عِشْرُوْنَ'isyruuna

1.6K 124 1
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

20. Guruku

Alvin melakukan overhead pass, bola basktet itu bukannya diterima temannya tapi malah melambung jauh ke luar lapangan. Ustadz Abbyan yang sedang melewati pinggir lapang langsung menjadi sasaran bola itu. Serentak santriwan yang melihat hal tersebut langsung menyerbu, kecuali si pelaku. Laki-laki itu hanya mematung tanpa ada niat menghampiri, meski di hati kecilnya terbesit rasa bersalah.

Bisik-bisik Alvin mendengar para santriwan menanyakan keadaan Ustadz Abbyan. Padahal seharunya dialah yang menanyakan hal itu, karena dialah yang salah. Namun, gengsinya terlalu melambung sampai untuk menghampiri saja rasanya enggan. Beberapa menit kemudian, kumpulan tadi bubar seketika dan Ustadz Abbyan kembali melanjutkan langkah.

"Vin, nggak minta maaf?" tanya salah satu temannya.

Fokus Alvin hanya terpaku pada sosok guru yang sedang menenteng beberapa buku dengan tangan memijat kening. Pikirannya menelusuri masa lampau, ustadz itu pernah menghukumnya membaca doa qunut, karena tidak hafal, hukumannya ditambah lagi. Kemudian ketika dia mengetuk-ngetuk meja pakai pulpen di kelasnya, ustadz itu tidak segan-segan mengeluarkannya. Dan parahnya lagi, ketika ulangan akhlak, Alvin hanya mampu menjawab satu nomor, lalu ustadz itu langsung menyobek kerta ulangannya di depan mata.

Wajar jika Alvin memiliki rasa tidak suka kepada gurunya yang satu itu. Otaknya terus saja memutar setiap kejadian Ustadz Abbyan yang memberinya hukuman dan teguran. Sampai tibalah suara batin berbisik, membuat kakinya bergerak cepat untuk mengejar Ustadz Abbyan yang sudah memasuki gedung madrasah.

"Ustadz," panggilnya dari jarak beberapa meter dengan ustadz itu.

Ustadz Abbyan menghentikan langkah, dia menoleh untuk mengetahui siapa yang memanggil.

"Assalamuaikum." Alvin bergerak cepat dan langsung mencium tangan kasar itu.
Usai Ustadz Abbyan menjawab salamnya, dia menatap lekat wajah laki-laki di depannya. "Ta-tadi enggak sengaja. Saya minta maaf," ucapnya sedikit ragu. Demi melahirkan satu maaf saja dia harus mati-matian membunuh gengsi di dada. "Sa-saya beneran nggak sengaja," ulangnya takut-takut jika orang yang berdiri di hadapannya tidak mau memaafkan.

"Saya sudah memaafkannya."

Alvin membulatkan mata dengan binar bahagia. Banyak kesalahan yang diperbuatnya kepada ustadz satu itu, dan dengan mudahnya dia memberi maaf tanpa syarat apa pun.

Ada kalanya seorang guru jengkel dengan sikap muridnya, tapi rendah hatinya seorang guru tetap saja memberi maaf meski kita selalu membuat kesalahan.

Tiba-tiba sepenggal kalimat yang dibaca tadi pagi menghampiri otaknya. Orang yang menulis surat tadi pagi ada benarnya juga, rendah hatinya seorang guru tetap saja mau memberi maaf meski muridnya melalukan beribu-ribu kesalahan. Seperti dirinya. Bahkan, sebelum dipinta pun sang guru sudah memaafkannya.

"Ada lagi? Saya harus mengajar." Ustadz Abbyan mengangkat sebelah tangan yang dilingkari jam tangan.

Alvin diam, sorot matanya kosong, ada rasa haru yang membuat pikirannya terbang.

"Alvin," tegur Ustadz Abbyan untuk menyadarkan muridnya.

"Hah?" Alvin mengusap kasar wajahnya. "Tadi apa? Maaf, saya, tadi ustadz ngomong apa ya?" Dia menggauruk belakang lehernya disertai cengiran tak berdosa.

"Apa ada lagi yang ingin dikatakan? Saya harus mengajar sekarang."

Alvin menggelengkan kepala. "Tapi beneran udah dimaafkan?"

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang