Pelan tapi Pasti

84 4 0
                                    

Aku melakukan kecerobohan paling nestapa sepanjang sejarah. Aku memang cukup berhasil mengejar bus sore, tak kekurangan ongkos bus, dan sampai rumah tanpa diketahui kapan sampainya. Aku letakkan tas di kursi ruang tamu rumah, lalu masuk kamar. Terlena diterima ke sekolah favorit, meski peringkat paling bawah. Sayangnya, kamar yang kasurnya reot dipakai berempat sejak aku pertama pindah ini tak berpintu. Hanya tirai hijau lumut saja. Ditengah lamunanku itu, ibu nyelonong masuk membawa tas. Aku kaget bukan main.

"Ini kok ada seragam di tas? Kamu seharian dari mana?" Selidiknya.

Aku terdiam, tak bisa menjawab. Lidahku tercekat, pita suaraku terjepit.

"Kamu daftar sekolah ya?!" Suara Ibu meninggi. Lalu duduk di sebelahku.

"Afan diterima di SMA Trihita, Bu. Besok langsung daftar ulang, disuruh bayar 1.75 juta..." Aku bahkan baru ingat soal pembayaran itu tepat ketika menjawab pertanyaan Ibu ini. Payah.

Ibu terbelalak, matanya melebar. Lalu menghela nafas. Bagaimanapun ia mengerti anak sulungnya menginginkan sesuatu yang baik, meski tak mengerti bagaimana harus mewujudkannya. Datang dari mana uang sebanyak itu besok? Nilai perputaran ekonomi dari usahanya menjual gorengan saja tak sampai 400.000 rupiah. Bapak pun sedang tak dalam kondisi yang baik. Lantas, Ia mengusap kepalaku lembut, merapikan rambut yang berantakan. Lalu berkata,

"Ya sudah. Berdoa semoga ada jalan, semoga ada pinjaman."

Ibu pergi, sepertinya menemui Bapak di ruang tamu yang sedang makan. Suara obrolan mereka terdengar tapi tak jelas. Aku berusaha menguping dari kamar tetapi tetap tak dapat informasi apa-apa.

Esok hari, Bapak memintaku untuk berangkat ke sekolah terlebih dulu. Ia tak marah sama sekali. Ibu bahkan sempat menyetrikakan seragamku terlebih dulu malam harinya. Aku pun menyiapkan semua persyaratan administrasi yang dibutuhkan untuk daftar ulang lalu berangkat. Bapak hanya berpesan,

"Berdoa, ya!"

Aku berjalan kaki sembari berdoa takzim. Melintasi jembatan di atas jurang yang berpangkal dari Merapi sana, dan perkebunan warga yang tak terkira luasnya. Menunggu bus, naik bus, lalu berganti bus, kemudian menunggu lagi di dalam bus. Sampai akhirnya tiba di tempat perhentian dan berjalan beberapa menit. Satu jam lebih habis untuk itu semua. Sementara Bapak akan mengunjungi bank di Kecamatan, berharap dapat pinjaman tanpa jaminan kecuali fotokopi KTP dan Kartu Keluarga. Lalu mendatangiku di sekolah, bagaimanapun hasilnya. Karena bapak tak punya ponsel yang bisa sekali pencet tombol untuk menghubungiku. Satu-satunya yang kami punya adalah pemberian Mbak, putri dari kakak ibuku, saat aku masih SMP dan itu selalu kubawa kemanapun. Bagaimanapun bututnya.

Dokumenku sudah dicek lengkap, dan kemudian seorang petugas sekolah yang berlipstik tebal di depanku berkata,

"Semuanya sudah di checklist, tinggal pembayarannya..."

Aku paham arah pembicaraan guru muda di depanku ini. Sayangnya, Bapak belum datang. Kutawari agar pembayaran menyusul nanti, karena Bapak belum sampai. Dibilangnya sekalian saja. Berkasku dikembalikan, beserta lembaran checklist-nya.

Tak ada pilihan lain bagiku selain menunggu. Tepat di dekat gerbang sekolah yang dicat hijau tua, aku berdiri laksana paskibraka siap menerima aba-aba. Ketika Bapak datang, aku akan sigap menghampirinya dan membawa sejumlah uang pinjaman yang ia dapatkan, lantas kembali ke meja daftar ulang yang mulai dipadati wajah sumringah dengan map merah di genggaman. Sayangnya Bapak tak kunjung tampak batang hidungnya di ujung jalan. Sesekali aku salah kira, hampir berteriak memanggil, namun urung. Jika aku tadi sampai sekitar pukul sembilan, maka aku sudah menunggu tiga jam di gerbang. Sekolah mulai sepi. Sebagian besar calon siswa sudah selesai daftar ulang. Sesekali ada motor yang keluar masuk sekolah. Bahkan satu dua petugas pendaftaran yang kuduga juga merupakan guru SMA ini pun pulang.

Melompat Lebih TinggiWhere stories live. Discover now