OO9

131 18 6
                                    

Wonho bersandar di dinding apartemen mereka dengan tatapan dinginnya, tidak lupa tangan yang dilipat di depan dadanya.

Hyungwon tersenyum kikuk ketika melihat Wonho menunggunya. "Kamu udah pulang?" tanya Hyungwon.

"Kenapa? Kaget aku pulang cepet? Takut ketahuan kalau lagi selingkuh?"

Hyungwon menatap Wonho tidak percaya, terlebih ketika secara tiba-tiba Wonho langsung menariknya masuk dan mengunci rapat pintu apartemen. "Kamu kira aku lagi selingkuh? Selingkuh apanya sih?"

"Terus apa kalau bukan selingkuh, Won? Apa kamu izin aku buat ketemuan sama dia? Teleponku kenapa enggak kamu angkat? Coba lihat berapa kali pesanku enggak kamu jawab!"

"Dia cuma teman lamaku, Wonho. Aku enggak –"

Wonho sudah terlebih dahulu memotong ucapan Hyungwon. "Ternyata kamu serendah ini ya, Won. Mau aja disentuh sama orang yang hanya teman lamamu." Ucap Wonho dengan nada yang rendah.

Hyungwon benar-benar sudah kehabisan kata-kata. Apakah ini balasan Wonho? "Rendah? Kamu menilai aku gitu, Wonho?" Tidak ada air mata seperti hari-hari sebelumnya, hanya ada amarah di dalam diri Hyungwon. Wonhonya telah keterlaluan.

"Kalau bukan rendah lalu apa namanya?" Tanpa sadar nada bicara Wonho telah naik.

Kesabaran Wonho sudah habis. Ia baru saja pulang kerja dengan keadaan lelah ketika membuka pintu apartemen dengan mengharapkan Hyungwon menyambutnya dengan pelukan. Namun, nyatanya Hyungwon tidak ada. Dan ketika dia hendak mengambil berkas di mobil, pandangannya menatap sang kekasih yang tersenyum bahagia karena pemuda lain. Lebih bahagia daripada ketika bersamanya.

Dan saat ini, Hyungwon sudah terpojok di dinding dengan Wonho yang memperangkapnya menggunakan kedua lengan kekarnya. Tangan kanan pemuda itu sudah mencengkram erat dagu kekasihnya.

"Kenapa enggak jawab, Won? Benar kamu serendah itu, hah?" Bentak Wonho.

Hyungwon masih memilih untuk diam, sampai akhirnya tangan kekar Wonho merambat di kepalanya dan menarik rambut belakangnya. Tangan Wonho bergerak untuk menarik rambut Hyungwon lebih keras, sampai sang kekasih mengaduh kesakitan.

"Jawab." Perintah Wonho dengan nada penuh tekanan.

Hyungwon berusaha melepaskan tangan Wonho dari rambutnya. "Aku berani bersumpah, aku enggak selingkuh."

Wonho tetaplah Wonho yang keras kepala, tarikan pada rambut Hyungwon masih dia lakukan, bahkan menjadi lebih erat. Dan Hyungwon terus menerus merintih kesakitan dan memohon untuk dilepaskan.

"Teruslah berbohong, Chae Hyungwon!"

Sampai pada akhirnya Hyungwon menendang Wonho agar menjauh dan melepaskannya. Dengan sisa tenaga yang tersisa, Hyungwon jatuh terduduk di lantai sambil memegangi kepalanya. Bersamaan dengan Wonho yang mundur sembari memegang pahanya yang ditendang Hyungwon.

"Bagus, Hyungwon, udah berani ngelawan sekarang?" Wonho berdiri tegak kemudian mendekat ke arah Hyungwon lagi. "Jawab aku, jangan hanya diam!" Bentak Wonho lagi seraya menarik pundak Hyungwon agar berdiri menatapnya.

Bibir tebal Hyungwon tetap diam untuk beberapa menit sampai akhirnya tangan Wonho menyapa pipi kanannya dengan cukup keras dan menyebabkan tubuh Hyungwon terbanting ke dinding.

Merah.

Sebuah warna baru muncul di kanvas mereka dengan kuas Wonho sebagai penciptanya.

Karena tenaga yang terlampau besar, dinding memberikan sebuah keterkejutan untuk keduanya. Pelipis Hyungwon berdarah. Air mata yang tidak diketahui sedari kapan terbentuknya telah mengalir begitu saja beriringan dengan rasa sakit yang diterimanya.

Wonho terkejut bukan main ketika melihat Hyungwon menatapnya tidak percaya. Dengan segera, dia merengkuh tubuh Hyungwon ke dalam pelukannya.

"Hyungwon?" ucapnya sembari menyentuh wajah Hyungwon dengan lembut. "Sayang, maaf. Hyungwon, aku benar-benar minta maaf. A-Aku mohon." Bisiknya sembari mengusap perlahan jejak air mata Hyungwon.

Hyungwon dengan tenaga yang sudah hampir habis dan rasa pening di kepalanya berusaha untuk terus terjaga dan menatap Wonho. Tangannya meraih tangan Wonho kemudian menggenggamnya erat. "Wonho, aku bersumpah, aku enggak selingkuh. Aku benar-benar mencintaimu." Bisik Hyungwon dengan lirih.

Wonho menganggukkan kepalanya. Mengucapkan kata-kata bahwa ia percaya dan ia menyesal. Mengatakan sejuta janji bahwa dia tidak akan mendaratkan tangannya pada tubuh Hyungwon lagi, seperti tadi.

Dan Hyungwon, dengan semua luka yang dia peroleh selama bersama Wonho, hanya bisa mengangguk dan membuka pintu maafnya, mempersilakan Wonho untuk kembali masuk dan menjadi satu-satunya untuk Hyungwon. Tidak pernah terlintas di pikirannya untuk meninggalkan Wonho.

Bagaimanapun Wonho memperlakukan dia kedepannya, semuanya sudah tidak masalah bagi Hyungwon. Katakan Hyungwon bodoh ataupun mati rasanya. Nyatanya, semua rasa yang dimiliki Hyungwon hanyalah cinta untuk Wonho.

Bagi Hyungwon, lebih baik jika suatu hari nanti dia mati di dalam pelukan Wonho daripada harus terpisah dari Wonho.

Sepekat apapun warna merah yang digoreskan oleh kuas Wonho, tetap akan terlapisi dengan warna putih yang digoreskan oleh kuas Hyungwon. Biarlah kanvas mereka menjadi sebuah lukisan yang abstrak, setidaknya dua kuas itu masih bisa memberikan sejuta warna, penuh dengan merah jambu.

Dua Kuas Satu KanvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang