Masih di hari yang sama. Menjelang malam, Chanyeol masih merebahkan dirinya di atap sekolah. Memandang langit yang mulai gelap. Semburat matahari muali tenggelam, digantikan sang bulan. Bersama bintang-bintang yang akan menjadi penemannya. Angin semilir membasuh wajah, sejuk. Terasa sampai ke tulang.Satpam sekolah memasuki kelas perkelas, mengecek apakah masih ada murid yang tersisa. Sampai tanpa sengaja, melihat pintu atap sekolah terbuka, dia mendatanginya. Melihat Chanyeol yang masih memejamkan mata di sana. Terlihat dari kejauhan.
“Hei kamu! Cepat pulang! Ini hampir jam enam sore, bergegaslah!” Mendengar teriakan tersebut, Chanyeol membuka matanya perlahan. Mengerjap-ngerjap. Dia mengucek matanya sebentar, menatap sekeliling. Bingung.
Beberapa saat kemudian, dia mengangguk, mulai sadar dari alam mimpinya. Tanpa basa-basi lagi, dia bangkit lalu pergi keluar.
Brremm. Chanyeol menyalakan motornya. Lalu melesat ke jalan raya, membelah Ibukota. “Hhoaamm...” Chanyeol menguap lebar. Menggeleng pelan seraya membangunkan dirinya. Mengumpulkan nyawa yang masih tersisa. Matanya menyipit. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Sesekali melirik ke kanan-kiri, melihat hal-hal yang dirasa menyenangkan. Sampai di titik inilah dia sekarang. Di mana tempat yang selalu bisa membuatnya teringat kejadian tempo lalu. Saat tangan itu melesat tepat di pipi kanan Eun Kyung. Pertama kali melihat perlakuan kasar seorang ayah kepada anak kandungnya sendiri.
Lampu merah perempatan. Di sinilah tempatnya. Chanyeol menoleh ke kanan, mencari Eun Kyung. Kali-kali saja ada dia di sana. Daaan, benar saja. Ada dia di sana.
“Ya ampun!” seru Chanyeol. Matanya langsung membulat. Tanpa menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Dia langsung membelokkan stirnya. Memakirkan motornya di trotoar, lalu berlari menghampiri Eun Kyung dan ayahnya.
Eun Kyung meringis, rambutnya ditarik oleh Il-Woo. Entah, apalagi kesalahan yang ia buat hari ini. Yang pasti, saat ini Il-Woo benar-benar murka.
Sesaat sebelumnya, dia sudah tersungkur di tanah. Namun, orang-orang hanya menatapnya kasihan, penasaran, dan penuh kesal. Setelahnya, Il-Woo menarik rambut Eun Kyung sampai membuat Eun Kyung kembali bangkit, berdiri berhadapan dengannya.
“SUDAH BERAPA KALI SAYA BILANG! PULANG SEBELUM JAM LIMA!”
“Maaf, Ayah!” Eun Kyung menunduk. Menahan perih di kepalanya. Rasanya sampai ke tulang. Menyakitkan.“KAMU MAU SAMPAI KAPAN MEMBANTAH SAYA?!”
Bugh! Satu kali. Bugh! Dua kali. Bugh! Tiga kali. Begitu seterusnya. Tapi, tetap saja Eun Kyung diam. Tidak menjerit. Apalagi menangis. Entahlah. Mungkin semua perlakuan ayahnya, baginya sudah seperti makanan hari-harinya.
Bugh! Pukulan yang kesekian kalinya. Namun, tak ada rasa. Hambar. Kenapa?
“K-kamu?!” Benar. Bukan Eun Kyung yang menerima pukulan terakhir tadi. Chanyeol yang menggantikannya. Lengannya menahannya. Chanyeol sengaja melakukannya. Tak tega kalau terus-terusan melihat Eun Kyung mendapat pukulan kejam seperti itu. Memang terlambat untuk menahannya. Tapi, setidaknya dia bisa menghindari Eun Kyung dari sebuah pukulan. Setidaknya, dia bisa menghentikan ayah Eun Kyung untuk memukulinya. Walaupun, lengannya lah yang harus dikorbankan.
“Berani kamu ikut campur sama urusan saya?!”
“Mohon maaf, Om. Bukannya saya ikut campur. Tapi, apa pantas seorang ayah berlaku seperti ini pada anaknya?” Il-Woo melotot. Lalu melirik ke arah Eun Kyung. Habis sudah. Pasti, pukulan tadi akan dilanjutkan di rumah. Karena dia mengira, pasti Eun Kyung sudah bercerita hal yang tidak-tidak pada Chanyeol. “Eun Kyung ini masih SMA, Om. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan di masa-masa SMA-nya, Om. Apalagi, ini tahun terakhirnya di sekolah,” sambungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Girl
Fanfiction"Kalaupun kalian merasa hidup kalian bahagia, atau tidak pernah mendapatkan masalah. Itu berarti kalian bukan tidak pernah mendapatkan masalah. Hanya saja, kalian hanya belum mendapatkannya." ーJung Eun Kyung