung menanyakan perihal persiapan ia untuk seleksi olimpiade kimia SMP tingkat provinsi. Orang tua mereka sangat mahir menjaga kedisiplinan dan ketekunan Susan dan Dion sehingga mengantarkan mereka meraih berbagai prestasi. Pesan mereka selalu sama, prestasi mencirikan kualitas seseorang di mata orang lain serta kesuksesan sangat dekat sekali dengan orang-orang berprestasi.
“Ibu, jangan langsung buang air panasnya ke wastafel. Nanti Tono kepanasan.” Susan secara refleks memperingatkan ibunya yang sedang membuang bekas ari rebusan mie. Seketika itu, Ibunya, Ayahnya, dan Dion memandang tidak suka ke arahnya. Lebih-lebih di mata Ayahnya, seolah-olah rasa jijik juga menyertainya. Ayahnya berdehem dan Ibunya tetap membuang air panas itu. Susan menundukkan wajahnya, ia tahu maksud kode Ayahnya. Berhenti berbicara tentang Tono di wastafel, Intan di kamar mandi, Sarojah di kamar tidurnya, Roni di kamar orang tuanya, Nyai Dasih di pohon depan rumah, dan Kakek Maman di pojok belakang rumah. Ayahnya benci terhadap kemampuan Susan melihat makhluk lain. Baginya hal-hal itu sangat primitif dan merusak nama baik keluarga. Susan tahu itu, namun kadang-kadang ia merasa mereka sama halnya dengan manusia, dan Susan peduli terhadap mereka.
Mereka kemudian mulai sarapan, pukul enam pagi, bagi Ibu Susan sarapan lebih awal maka aktifitas hari itu bisa lebih cepat mulai dikerjakan dan tidak ada kata terlambat.
“Ayah, aku punya ide untuk mempercantik rumah kita.” kata Ibu Susan memulai perbincangan pagi. Lega bagi Susan karena Ibunya tidak lagi membicarakan prestasi dan rencana studi Susan maupun Dion yang sudah sering dibicarakan.
“Apa itu?” kata Ayah Susan.
“Bagaimana kalau kita tebang saja pohon di depan rumah dan kita ganti dengan beragam tanaman hias. Bu Nana, dua hari yang lalu merekomendasikan tanaman-tanamn hias yang sedang tren saat ini. Lagipula pohon besar itu menimbulkan kesan rumah kita jadi angker.” Ibu Susan melirik sinis ke arahnya.
Ayah Susan seketika antusias. Ia dengan susah payah menelan makanannya. Kemudian ia berkata seraya menganggukkan kepala, “Brilliant, mama. Sangat brilliant. Iya kan, Susan?” Ayah Susan tersenyum ke arahnya. Entah benar-benar meminta pendapat atau tersenyum menang.
Di lain pihak, Susan tidak bisa membayangkan petaka apa yang akan menyambutnya di depan. Ia tahu betul ketidakramahan penghuni pohon di depan rumah. Nyai Dasih seringkali menampakkan diri dan mengganggu orang-orang yang lewat di malam hari. Mengganggu anak-anak kecil sampai membuat mereka demam tinggi. Hanya karena Susan lah, Dion tidak pernah diganggunya. Nenek-nenek temperamental yang sangat menyayangi kucing jalanan yang baginya adalah cucunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Dasih
HorrorSusan punya anugrah khusus untuk berhubungan dengan dunia lain. Namun orang tua dan adiknya tidak menyukai kemampuan Susan. Mereka sebisa mungkin membua Susan menjadi orang normal. Sampai suatu hari, mereka membuat kesalahan dan hanya Susan yang bis...