9. Pindah Rumah

11K 1.6K 59
                                    

Keesokan harinya seluruh warga yang tinggal di dekat rumah Acha di hebohkan dengan penemuan mayat Bi Inah. Acha dan Mamanya segera melihat ke tempat kejadian.

"Bi Inah!" Acha tak percaya dengan yang di lihatnya, pembantu yang di suruh membuang pisau itu tewas berlumur darah.

"Seharusnya Mama nggak nyuruh Bi Inah buang pisau itu." bisik Mama pada Acha.

Acha lalu bertanya pada orang-orang yang lebih dulu melihat jasad Bi Inah.

"Pak Irwan." Acha menghampiri salah satu tetangganya yang sedang melihat jasad Bi Inah.

"Iya." Pak Irwan menoleh ke arah Acha.

"Apa bapak melihat pisau di sekitar mayat Bi Inah?"

Mendengar pertanyaan Acha, Pak Irwan tampak terkejut. Wajahnya berubah seperti ketakutan.

"Sebaiknya pisau itu kamu kembalikan ke tempatnya."

"Ada apa dengan pisau itu pak?"

"Pisau itu meminta nyawa, Nak. Sebentar ya bapak ambil dulu pisaunya." Pak Irwan segera mencari salah seorang temannya. Saat ini ambulan sedang menuju lokasi kejadian. Setelah berbincang-bincang sedikit ia kembali menemui Acha dengan sebuah plastik hitam kecil.

"Ini pisaunya." Pak Irwan menyodorkan plastik hitam berisi pisau itu. Acha menerimanya.

"Pisau itu sudah ada satu meter di samping Bi Inah di temukan."

"Satu meter? Jadi pisau itu tak mau menempel di tubuh korbannya?" Acha terus memikirkan semuanya dalam kepalanya. Misteri ini terlalu sulit untuk di pecahkan sekarang.

"Kita pecahan sama-sama aja masalah ini." tiba-tiba roh Dokter Riyan muncul di samping Acha.

"Tolong kalau jadi hantu itu jangan suka muncul tiba-tiba bisa nggak?"

"Maaf." Dokter Riyan malah nyengir kuda.

"Nggak ada kata maaf bagimu, Dok."

Tanpa Acha sadari orang-orang di sekitarnya memperhatikan Acha yang terus berbicara sendiri.

"Acha, kamu ngomong sama siapa?" tanya Mama.

"Sama... Eh Mama salah dengar mungkin." Acha segera menyadari bahwa hanya ia yang dapat melihat Dokter Riyan.

****

Hari-hari berikutnya kehidupan Acha dan keluarganya semakin tak tenang. Papa bilang ia sering melihat perempuan yang melemparinya dengan batu kerikil di depan rumah setiap Papa pulang malam. Mama pun begitu, Mama mengaku sering melihat Bi Inah di rumah. Ia seolah melihat pembantunya itu tampak sehat dan sibuk memasak di dapur. Tapi setiap menjelang sore pembantunya itu menghilang, Mama sendiri tidak pernah berani mendekati sosok yang mirip Bi Inah itu. Bagaimana mungkin itu terjadi padahal pembantunya jelas-jelas sudah meninggal.

Acha sendiri juga merasakan ada yang aneh dengan kamarnya, menjelang pukul satu malam selalu ada yang mengetuk jendela kamarnya. Saat di lihat tak ada siapa-siapa.

••••

Keluarga Acha yang tak tahan lagi dengan gangguan itu memutuskan untuk pindah rumah.

"Semoga di rumah baru nanti kita nggak di ganggu lagi ya," ujar Papa sambil mengemudi mobilnya. Acha yang duduk di belakang hanya terus menatapi jalanan.

"Ini bukannya jalan ke?" Acha mencoba mengingat-ngingat dalam hati.

"Rumah Sakit Mulia." ujar Dokter Riyan yang sekejap sudah ada dalam mobil Acha. Dokter berwajah pucat itu tersenyum.

"Serius, Dok?" Acha kembali melihat ke sekeliling jalanan di luar mobil. Tak salah lagi ini memang arah ke Rumah Sakit Mulia.

"Papa sama Mama tahu Rumah Sakit itu nggak?" Acha menunjuk ke sebuah rumah sakit yang tampak di depan jalan.

"Kenapa Cha? kamu sakit? Mau ke rumah sakit itu?" tanya Mama.

"Aku nggak apa-apa kok. Kita jangan tinggal di daerah sini deh, Pa, Ma." pinta Acha. Kini ketakutan-ketakutan yang sempat ia coba sembunyikan kembali datang.

"Cuma rumah ini yang Papa dapat sayang, nyari rumah sekarang nggak mudah. Lokasinya dekat sama tempat kerja Papa. Lagian nanti kita juga punya pembantu sama tukang kebun. Kamu nggak usah takut lagi ya." Papa berusaha meyakinkan anaknya itu.

"Pisaunya ada, Cha? " tanya Dokter Riyan yang berada di samping Acha.

Acha teringat pisau itu. Gadis itu segera merogoh tas sandangnya. Pisau itu ada di dalamnya.

"Ada," ujar Acha pelan, ia tak ingin Papa dan Manya mendengar ia sedang bicara dengan roh tak kasat mata itu.

Acha sendiri sudah beberapa kali mencoba membuang pisau itu, tapi pisau itu selalu bisa datang kembali kepada Acha. Acha pun tak tahu harus berbuat apalagi. Satu hal yang di syukurinya, pisau itu tampaknya tak berniat mengambil nyawa Acha.

"Apa yang dokter lihat dari pisau ini?" tanya Acha.

"Dendam, hanya itu yang bisa gue lihat, Cha. Kalau soal perasaan lo ke gue mana gue tahu." di saat seperti ini masih sempat-sempatnya hantu itu ngegombal.

"Gue serius lho, kalau di pisau ini ada dendam yang ingin di balaskan kenapa pisau ini membutuhkan gue? Setahu gue keluarga gue nggak ada musuhan sama siapapun?"

"Mana gue tahu, itu urusan hantu itu. Gue nggak bisa mengetahuinya. Yang bisa gue lakuin hanya mencari jasad gue. Karena itulah yang menyebabkan gue gentayangan sampai hari ini." jelas Dokter Riyan ia lalu merogoh kantung jas dokternya itu. Seperti mencari sesuatu tapi tak di temukannya.

"Nyari apa, Dok?" Acha tampak penasaran dan terus memperhatikan tingkah hantu itu.

"Entahlah, gue merasa ingin mengambil sesuatu tapi kok gak ada ya." Dokter Riyan tak kalah bingungnya.

"Aku jelasin ya sama Dokter. Dokter itu kan udah jadi arwah gentayangan ya pastinya yang dokter bawa itu cuma pakaian saat dokter tewas. Kalau benda lain mana bisa, mereka kan nggak mati gentayangan... Hahahha... "

"Lo itu ternyata nyebelin juga ya, untung gue bukan manusia lagi."

"Kalau manusia kenapa? Mau di suntik bius akunya?" tanya Acha terkekeh.

"Mau suntik mati biar lo tahu rasanya mati gentayangan."

"Pasti pas masih hidup lo itu Dokter yang kejam."

"Terserah deh, sekarang mending lo lihat ke jendela samping lo."

Mendengar ucapan Dokter Riyan, Acha segera menoleh ke jendela mobil di sampingnya.

Sosok perempuan cantik dengan wajah pucat berdiri di pinggir jalan. Di tangannya tergenggam pisau namun. Baru sebentar Acha melihatnya perempuan itu lenyap begitu saja.

"Pisau!" Acha segera memeriksa tasnya. Pisau itu sama!

"Acha kamu kenapa, Nak? Kayaknya heboh aja sendiri." Mama terus memperhatikan Acha.

"Kayaknya Acha ngelupain sesuatu deh, Ma."

"Apa? Ini kita udah mau sampai lho," ujar Papa.

"Nggak penting kok, Ma, Pa."

Kedua orangtua Acha kembali fokus melihat ke depan. Sepanjang jalan yang mereka lalui tampak sepi.

"Itu perempuan yang ada di rumah lama lo dan dia ngikutin kita, Cha,"ujar Dokter Riyan.

"Kayaknya semua berkaitan sama Lo." Acha menoleh ke belakang jendela mobilnya. Tak ada apa-apa di jalanan di belakang mereka.

"Gue?" Dokter Riyan tampak bingung.

"Gue nggak bisa menyimpulkannya sekarang." Acha kembali menatap jalanan.

Mencari JasadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang