4. Kampus Kumbang di Kota Kembang

635 106 9
                                    

ITB, Bandung, 1998

Bandung dikenal sebagai kota kembang. Di antara makna kembang yang sering dipahami para pelancong adalah karena mojang Priangan-nya. Kata mereka, 2 dari 3 perempuan di kota Bandung pasti cantik. Terserahlah, perempuan itu penduduk asli atau pendatang.

Jika gelar kota Kembang itu diterjemahkan sesuai tafsir para pelancong, pasti banyak yang tidak sadar bahwa ada sebuah kampus yang tidak seharusnya berada di kota Kembang. Kampus itu bernama Institut Teknologi Bandung atau ITB.

Anak-anak ITB jangan marah dulu! Begini penjelasannya, maaf, ini bukan pelecehan gender, tapi ungkapan fakta. Bidang teknik seringkali tidak menarik untuk ditekuni oleh perempuan, sebagaimana bidang sekretaris untuk laki-laki. Buktinya, lihat saja sekolah atau perguruan tinggi teknik, hampir semuanya laki-laki, sebaliknya sekretaris hampir semuanya perempuan.

Begitu pula kampus teknik yang bernama ITB, di situ lebih banyak laki-laki. Nah, kampusnya kota kembang kok isinya laki-laki? Seharusnya pindahkan saja kampus tersebut ke kota kumbang.

Sayangnya ternyata kota kumbang tidak ada. Lagi pula katanya, kumbang tak boleh jauh dari kembang, jadi biarkanlah mereka berada di kota kembang. Anak-anak ITB sudah setuju?

Satu lagi, menurut survei tidak resmi, perempuan yang kuliah di ITB, secantik apapun wajahnya, wujudnya dipastikan tetap mengandung unsur laki-laki. Pasti ada yang marah lagi!

Tenang! Begini penjelasannya, tampil menjadi perempuan seutuhnya di alam laki-laki memang mengundang banyak resiko, salah satunya yaitu cepat dilamar sebelum lulus. Itulah sebabnya para mahasiswi ITB butuh kamuflase, semacam proteksi alami bawah sadar milik para perempuan yang punya ketertarikan pada bidang teknologi agar selamat menimba ilmu di ITB hingga kelar. Paham nteu?

Rupanya stigma itu sering juga dipatahkan. Sebagaimana tahun ini, telah hadir seorang mojang Priangan ITB jurusan arsitektur yang bak kontestan ajang Miss, Putri, Wanita, Ratu atau apa saja yang punya buntut Indonesia, salah satu yang nekat tampil dengan wujud perempuan seutuhnya. Orang-orang memanggilnya, Dewi Dinata.

Dia seolah pawang macan, sehingga tak perlu menyamar jadi macan saat masuk kandang macan. Lalu bagaimana ia bisa mengatasi para macan ganas di sini?

Menurut analisa sorang alumni ITB yang ternyata malah jadi ahli ekonomi, Dewi punya proteksi lain yang membuat para macan harus mengukur ketajaman taringnya sebelum menerkam. Dia anak orang kaya, Bos!

Faktanya, anak teknik punya semboyan sakti yang mematahkan analisa tadi. Kita anak teknik, Om! Tak ada taring, obeng pun jadi. Obeng bisa ngebuka semua mesin, masak hati Dewi enggak?

Mereka juga memegang teguh pepatah lama yang sangat berguna untuk memotivasi para cowok bokek. Cinta itu buta!

Kehadiran perempuan seperti Dewi di alam laki-laki, menjadi isu terhangat di kampus ini, bahkan ada yang menduga, Dewi sengaja dikirim untuk pengalihan isu utama politik di negeri ini. Lalu apa pendapat Uge?

Ternyata Uge tetap konsisten menjadi manusia dari dimensi lain yang tidak pernah mau sejalan dengan opini publik. Padahal Andi ingin mengenalkannya pada Dewi.

"Ndi, jangan jadi bagian dari kerumunan," kata Uge.

"Maksud lu, Ga?" tanya Andi.

"Hukum permintaan pasar berlaku. Kalo permintaan tinggi, harga pasti bakal naik. Kerumunan penggemar norak kayak elu bakal bikin perempuan itu belagu. Di mata dia, lu cuma salah satu titik dari bola salju besar yang semakin membesar, enggak keliatan, Ndi!" ledek Uge.

"Sialan! Gue udah lama kenal Dewi. Oke! Anggap kami-kami itu titik, lu kan juga titik, terus apa bedanya?" balas Andi.

"Beda! Seandainya gue titik, tapi gue ada di luar kerumunan, jadinya pasti kelihatan," sahut Uge tangkas.

"Terus kalo kelihatan, kenapa?" tanya Andi.

"Menciptakan awareness! Elang itu terbang sendirian, kalo bebek emang berbondong-bondong."

"Heh, perkutut kandang! Bilang aja peluangnya tipis, jadinya elu enggak berani nyoba, hahaha! Gimana sih Kang Bewok, katanya mau nikah muda?"

"Hehe, bukan soal peluang, tapi soal selera. Anggap deh cantik. Terus ini nya gimana?" tanya Uge sambil menunjuk kepalanya. "Paling bisa masuk sini karena koneksi."

"Wah, suudzon banget lu, Ga. Dewi itu paket lengkap, udah pinter, cantik. Mau cari di mana?" tanya Andi membela selebnya.

"O gitu? Kalo dia emang punya dua kualitas itu, dia akan cari yang kualitasnya sama. Dia enggak bakal susah nyari gue, gue kan enggak nyelip di kerumunan," jawab Uge.

"Iya juga sih. Di sini emang cuma elu, anak yang betah sendirian terus kaya lagi dimusuhin orang-orang sekampus, hebatnya semua orang kenal dan enggak nganggap lu sombong"

"Gue emang enggak sombong, cuma lagi fokus aja, kan kita punya niat mulia, cepat sukses biar bisa nikah di usia muda,"

"Nah itu sebenarnya alesan gue mau ngenalin lu ke Dewi, dia itu temen gue dari kecil. Ngomong-ngomong, Dewi juga punya kemampuan arsitektur yang enggak kalah sama lu. Bentar, gue nyimpen desain dia."

Andi mengaduk-aduk isi tasnya, Tiba-tiba Dewi muncul bersama kerumunan penggemarnya. Uge dan Dewi saling berpandangan, lalu keduanya mengalihkan pandangan. Beberapa saat kemudian, keduanya saling berpandangan lagi.

Andi menepuk bahu Uge. "Woy, jaga pandangan, Pak Ustad!"

"Astaghfirullahaladzim, dikit doang," sahut Uge.

"Dikit naon? Ngonci itu! 5 detik mah ada," omel Andi sambil tertawa.

"Urang teh Khilaf. Itu yang namanya Dewi?" tanya Uge

"Hahaha! Kerumunan! Kerumunan! Mau dikenalin enggak?

"Enggak usah. Nanti juga dia bakal nyari. Insya Allah, jodoh gue itu," sahut Uge santai.

"Hahaha! Hebat euy. Konsisten pisan iyeu si Blegug."

Akhirnya Uge mengakui di dalam hati bahwa Dewi memang pantas disebut kembangnya kampus kumbang ini.

*****

Bersambung

Vote dan comment anda sangat berarti bagi penulis, terimakasih telah membaca tulisan ini.

Penulis, Indra W

Al Kahfi  Land 1 - Menyusuri WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang