Bagi Hoseok bahagia adalah ketika, kedua adiknya bahagia dan selalu melukis senyum di atas wajah mereka. Kalau pun dia harus merasa sakit, tidak masalah. Dia sanggup menanggung beban itu.
Terutama Hyun.
Dia anak lelaki yang paling rapuh. Anak paling kecil dalam keluarga yang harus sangat-sangat dijaga. Dia ingin adiknya yang satu itu baik-baik saja. Maka, dia akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Hyun.
Bukan berarti kehadiran Shizu tidak membuat naluri kakak yang ia miliki untuk selalu melindungi hilang. Tentu saja tidak. Shizu sama berharganya. Hanya, meski dia terlahir sebagai seorang perempuan; anak itu diberkahi rasa berani, kuat, dan tangguh yang luar biasa. Melihat Shizu dapat membuat rasa takut di sekitar Hoseok memudar. Ia adik yang sangat bisa diandalkan.
"Minum kopi lagi?"
Hoseok tercenung saat bibir cangkir yang siap menempel pada mulutnya diambil secara paksa. Tidak bisa dibilang manusiawi juga, ketika pinggirannya terantuk pada ujung gigi seri. Linu luar biasa. Ia meringis nyaris menjerit karena hampir-hampir tak kuat menahan sakit. Belum lagi ada beberapa mili isinya yang menciprat ke arah dada. Buat kotor kaos putih yang sudah Shizu setrika. Biadab sekali memang, lelaki pucat yang satu ini.
"Ck, kau bisa mengambilnya dengan cara yang biasa dilakukan oleh manusia. Tidak asal tarik begini, sialan!"
Hoseok mengambil sapu tangan dari dalam saku, ia bersihkan noda hitam kopi dengan menggosok-gosoknya; kendati kaosnya makin kotor. Setidaknya sudah berusaha membersihkan. Begitu pikirnya kala itu.
"Shizu akan terkejut begitu tahu bagaimana cara bicaramu yang sesungguhnya, Jungho."
"Hoseok!"
"Lihat! Berteriak pula! Aku tak percaya."
"Cukup Minyoon, aku lelah, bangsat!"
Lelaki dengan marga Min semakin tergelak. Tak lupa menyesap kopi yang baru saja ia rampas. Dan rasanya ternyata jauh lebih enak. Karena gratis jadi jauh lebih nikmat. Ah, ngomong-ngomong dipanggil begitu memang tidak menyenangkan. Ia berpikir untuk berhenti memanggil Hoseok, Jungho. Kendati kapan waktunya belum ia pikirkan.
Yoongi membuka laptop. Menulis artikel mengenai pameran seni yang diadakan oleh seorang artis muda ternama. Galeri tersebut berada di daerah Cheondam-dong. Galeri baru di mana proses pembukaannya menimbulkan banyak sekali drama. Kalau bukan tugas dari perusahaan, dia juga malas meliput berita seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi. Dia berada di divisi hiburan, bukan politik, apalagi kriminal.
"Ngomong-ngomong, aku belum membuka surel yang kau kirim kemarin. Terakhir kulihat dua hari yang lalu, isi perutku keluar semua sampai ke cairan kuningnya. Sial, mulutku terasa sangat pahit. Dan Shizu ketakutan setengah mampus." Hoseok menggulung lengan kemeja sebatas siku, lantas menopang dagu. "Katakan dulu padaku, isinya apa? Dan kau dapat dari mana?"
Yoongi tidak menggubris. Ia terus mengetik berita yang akan dimuat pada portal berita online. Meski tidak menyukai pekerjaannya, tapi tetap saja ada beberapa keuntungan yang ia miliki. Walau bagaimanapun ia tetap seorang wartawan. Tidak terlalu sulit baginya untuk masuk ke tempat-tempat kejadian perkara. Lelaki itu masih ingat dengan foto yang dikirimkannya pada Hoseok tempo hari.
Mayat bocah perempuan tanpa busana, dengan batang ranting menembus organ genital. Ditangannya terdapat banyak sekali permen warna-warni. Matanya membeliak. Bekas air mata di sudut matanya berwarna merah. Sedangkan mulutnya disumpal kain. Bocah malang itu juga harus kehilangan kelingking.
Tidak kunjung mendapat jawaban, Hoseok mendengkus. Ia gebrak meja dengan kekuatan seadanya, tidak suka ada keributan. Tidak mau juga memancing kerusuhan.
"Kau ini ada di divisi mana sih, aku heran."
Kini ia bersandar pada punggung kursi dengan cukup keras, bahkan sampai berbunyi. Sedikit menyesal ketika rasa sakit samar-samar kembali dirasakan. Hoseok lupa, memar di punggungnya belum hilang sepenuhnya. Akibat insiden sandal kayu Shizu, beberapa hari yang lalu.
Masih mengetik, kali ini Yoongi bersuara. "Kau tahu bukan apa tujuan awalku bergabung dengan dunia ini."
Tentu Hoseok tahu. Yoongi memiliki ambisi untuk menangkap tersangka yang telah membuat adiknya kehilangan kelingking. Juga kehilangan kesuciannya ketika berusia delapan tahun. Ia masih ingat, ketika mata lelaki itu memancarkan sorot kecewa, juga amarah yang tak terbendung.
Merah.
Matanya begitu merah ketika ia berucap, "Adikku dirawat dalam kurun waktu yang lama. Anusnya memiliki luka sobek yang cukup parah dan infeksi. Dia nyaris mati, dua kali, bahkan lebih. Ketika ia sembuh dari kondisi fisiknya, jiwa anak itu seolah pergi. Dia berhenti berkomunikasi. Diamnya mengerikan, jeritnya memilukan, aku sampai berpikir, apa akan lebih baik jika dia pergi?"
Hoseok juga memiliki kisah yang sama. Yoongi dan dirinya seolah berbagi takdir mengerikan. Mereka saling menguatkan. Yang selalu Hoseok syukuri adalah, kondisi adiknya yang bisa kembali seperti sedia kala. Hyun yang ceria kembali, meski ada beberapa perubahan. Namun, tidak signifikan. Paling yang masih tertinggal berupa mimpi buruk. Itu pun frekuensinya tidak sebanyak dulu.
"Tapi ini sudah hampir sepuluh tahun. Kau tahu sendiri bukan, pria tua itu sudah mati. Tiga tahun yang lalu, bahkan kau orang pertama yang memberitahuku saat itu."
Setelah menekan enter, Yoongi membasahi bibirnya yang kering. "Aku pikir, aku berhasil menyingkirkan tua bangka itu. Kau tau bukan, dia begitu menyukai adikku. Dia selalu menguntitnya. Aku sampai harus menyewa beberapa bodyguard untuk melindunginya, tanpa ia ketahui." Ia memijat pangkal hidung, "Buka surelnya sekarang."
Hoseok menelan ludah. Lelaki itu tahu ini bukan pertanda baik, firasatnya berkata demikian. Setelah mengembuskan napas beberapa kali, akhirnya pemuda dengan marga Jung segera membuka surel melalui ponsel. Sekon berikutnya ponsel itu ia lempar ke atas meja. Napas Hoseok memburu, ia tidak tahu secepat apa jantungnya berdetak, tubuh gemetar, dan keringat dingin memenuhi wajahnya yang pucat.
Sial, Hoseok tidak menyangka jika ia akan bereaksi seperti ini.
"Bagus, reaksimu sama denganku." Yoongi mengambil ponsel Hoseok, membuka gambar yang ia kirim satu persatu.
"Laki... laki?" Dua kata itu keluar dengan susah payah. Yoongi mengangguk.
"Mati, tanpa kelingking, memar segar di sekujur tubuh, dan terakhir tanpa penis."
Hoseok merasa ada sesuatu yang bergejolak dalam perut. Merangsek naik ke kerongkongan dan minta segera dikeluarkan.
"Mual ya? Aku juga sama. Dia korban ke empat dalam tiga bulan terakhir."
Yoongi memberikan ponsel itu kembali ke tangan Hoseok. Beberapa waktu terlewati tanpa ada seorang pun yang bersuara. Atmosfer di antara mereka berdua berubah mencekam. Tempat ramai itu berubah menjadi kedap suara. Seakan-akan ada sebuah gelembung raksasa yang menelannya. Hoseok merasa oksigen di sekitarnya semakin menipis, apalagi ketika suara Yoongi memecah keheningan di antara mereka. Hoseok merasa jantungnya berhenti berdetak. Langit seakan tidak lagi memiliki kekuatan untuk berdiri hingga runtuh menimpa pundaknya, begitu pula dengan dunianya yang baru saja terbentuk; kini kembali hancur.
Tidak, itu tidak boleh terjadi.
"Hoseok, bagaimana jika ... pria tua itu kembali?"[]
KAMU SEDANG MEMBACA
CRESTFALLEN
Fiksi PenggemarKesalahan kecil yang ia perbuat di masa lalu, menghasilkan efek domino serupa lubang hitam; terutama bagi orang-orang yang berada dalam jaraknya beredar. Jung Ho Seok telah memecahkan masa depan orang yang paling ia sayangi. Seperti keramik yang dil...