EPILOG

112K 3.9K 266
                                    

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai juga di depan rumah. Bramanto segera turun dari sana dan melangkah masuk ke rumahnya disusul dengan Wanda dan kedua anaknya-Logan dan Fathir. Mereka baru saja kembali dari kantor polisi setelah mengikuti sidang.


"Seperti yang Fattah katakan, malam ini jadwal keberangkatan kalian. Jadi segera packing barang. Kalian tidak punya banyak waktu lagi." Kata Bramanto setelah sampai di ruang tengah. Ia berusaha melepas dasi di lehernaya sembari menatap kedua anaknya.

"Sebelum pergi, aku mau ke rumah Je-"

"Tidak!" Potong Ayahnya cepat. "Ayah udah bilang, gada yang bisa ketemu siapapun. Jangan membuang-buang waktu Logan." Ancam Bramanto dan langsung masuk ke dalam kamar. Fathir dan Logan hanya bisa menarik napas berat dan menuruti perintah.

Melihat itu Wanda merasa prihatin. Keputusan Bramanto tidak bisa diganggu gugat dan itu membuatnya sedih dan khawatir. Sebenarnya ia tidak rela jika kedua anaknya pergi. Wanda belum lama menghabiskan waktu bersama mereka dan ia membutuhkan banyak waktu lagi untuk menyaksikan pertumbuhan masa remaja kedua anaknya. Ibu Fathir telah memberikannya tanggung jawab dan Wanda merasa tidak bisa menjadi figur Ibu yang baik kali ini.

Wanda melangkah masuk ke kamar. Ia membuka pintu dan menutupnya pelan-pelan, lalu berjalan mendekati Bramanto yang tengah duduk di tepi kasur dengan wajah gusar.

"Mas, aku mau ngomong sama kamu..." Kata Wanda duduk di samping Bramanto.

Bramanto hanya diam.

Merasa tak ada tanggapan, Wanda kembali bersuara, "Mas... kamu yakin, ini yang terbaik untuk Logan dan Fathir?"

"Diam, Wanda. Jangan berusaha mempengaruhi pikiranku." Sahut Bramanto dengan suara berat.

Wanda menarik napasnya pelan, "Mas, masih ada waktu untuk ngerubah keputusan kamu. Aku tau, kamu juga gak ingin hal ini terjadi. Mereka masih anak-anak untuk dikirim keluar negeri. Mereka di sana hidup sendiri tanpa pengawasan kita, tanpa kasih sayang orang tua."

"Kamu ingat, apa yang terjadi pada Fathir saat kehilangan Ibunya? Ia hidup sendiri di apartemen dan kehilangan arah. Apa kamu mau hal itu terjadi lagi?"

Bramanto meremas rambutnya, terlihat sangat frustrasi karena dilema dengan jalan yang akan ia berikan pada kedua anaknya.

Wanda tahu, jauh dilubuk hati suaminya itu, ia sendiri tidak rela melihat anaknya pergi. Bramanto menyayangi kedua anaknya lebih dari apapun. Hanya saja ia berusaha mengutamakan egonya demi terlihat tangguh dan tegas.

Tanpa sadar air mata Wanda menetes di pipinya tanpa bisa ia cegah. Dengan gerakan cepat ia memeluk Bramanto dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.

"Jika kamu bingung dengan keputusan kamu, benar atau salah, tolong pikirin perasaan aku juga. Fathir baru aja terima aku sebagai Ibunya. Logan memaafkan kamu dengan permasalahan lalu yang kita sembunyikan. Ini kesempatakan kita untuk mengubah semuanya, Mas. Aku mau mereka menghabiskan masa remaja dirumah ini, bersama kita, dan memberikan apa yang mereka butuhkan sebagai orang tua. Coba kamu bayangin kalau mereka pergi? Rumah ini akan semakin sepi. Gak ada lagi anak-anak yang akan makan di meja makan bareng kita. Gada lagi anak-anak yang ngusilin aku kalau lagi masak..."

"Tolong Mas, ngertiin perasaan aku. Aku membutuhkan mereka." Air mata Wanda terus turun saat ia berbicara, membuat Bramanto spontan mengangkat tangan dan balas memeluk wanita itu. Ia membiarkan kepala Wanda bersandar di dadanya.

Sekeras apapun watak seorang Bramanto Mahardika, pasti akan luluh dengan tangisan dan permohonan dari seorang wanita yang ia cinta.

"Baiklah..." Kata Bramanto akhirnya seraya menghembuskan napas berat. "Kita akan menghabiskan waktu bersama mereka dimasa remaja. Tapi setelah mereka lulus SMA, mereka harus keluar negeri untuk belajar mandiri."

Black and WhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang