8. Secarik Rasa

536 54 14
                                    

Malam, Ra. Ini saya

Dara menautkan alis, dengan kepala menggeleng pelan ia letakkan ponsel di meja. Satu pesan tidak begitu penting, tapi Dara tahu siapa sang pengirim.

Dihadapkan kembali maniknya kepada bunda yang terbaring berselimut. Dara tersadar, dunianya mulai menua, namun begitu kecantikannya masih tersisa. Tubuh yang kian ringkih itu tak lagi seceria dulu, bibir yang pasi itu jarang mengucap selamat pagi setiap hari. Karena masa telah menelan semuanya perlahan.

"Kuliah kamu bagaimana?" Setelah lama memejamkan mata, bunda bersuara.

Membuat Dara tersenyum tidak jadi menitikkan air mata. "Baik, bunda."

"Ayah tadi ke sini, cari kamu."

Dara tahu, sebab mbak Puput telah bilang lebih dulu. Untung saja saat kedatangan ayah Dara keluar untuk fotokopi, setidaknya dengan begitu hatinya tidak perlu menggerutu.

"Bunda, aku boleh tanya sesuatu?" Beliau mengangguk. "Meski ayah sudah berbuat sesuatu yang tidak pernah kita duga, kenapa bunda masih saja jatuh cinta?"

Nampak beliau mengukir senyum di balik bibir yang pasi, "kalau bunda bisa, bunda ingin sekali membenci ayahmu dari awal. Bahkan bunda ingin menghapus peristiwa pertemuan kita kali pertama. Tapi Dara, sayangnya bunda tidak bisa, karena bunda juga punya rasa, rasa yang tidak bisa dihapus bagaimanapun caranya."

"Tapi bunda, ayah nggak lagi cinta sama bunda."

"Itu tidak jadi masalah, nak. Cinta yang paling mulia adalah cinta tanpa mengenal harap, selagi bunda bisa mencintai, bunda rasa bunda baik-baik saja."

Dara terharu, sampai ingin rasanya meneteskan air mata hingga tersedu. Apa ada manusia yang memiliki cinta paling mulia selain bunda? Kalau ada, sedikitnya Dara merasa bersyukur, karena bumi tidak membiarkan bunda sendiri.

"Tapi tidak ada kata bahagia untuk orang yang mencintai sendirian."

Lagi-lagi beliau hanya tersenyum manis. "Tentu saja ada, nak. Jika hati mencintai tanpa asa, bunda yakin bahagia menyertainya. Jatuh hati itu mengajarkan kita untuk mencintai, sekalipun tidak balik dicintai, setidaknya jangan pernah membenci."

"Kalau saja boleh, aku ingin memilih jatuh cinta kepada siapa. Siapa yang benar-benar dicintai tanpa harus pergi," seperti ayah, lanjut Dara dalam hati.

Bunda menggeleng. "Karena cinta jatuh tanpa memilih siapa, jatuh tanpa alasan mengapa, dan jatuh tanpa pernah diduga. Maka kita sebagai manusia, hanya berhak jatuh cinta. Selanjutnya takdir yang berhak menentukan segalanya."

***

Dara, saya mau bertanya, kamu sudah tidur, ya?

Ini kali kedua ponsel Dara berdenting, gadis yang baru saja tiba di kamarnya itu berhembus napas sebal. Namun meski sebal, entah mengapa Dara berniat membalasnya.

Belum Sena

Dara menarik selimut, menunggu dentingan berikutnya dengan manik terpejam. Namun selang beberapa saat tidak terdengar apapun, justru suara derit pintu yang terbuka menampilkan mbak Puput yang berbisik, "dek Dara sudah tidur?"

Dara menyibak selimutnya, lalu duduk bersila. "Ini apa, mbak?" tanyanya begitu mbak Puput memberi amplop berwarna putih kusam, seolah telah disimpan bertahun-tahun.

"Dari?"

Mbak Puput tersenyum aneh, lalu berkata, "Sena."

"Sena ada di depan?" Dara bangkit dan berjalan hendak membuka pintu sebelum mbak Puput mencegah dengan berkata, "sudah pulang tapi, karena dia ke sini cuma kasih surat untuk kamu."

Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang