OO2

132 17 0
                                    

April telah menjadi berganti Mei, dan Wonho tetaplah seorang Wonho.

Tanpa patah semangat, dia tetap duduk di sana, menanti pemuda dengan payung ungunya untuk muncul.

Hanya untuk melihatnya, mungkin kalau semesta memperbolehkan, ingin rasanya Wonho bertukar sapa dan menanyakan siapa namanya.

Sayangnya, semesta suka bercanda.

Berjam-jam sudah Wonho menunggu tetapi tidak ada tanda-tanda pemuda itu datang.

Selembar foto di tangannya menenangkan hati Wonho yang bergemuruh kesal karena penantiannya hari ini juga tidak menghasilkan apa-apa.

Dengan keberanian yang dimilikinya, dia berusaha bertanya kepada beberapa mahasiswa yang lewat. "Maaf, apa kalian kenal dengan orang ini?"

Tidak ada satupun yang mengangguk, semuanya menggelengkan kepala seraya berjalan meninggalkan Wonho sendirian di sana. Menanti seseorang yang bahkan namanya pun tidak ia ketahui.

Sebut saja Wonho bodoh, kenyataannya sudah sepuluh hari dia datang ke kantin itu, duduk di tempat yang sama, dan menanti adanya keajaiban.

Sebut saja Wonho bodoh, kenyataannya sudah sepuluh hari dia datang ke kantin itu, duduk di tempat yang sama, dan menanti adanya keajaiban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hyungwon berjalan melewati lapangan basket dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam sisi kantung celana jeansnya. Tas selempangnya bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti langkah kaki jenjangnya.

Pagi tadi, ramalan cuaca mengatakan bahwa hari ini akan cerah.

Mungkin sang peramal cuaca sedang mengelabuhi masyarakat. Hujan datang tanpa pemberitahuan, tanpa mendung ataupun angin. Langsung turun begitu saja rintiknya dengan sangat deras.

Hyungwon masih melamun ketika merasakan sebuah tarikan di pundak yang membuatnya reflek memiringkan tubuh ke arah sebelah kiri. Matanya setengah terpejam, berusaha menghindari rintik hujan masuk. Tak lama ia merasakan aliran air yang cukup deras tadi telah sedikit mengecil.

Setelah sebelumnya mengusak kedua mata menggunakan tangan, pandangan Hyungwon kini disuguhkan sebuah dada bidang berbalut kaus putih polos dengan sebuah tangan kekar merambat menelusur surai merah muda milik Hyungwon.

Hangat.

Saat telapak tangan besar menatap di puncak kepala Hyungwon rasanya nyaman dan hangat. Jemari itu bergerak menuju poni Hyungwon, satu tangan lainnya sudah bersiap menjadi payung bagi kedua mata Hyungwon. Menempelkan di dahi pemuda Chae tersebut guna menghalau rintik hujan mengenai kedua mata pemuda tingginya.

Dua Kuas Satu KanvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang