Dalam setiap kejapan mata, tidak sedetikpun Wonho biarkan pandangannya teralih dari pahatan indah Tuhan yang berbentuk seorang Chae Hyungwon.
Dan dalam setiap untaian senyuman yang terlukis di wajah Hyungwon, seorang Shin Wonho selalu menjadi alasan dibaliknya.
Semuanya terlihat sempurna. Mereka saling mencintai selama bertahun-tahun. Keluarga dan teman pun mendukung. Serta semesta yang selalu mempertemukan dan menyatukan.
Namun sayangnya, tidak ada di dunia ini yang benar-benar sempurna.
Kanvas indah mereka tidak sepenuhnya memiliki warna cerah. Dua buah kuas itu sama seperti kuas lainnya yang juga dapat mengoleskan warna gelap ataupun warna putih yang hampa.
Di balik senyuman hangat Hyungwon yang menenangkan, ataupun sapaan ramah Hyungwon kepada pasien maupun perawat yang bertemu dengannya, terdapat sebuah luka yang dia sembunyikan.
Luka karena kenyataan bahwa Wonho-nya tidak sebaik yang dia kira.
Tidak, Wonho bukan orang jahat maupun orang yang mempermainkannya. Wonho tetaplah yang terbaik, selalu menyayanginya, selalu mengusapnya dengan lembut dan mengabulkan keinginannya.
Tetapi, Wonho bukanlah orang yang sabar.
Jika sudah termakan oleh amarah ataupun cemburu, ia tidak akan memperhatikan apapun yang berada di hadapannya.
Dan Hyungwon baru mengetahui hal ini ketika memasuki bulan ketiga mereka memutuskan untuk tinggal bersama setelah keduanya lulus kuliah di sebuah apartemen yang mereka sewa bersama.
Pada tahun keempat hubungan mereka, atau tahun pertama mereka memutuskan untuk tinggal bersama, tepatnya pada dini hari Rabu kedua di bulan Juni.
Wonho pulang larut malam dengan keadaan kacau. Rambutnya terlihat berantakan, mata dengan sirat lelah yang sangat ketara serta bau rokok dan alkohol yang menempel di tubuh kekarnya.
Setahu Hyungwon, akhir-akhir ini saham di perusahaan keluarga Wonho sedikit menurun sehingga kekasihnya harus bekerja banting tulang untuk memperoleh kepercayaan para kliennya. Sehingga tidak jarang, kekasihnya itu pulang pagi dengan wajah kusut dan kelelahan.
Tetapi hari ini berbeda. Aroma mint yang selalu Hyungwon suka tergantikan dengan aroma tembakau.
"Wonho, kamu kenapa?" tanya Hyungwon yang masih duduk di sofa sembari menatap Wonho yang terlihat kesal kala melepas sepatunya.
Hyungwon berjalan mendekat, tetapi Wonho hanya melewati tubuh Hyungwon, tanpa menjawab pertanyaan sang kekasih. Bahkan tidak ada kata maaf karena menabrak bahu yang kekasih.
Tangan mungil Hyungwon menahan lengan kekar Wonho, membuat Wonho menatap ke arah Hyungwon. "Aku tanya, kamu kenapa? Kamu habis ngerokok?" Tidak ada jawaban, Wonho hanya mengalihkan pandangannya. "Kamu juga minum, Wonho?"
"Enggak, udah kamu tidur aja sana, Won." Jawab Wonho sembari melepaskan genggaman tangan Hyungwon.
Hyungwon menghela napas. "Wonho, aku serius, aku khawatir. Kamu kenapa?"
"Aku bilang enggak ya enggak! Bisa diam enggak sih?!"
Sepanjang hubungannya dengan Wonho, tidak pernah sekalipun Wonho membentaknya ataupun sekedar menaikkan suara. Air mata mengumpul di pelupuk mata Hyungwon ketika melihat kekasihnya itu berjalan keluar apartemen tanpa sedikitpun melihat ke arah Hyungwon. Apakah kekasihnya berubah? Apakah Wonhonya telah bosan?
Tidak, mungkin Wonho membentaknya karena sedang mabuk. Wonho tidak sepenuhnya sadar.
Semuanya akan baik-baik saja, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kuas Satu Kanvas
FanfictionTentang sebuah kuas yang melukiskan perasaan Wonho dan kuas lainnya yang melukiskan senyuman Hyungwon. Biarlah kanvas mereka menjadi sebuah lukisan yang abstrak, dengan merah jambu sebagai warna dasarnya. ーhyungwonho.