Vera benar , ada baiknya kami menjaga jarak. Kami perlu waktu untuk memahami apa yang kami alami. Tak baik terlalu mengikuti perasaan kami masing-masing. Aku sadar, akan sangat sulit bagi kami untuk bersatu. Aku dan Vera memiliki karakter yang berbeda jauh. Aku cenderung menilai diriku negative tetapi menilai orang lain positif. Aku selalu membutuhkan orang lain, sehingga aku akan mudah dimanfaatkan. Aku juga akan cenderung posesif jika menjalin relasi karena selalu takut kehilangan. Penyebabnya tentu saja karena aku kehilangan Ibuku. Selama ini aku mendapat perhatian yang cukup dari Nenek, namun setelah Nenek mulai tua, perhatiannya banyak bekurang. Secara naluri aku akan mencari penggantinya untuk memenuhi kebutuhanku itu. Vera mampu menyadari itu degan baik dan mengatakan bahwa ia bukan ibuku. Sedangkan Vera, cenderung menilai orang lain negative dan hanya dirinya yang positif. Vera selalu merasa bisa mengerjakan segalanya sendiri. Akibatnya Vera sangat sulit untuk percaya pada orang lain, terutama pada laki-laki. Vera mengalami trauma kehilangan Ayah sejak ia dikandung. Luka yang terjadi saat dikandung akan lebih sulit untuk diatasi, apalagi setelah dewasa Vera menjalakan perkerjaan yang justru menambah parah traumanya.
Untuk merefres pikirannku, dan menenangkan hati aku mengajukan cuti selama satu minggu. Aku ingin menghabiskan waktu bersama Nenek. Sejak bekerja aku jarang pulang dan tidur di rumah. Padahal sebenarnya jarak rumah dan kos tidak terlalu jauh, naik motor cuma sekitar 45 menit. Aku kos karena merasa tidak enak pada Nenek dan tanteku kalau terlalu sering pulang malam, walaupun itu tuntutan pekerjaan. Lagipula aku juga ingin belajar mandiri. Satu minggu ini aku ingin tinggal di rumah.
Rumah Nenek ada di daerah Godean. Nenek tinggal bersama tante, sekaligus tante membantu Nenek mengurus Toko Besi. Nenek sudah 81 tetapi masih sangat sehat. Ia terlihat begitu girang ketika aku datang. Nenek langsung memasakan aku soup ayam. Masakan favoritku sejak kecil. Nostalgia masa kecil selalu sangat menyenangkan. Terkadang aku merindukan masa-masa tu. Itu semua sebelum aku mengerti soal cinta-cintaan. Semakin dewasa, pikiranku semakin terbuka dan akhirnya aku menyadari banyak hal yang hilang dariku. Semakin hari aku semakin merasa terasing.
Aku dan Nenek memiliki ikatan emosional yang kuat. Nenek tahu aku sedang sedih. Dan kepulangganku kali ini bukan sekedar kunjungan biasa. Sambil makan,Nenek tersenyum memandangku. Senyum yang multi tafsir. Antara menyindir atau berusaha menenangkannku.
"Kamu putus lagi?" kata Nenek padaku. "AKu ga punya pacar Nek," jawabku. "Jadi ditolak,"katanya sambil terkekeh. Aku meliriknya jengkel sambil cemberut. "Ga lucu," jawabku, "ga ada aa-apa kok. Banyak kerjaan cape jadi cuti dulu, istirahat."
"Anak mana?" nenek bertanya lagi.
"Siapa?"
"Cewek yang kamu suka."
"Ga ada."
Nenek tertawa makin keras. "Aku kangen Ibu Nek," kataku pada Nenek. Nenek berenti tertawa, iamemandangku penuh simpati. "Nenek juga," katanya, "tetapi bagaimanapun juga hidu harus tetap berjalan."
"Kenapa ga Ziarah aja, kamu cuti berapa hari?" kata Nenek lagi. Aku sudah lama tak ke makam orang tuaku. Alasannya karena makam mereka ada di luar kota. Meski sebenarnya tak jauh. Semarang hanya 3 jam dari Jogja. Ide itu terdengar bagus tapi aku tak lasung menerimanya. "Ibu waktu muda kayak apa Nek," kataku pada Nenek.
"Dia cantik kayak Ibunya," kata Nenek sedikit genit. Candaannya bisa membuatku sedikit tersenyum.
"Selebihnya dia mirip denganmu. Brilian tapi baperan. Secerdas apapun seseorang tapi kalau ga bisa kontrol perasaan kecerdasanya sia-sia. Tantri itu gampang kebawa perasaannya, jadi gampang dimodusin. Kalau sudah gitu, jadi keras kepala dia. Ibunya ngomong apapun ga bakal digubris. Salah pilihkan akhirnya."
Nenek terdiam, nafasnya menjadi berat. Nenek memandang sekeliling, seperti mencari sesuatu. Kemudian Nenek menghela nafas panjang.
"Kamu sudah besar, Nenek mau jujur sama kamu sekarang. Sejak awal Nenek ga suka sama Ayahmu. Nenek tidak pernah setuju Ibumu menikah dengannya. Tapi ya itu tadi, Ibumu terlanjur kemakan omongannya Ayahmu. Ayahmu itu bajingan. Nenek tahu itu, orangnya egois, tukang tipu, play boy. Ibumu semakin dilarang malah semakin nekat. Akhirnya terlanjur kamu ada. Kalau tahu bakal begini jadinya, dulu mending ga usah tak nikahin. Jadi paling ga sekarang kamu masih punya Ibu."
Nenek terdiam, air matanya tak terbendung lagi. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku baru saja tahu bahwa aku "anak haram".
"Yohanes Febian Bayu Putra," Nenek memanggil nama lengkapku. "Kamu diberi nama Febian karena lahir di bulan Februari, sedangkan nama Bayu diberikan Ayahmu, karena angin adalah sahabat samudra. Keselamatan seorang pelaut, sangat tergantung pada angin. Angin adalah utusan sang Ilahi."
Nenek kembali diam. Aku merasakan ada sesuatu yang bergelora dari dalam dirinya. Suatu energy yang mampu menghangatkan ruang makan kami. Ada kekuatan yang terpancar dari dalam, kekuatan itu mampu menghapus kesedihan dan melahirkan harapan.
"Anes sayang, tidak ada sesuatu pun yang terjadi karena kebetulan. Semua terjadi karena Allah berkehendak. Kamu ada karena Allah mau kamu ada, dan Dia mencintaimu. Allah punya rencana atas dirimu. Apa kamu bisa menankap rencana kehendak-Nya dari namamu? Percayalah, rancangann-Nya bukanlah rancangan kecelakaan, melainkan rancangan keselamatan. Ayahmu brengsek, tetapi bukan berarti dia tidak mencintaimu. Dan terakhir, waktu kamu di Baptis, Nenek yang memilih nama Baptis untukmu. Nenek kagum dengan kesetiaan yang dimiliki Rasul Yohanes, Nenek percaya, kamupun memiliki kesetian itu juga. Jangan takut menghadapi hidup, kamu tahu, Yohanes berarti Allah yang berbelas kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pita Merah untuk Vera
RomanceAnes seorang aktivis HIV/AIDS tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang LC yang ia dampingi. Kisah cintanya menjadi semakin rumit ketika Vera-perempuan yang ia cintai- terinfeksi HIV. Secara manusiawi ia berusaha menyangkal cinta yang ia...