Fara mempercepat langkah menyusuri setiap lorong yang membawanya keluar dari bandara Soekarno Hatta sore itu. Sesekali ia mengelus perut yang masih rata dengan senyum bahagia. Lima tahun lebih lamanya menantikan bayi mungil mengisi rahimnya, buah cinta dengan Andra, sang belahan jiwa. Label mandul yang sering disematkan orang-orang kepadanya terbantahkan sudah. Ia akhirnya hamil. Ya, hamil!Seharusnya kepulangan dijadwalkan senin depan, mengingat, Julian, dokter kandungannya menyatakan sebelumnya bahwa ia harus berada dalam perawatannya selama satu bulan lamanya. Namun, melihat kondisinya yang stabil dan janin dalam rahimnya kuat, Julian mengizinkannya pulang seminggu lebih awal.
Tak sabar Fara memberitakan tentang ini kepada Andra, membayangkan binar bahagia dan tangisan harunya membuat ia bersemangat ingin pulang.
Fara mencegat taksi di luar bandara dan meminta sopir untuk segera berangkat. Tujuan pertama kerumah mertua. Sudah pasti sang kekasih akan berada disana, anak lelaki semata wayang yang akan dengan senang hati diurus oleh ibunya sementara Fara pergi. Walaupun enggan menginjakkan kaki di Pondok Mertua Indah, ia selalu berusaha berlapang hati menerima tatapan masam ibu mertua yang sedari awal mereka menikah, tidak pernah menyukainya. Apalagi setelah kenyataannya Fara belum juga hamil setelah lima tahun menikah dengan anaknya, membuat ibu mertua geram dan kerap menyumpahinya mandul. Ah, tak apa. Mungkin nanti setelah ibu tahu, ia akan membuka hatinya, karena ia telah mengandung cucunya.
Empat puluh lima menit perjalanan yang melelahkan, ditambah macet dijalan seiring jam pulang kerja, akhirnya Fara sampai disebuah rumah berhalaman besar di pinggir kota. Rupanya selama kepergian Fara, warna catnya sudah berubah dari hijau ke biru langit yang cerah. Sebuah taman yang ditanami bunga dahlia yang sedang mekar menambah indah pemandangan. Sedangkan puluhan pot gantung di teras rumah menyajikan warna aneka rupa. Sejuk dan asri.
Rani tidak sekalipun mengizinkan Fara membantu mengatur bunga-bunganya dan iapun tak ingin ikut campur. Berkebun bukanlah hobinya, dan ia tak ingin berlelah-lelah mengambil hati Rani yang terlanjur tak menyukainya. Cukup dua tiga kali ia mencoba, selanjutnya ia bersikap biasa-biasa saja. Sopan dan berusaha melayani anak lelakinya dengan baik.
Fara hendak membuka pintu taksi saat pintu rumah itu terbuka. Seorang lelaki berumur 28 tahun keluar dari rumah diiringi seorang perempuan yang ia kenali sebagai mertua. Tidak lama kemudian keluar pula seorang wanita berhijab yang tidak ia kenal. Fara mengurungkan niat keluar dari taksi melihat perempuan itu kemudian mengambil tangan Rani kemudian menciumnya takzim. Fara melihat Rani melemparkan senyum. Senyuman manis yang tak pernah ia dapatkan dari seseorang yang awalnya ia harapkan dapat menjadi ibunya setelah sang mama tiada.
Andra kemudian juga ikut mencium tangan Rani lalu menggamit pinggang si perempuan dan menuntunnya ke dalam mobil.
Fara mengerinyit. Siapa perempuan itu? Ia merasa tidak mengenalnya. Ia mengingat hampir semua anggota keluarga Andra dengan baik dan ingatannya belum cukup payah untuk menyangsikan itu.
"Tidak jadi turun, bu?" Sopir taksi bertanya pelan melihat Fara terdiam.
"Eh, iya pak. Tolong ikuti mobil yang di depan, ya."
"Baik, Bu."
Mobil tersebut membelah kota jakarta yang padat sore itu. Fara merenung sambil mereka-reka. Dahinya berkerut. Bisa jadi saja perempuan tadi keluarga jauh Andra, kan? Atau temannya? Ahh, kok mesra sekali?
Perjalanan mereka terhenti disebuah restoran mewah di pusat kota. Kedua insan di depannya memasuki restoran sambil bergandeng tangan. Fara menahan nyeri di dadanya. Baru tiga minggu ia pergi, Andra sudah berani menggandeng perempuan lain. Matanya terus mengawasi Andra dan si perempuan memasuki restoran. Beruntung mereka mengambil meja dipinggir jendela kaca sehingga lebih mudah untuk diawasi.
Sesekali Andra tersenyum mesra sambil mengelus pipi si perempuan itu, kemudian mengambil tangannya, lalu menciumnya.
Fara tidak bisa menahan air mata melihat melihat suaminya memperlakukan wanita lain selayaknya ia memperlakukannya. Manis. Mesra. Fara terisak menahan pedih. Ia meninggalkan suaminya dengan segenap rasa percaya bahwa tidak akan sekalipun Andra berpaling darinya. Namun, kenyataan di depan mata tak terbantahkan lagi. Perempuan itu, sepertinya telah mencuri cinta suaminya.
Selama lima tahun menikah, rumah tangganya dengan Andra terbilang harmonis. Walaupun ada terpaan di sana sini, namun tetap menguatkan cinta dan komitmen mereka.
Terkadang mereka bertengkar, itu biasa. Apalagi dengan belum hadirnya momongan di usia pernikahan yang semakin berjalan, tidak menyurutkan cinta mereka. Seringkali Fara merutuki nasib karena belum juga mampu memberikan anak. Namun Andra selalu meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. "Cintaku tidak akan berkurang, sayang" ujarnya menenangkan sambil mengecup sayang puncak kepala Fara.
Air mata Fara semakin luruh. Hari ini, badai besar sepertinya telah memporak-porandakan perahu yang sedari awal sudah terombang-ambing berlayar tanpa restu. Teganya kamu, Mas!
Ini tulisan pertama saya, maafkeun kalo gaje dan jauh dari kaidah penulisan fiksi yang baik, hehehhe..
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah (END)
RomanceSeri PERTAMA dari Tetralogi Keluarga Nashid Fara merasa hidupnya sangat sempurna. Mempunyai suami yang penuh cinta membuatnya mengucap syukur dan merasa cukup dengan nikmat tuhan yang dilimpahkan untuknya. Namun, ketika kepercayaannya seketika runtu...