"Dasar pelakor!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
"Ibu! Jangan!" Mas Ben memohon pada ibu Diah yang sangat murka mendengar apa yang kusampaikan pagi ini.
Seperti janjiku, aku akan memberikan keputusan tentang permintaan ibu Mas Ben dan ibu Diah kemarin siang.
"Ma ... maaf, Bu. Aku menikah dengan Mas Ben hanya agar bisa merawatnya. Aku berjanji hanya sampai Mas Ben sembuh, lalu kami akan bercerai." Jantungku seperti dihujam belati saat mengucapkan kalimat terakhir itu. Aku tak bermaksud menjadi pelakor, tapi aku juga tak menyangka akan berakhir menjadi istri kedua Mas Ben dalam keadaan seperti ini.
"Tidak! Aku ngga setuju! Itu ngga boleh terjadi!" ibu Diah meraung di ruangan itu.
Kulempar pandanganku ke arah Mas Ben. Ia seperti tercekat. Aku tahu ia juga tak pernah menyangka hubungan kami akan seperti ini. Kami sangat menikmati kedekatan kami, namun sedikitpun tak terpikir untuk menikah dan mengacaukan segalanya. Apakah ini hukuman yang Allah berikan untukku?
"Em ... sudah! Sudah! Tenangkan dirimu dulu, Nora. Kita bicarakan baik-baik," kata ibu Mas Ben mendekati ibu Diah yang bercucuran air mata. Beliau berdua berjalan keluar untuk menenangkan diri.
"Dek, maaf membuatmu jadi terlibat jauh." Hanya itu yang diucapkan Mas Ben kemudian. Antara sedih atau senang melihat karakternya yang kuat. Bahkan di saat seperti ini Mas Ben tak menyatakan apapun tentang rencana pernikahan kami. Mungkinkah hanya aku yang ingin menikah dengannya?
Cepat-cepat kutepis pikiran buruk itu. Meskipun aku tak ada dalam rencana besar kehidupan Mas Ben, aku harus fokus pada tujuan utamaku untuk mendampinginya sampai ia bisa berjalan kembali. Bu Eno benar aku harus mengakhiri hubungan terlarang itu. Menikah dengannya adalah cara untuk terlepas dari zina.
"Mas, maafkan aku, ya, sudah memasuki hidupmu terlalu jauh. Aku berjanji ini hanya sementara. Sudah saatnya aku membalas semua kebaikanmu. Dan yakinlah Allah akan memberikan kesembuhan agar Mas bisa berjalan kembali," kataku, berkaca-kaca.
Meskipun ia masih mengingatku, namun hancurnya jiwa Mas Ben sangat tergambar di wajahnya. Aku sudah kehilangan Mas Ben-ku. Ia sudah tak seperti dulu lagi.
"Aamiin," katanya, dengan bulir bening yang tiba-tiba jatuh di pipi.
Hening. Mas Ben perlahan mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar. Ia seperti memutar kembali slide kehidupan yang telah dijalaninya. Tentang keluarga, karir, teman-teman, dan mungkin tentang kesalahan yang telah ia lakukan semenjak mengenalku.
"Em ... Dek, tolong antarkan aku ke kamar istriku," kata Mas Ben memecah keheningan.
"Ba ... baik, Mas." Terbata aku menjawabnya. Tak menyangka akan langsung mendapatkan tugas pertama sejak memutuskan untuk mendampingi Mas Ben, meskipun belum mendapatkan persetujuan dari ibu Diah.
Kuhubungi perawat yang sedang bertugas agar membantuku menyiapkan kursi roda untuk Mas Ben. Selanjutnya hanya aku dan Mas Ben yang beranjak menuju kamar Diah. Ruangan itu bernuansa hijau muda. Di sanalah Diah sedang terbaring lemah dengan bantuan alat untuk membantunya tetap bernapas.
Kulihat Mas Ben sudah tak sanggup lagi membendung air mata.
"Sayang, maafkan aku." Itu kalimat pertamanya saat perlahan digenggamnya tangan Diah yang tak berdaya. Diciumnya tangan itu dengan penuh kehangatan.
"Cepat sembuh, ya Sayang," ucapnya lagi.
Adegan suami-istri ini, sebaiknya aku keluar saja. Tak mau mengganggu. Lagi pula rasa cemburuku sejak tadi sudah berteriak dalam hatiku. Sakit rasanya.
"Jangan pergi, Na!" Mas Ben berucap tanpa kuduga.
"Ya, Mas," jawabku, pasrah.
Kusaksikan semua yang tak sanggup kusaksikan. Ucapan-ucapan cinta Mas Ben pada Diah, sentuhannya yang begitu lembut dan hangat, dan kekesalannya yang bercampur amarah saat ia tak bisa bangkit dari kursi rodanya untuk mencium istrinya itu. Na! Apa kamu yakin akan sanggup menjalani hidup menjadi istri kedua lelaki pujaanmu ini? Jiwaku seolah memperingatkan diri sendiri.
"Cantik ... aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, Sayang," Mas Ben kembali berbicara. "Demi kebaikan kita dan anak-anak, aku akan menikah dengan Na, perempuan yang membuat kita bertengkar hebat waktu itu."
Aku tersentak. Apa? Perempuan yang membuat mereka bertengkar hebat? Ya, Allah! Jadi benar aku yang menyebabkan semua malapetaka ini? Kubekap mulutku menahan tangis, meskipun bekapan itu tak berpengaruh sedikitpun karena detik itu juga tangisku pecah.
"Jadi semua ini salahku, Mas?" Aku berusaha berucap meskipun tenggorokanku terasa sakit sekali. Aku terhenyak di samping kursi roda Mas Ben. Bertumpu pada salah satu sandaran tangannya, dan meratap.
"Sudah! Jangan menangis, Dek." Kurasakan tangan Mas Ben di kepalaku, hangat dan penuh kasih sayang.
"Tapi aku ngga bisa memaafkan diriku, Mas! Aku sudah menghancurkanmu," kataku terisak. Tangisku semakin menjadi.
***
"Bapak Ben harus menjalani serangkaian pemeriksaan untuk memastikan kondisi kelumpuhannya," kata dokter Andi sore itu.
"Apa anak saya masih bisa disembuhkan, Dok?" ibu Mas Ben tampak cemas, secemas aku yang menyimak pembicaraan mereka sejak tadi.
"Akan kita usahakan semaksimal mungkin, Bu. Nanti setelah pemeriksaan dilakukan, kita lihat bagaimana hasilnya, lalu menentukan cara terbaik untuk penyembuhan."
"Maaf, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa berjalan kembali, ya, Dok?" Rasa ingin tahuku tak bisa ditahan.
"Mm ... berbeda untuk setiap kondisi. Yang penting sekarang Bapak Ben banyak istirahat, minum obat yang teratur, dan jaga makanannya ya. Plus, jangan banyak pikiran." Begitu pesan Dokter Andi sebelum pergi bersama tim perawatnya ke ruangan yang lain.
Tak berselang lama, aku pun pamit pada Mas Ben dan ibunya. Sepanjang koridor, benakku mencoba mencerna penjelasan dokter di ruangan tadi. Bagaimana kalau Mas Ben ada pada kemungkinan terburuk? Tak bisa berjalan lagi? Oh, aku sungguh tak sanggup melihatnya hancur.
Aku berusaha menyadarkan diri dari bayangan buruk itu. Tak seharusnya aku membiarkan rasa pesimis merasuki pikiranku di saat-saat seperti ini. Aku berharap kondisi Mas Ben tak terlalu parah. Aku ingin Mas Ben sembuh. Aku ingin Mas Ben-ku mendapatkan kehidupannya kembali.
Baru saja aku sampai di halaman rumah sakit, handphone-ku berbunyi.
"Halo," sapaku.
"Halo, Na. Sehatkah?" Suara Mba Eva, bosku di kantor, terdengar dari ujung sana.
"Ya, Mba. Alhamdulillah," kataku.
"Mm ... maaf sebelumnya. Aku ngga tau kamu lagi ada problem apa di sana. Aku hanya berharap masalahmu cepat selesai, dan kita bisa kerja bareng lagi di sini. Oke?"
Kalimat Mba Eva adalah kode agar aku segera masuk kantor lagi. Oh, tentu saja! Bagaimana mungkin aku melupakan hal ini? Pekerjaanku pasti sekarang sudah menumpuk di sana. Selama di sini aku jarang memeriksa email maupun pesanku yang lainnya.
Lalu bagaimana rencana pernikahanku dengan Mas Ben? Aku tak mungkin bekerja di Jakarta jika nanti aku akan mendampingi Mas Ben di kota Padang.
Tiba-tiba wajah Ayah berkelebat di pelupuk mataku. Ayah sangat ingin melihatku menjadi perempuan sukses. Selama ini Ayahlah yang mendukungku untuk terus maju menekuni bidang kesukaanku, sehingga berada pada posisi yang cukup bagus seperti sekarang.
Aku dilema. Jika aku berhenti dari pekerjaanku, berarti aku akan melukai Ayah. Dan jika aku pulang ke Jakarta demi pekerjaanku, berarti aku akan melukai Mas Ben. Ya, Allah! Tak bisakah aku membahagiakan keduanya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TERGODA MAS BEN
RomanceHai, aku Na kekasih Mas Ben. Tak ada yang tahu bahwa kami memiliki hubungan spesial. Selain menjadi arsitek muda yang sukses, Mas Ben adalah lelaki baik dan mencintai keluarganya. Ya, ia adalah seorang suami untuk istrinya yang cantik, dan seorang a...