(10) Am I The Sims?

267 55 24
                                    

Mauve's POV

Sejak tadi aku menunggu Harry berbicara tapi dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Bahkan ketika dia menjemputku, dia hanya membunyikan klakson mobilnya. Aku ingin bertanya dia kenapa. Tapi rasanya sangat berat. Aku harus memulainya seperti apa. Atau harus aku duluan yang bertanya, "Harry, kau sariawan?" atau "Harry, kau mengalami masalah bau mulut." Yang benar saja.

Kalau tahu begini, lebih baik aku sendiri ke mansion Zayn. Tapi, bukan aku yang meminta Harry menjemputku. Tadi Zayn mengatakan kalau Harry yang akan menjemputku karena Harry juga ada urusan dengan Zayn. Harusnya dia yang datang menjemputku, bukan Harry. Setidaknya jika dia menjemputku aku lebih merasa dihargai.

"Aku merasa bosan, kau bisa memutar lagu atau musik, atau kau mau mengobrol denganku," kataku memberanikan diri untuk bicara pertama kalinya, meskipun aku tidak berani menatapnya. Aku masih menatap kedepan, selagi aku mengetuk jari-jari tanganku diatas pahaku.

"Aku sedang tidak ingin mendengar suara apapun," jawabnya datar. Kalau begitu kenapa dia tidak sekalian mencolok telinganya agar tidak bisa mendengarkan apa-apa lagi. Aku mendengus sebal. Tak lama Harry meletakkan earphone dipahaku.

"Kau punya yang wireless, tidak?" tanyaku agar dia bicara lagi. Kurasa pertanyaanku barusan tidak akan akan mendapatkan jawaban. Aku melihat wajah Harry masih tegang, bahkan tulang rahangnya nampak. Baiklah, aku lebih baik diam sebelum dia menurunkan aku ditengah jalan.

Aku mulai merasa mengantuk. Aku tidak mau tidur, bagaimana kalau Harry diam diam mengambil gambar wajahku yang sedang tertidur sementara gaya tidurku seperti babi kekenyangan. Tidak tidak, lebih baik aku menahannya sampai di mansion Zayn.

"Kau mau sarapan?" aku langsung menoleh ke sampingku setelah mendengar suara. Yeay! Aku barusan tidak salah dengar 'kan. Tapi, bagaimana kalau dia mengerjai aku. Aku mau mendengarnya lagi. "Kalau kau mau, kita bisa sarapan dulu. Aku tidak yakin pacar palsumu itu memberimu sarapan disana ataupun peduli kau sarapan atau tidak."

"Apa?" tanyaku meskipun aku mendengar dengan jelas apa yang dia katakan. Berani-beraninya dia berkata seperti itu. "Kau melakukan dua dosa hari ini."

"Oh selain jadi pacar palsu, sekarang kau juga punya pekerjaan sampingan lainnya sebagai penghitung dosaku?" lihatlah betapa menjengkelkannya dia. Lebih baik dia diam saja seperti tadi daripada bicara seperti sekarang.

"Kenapa kau menyebut Zayn pacar palsuku. Dia punya nama, apa susahnya kau menyebut nama Zayn tanpa mengatakan kalau dia pacar palsuku."

"Kalau begitu kau mau aku menyebut Zayn sebagai dagumu? Kau 'kan beard dari Zayn. Jadi itu tidak salah 'kan."

"Terserah kau saja. Dan soal tawaranmu dan mengatakan Zayn tidak peduli aku sarapan atau tidak, kau salah. Tadi dia mengirimi aku pesan dan menanyakan pagi ini aku mau makan apa, agar ketika aku sampai disana aku bisa makan."

"Wow. Selamat ya, Chamomile." Dia mengucapkan kata selamat saja bisa membuat aku kesal. Hebat sekali dia. "Hmm... kau tahu tidak, kenapa bukan Zayn yang menjemputmu. Kenapa aku sangat bodoh, duh. Tentu saja kau tidak tahu. Biar aku beri tahu, ya Chamomile sayang. Zayn tidak menjemputmu karena harus mengantar pacarnya."

"Woah penting sekali. Tapi sayangnya aku tidak peduli itu."

"Sama-sama," ucapnya lalu tersenyum. Aku akui dia menang. Aku sangat ingin membuat dia sakit hati dengan kata-kataku, tapi kenapa aku selalu kalah dari dia.

Kenapa dia tidak meminta maaf. Pantas saja aku merasa aneh hari ini, ternyata dia belum meminta maaf. Padahal itu kebiasaan dia ketika bertemu denganku. Tapi kata Harry aku adalah orang yang paling sombong yang ia temui karena jarang mengucap maaf dan terima kasih padanya.

ChamomileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang