1. Tawaran

22 2 0
                                    


Kenapa rasanya bisa begini sempit. Sulit kurasa untuk menghirup dengan tenang.

Sangat sesak.

Kejadian tadi terus berulang.

Bukan wajah pak fiko yang akan selalu tersenyum ramah padaku.

Sebaliknya yang kulihat adalah wajah penuh amarah atas apa yang terjadi pada wanita berhijab itu.

Pak Fiko sudah menikah!

Tapi mengapa?

Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?

Apa karena ia yang tak pernah membawa wanita ke kantornya?

Atau tak pernah ada gosip apapun mengenai dirinya dengan wanita manapun.

Tentu saja. Orang seperti Fiko itu bebas dari gunjingan yang buruk. Ia terlalu baik untuk mendapat gunjingan dari bawahannya.

Siapa yang mau menggosipkannya jika ia memang sudah menikahi wanita yang soleh?

Aku memang bodoh.

Di ruangan tadi yang kulakukan hanya diam saja. Bukannya membantu.

Sekarang pekerjaanku jadi taruhan.

Semua karena keteledoranku.

Mengapa aku harus begitu memikirkan Pak Fiko sampai-sampai aku tidak menyadari keberadaan istrinya yang memasuki ruangan.

"Ahhh hiks hiks."

Aku tak bisa menahan isakan tangisku. Aku takut Pak Fiko marah dan membuatku dipecat.

Saat ini aku berada di tamana belakang kantor. Duduk di atas kursi kayu panjang. Sendiri sembari menangis ditemani bunga mawar yang cantik.

Kedua telapak tanganku menutupi wajahku yang sudah sangat basah.

Aku tak yakin mana yang membuatku menjadi sangat sedih.

Takut kehilangan pekerjaan apa patah hati karena tau jika tak ada peluang lagi dengan Pak Fiko.

Ah gila memang aku.

Masih bujang pun belum tentu Pak Fiko yang perfect itu mau padaku.

Kubuka telapak tanganku.

Kuperhatikan seragam kerjaku yang tidak menarik sama sekali meski kerja di perusahaan fashion. Bahkan ada bercak hitam yang sulit hilang di beberapa bagian.

Kulitku juga sangat kering dan kusam.

Tak cantik sama sekali.

Air mataku kembali menetes.

Sungguh beruntung perempuan yang menjadi istri Pak Fiko.

Istri Pak Fiko memang cantik dan juga anggun.

Sungguh serasi.

Aku melap kembali pipiku dengan telapak tanganku.

Sangat tidak elegan. Tapi siapa peduli hal itu sekarang.

"Kamu."

"Akhhh." aku terlonjak mendengar suara yang tiba-tiba berada di dekatku.

Kulihat pak Fiko berdiri sambil mengerutkan keningnya dan ya ampun dia tetap memesona dengan cara seperti itu!

"Bapak ada apa ya?" Tanyaku berlagak bodoh.

Kerutan di antara kedua keningnya makin dalam. Pertanda jika ia sangat tidak suka dengan perkataanku barusan.

Aku menunduk. Antara takut ia marah dan takut tak kuat menahan pesosannya.

Bayangkan saja. Ia berada sangat dekat di depanku.

"Kamu..."

"Saya minta maaf pak. Saya enggak tahu kalo istri bapak mau masuk."

Aku menyela ucapannya dengan asal.

Kulirik dari ekor mataku.

Ia nampak menghela napas panjang kemudian berbicara lagi.

"Oke saya maafkan kamu."

Aku mendonggak.

"Yang benar pak?"

Jadi aku tidak jadi dipecat kan?

"Dengan syarat kamu harus mau jadi asisten pribadi istri saya sampai kakinya sembuh."

Tentu saja aku tidak bisa menyembunyikan raut wajah kesalku.

Seperti anak kecil aku menatapnya dengan bibir mengerucut.

"Bagaimana dengan pekerjaan saya pak? Saya butuh uang buat makan saya dan kekuarga pak!"

Aku meninggikan suaraku pada pak Fiko. Tak peduli jika ada yang dengar.

Aku hanya ingin dia sadar bahwa banhak oranh di luar sana setengah mati bekerja hanya untuk hidup.

Beruntunglah pak Fiko banyak dianugrahi oleh tuhan.

Pak Fiko tetap tenang. Wajahnya berubah santai. Seolah ia yakin bisa membuatku menuruti apa maunya.

Tentu saja aku akan menurutinya tapi jika ia masih bujang. Bukan suami orang.

"Kamu gak usah khawatir mengenai pekerjaan. Setelah berhenti menjadi asisten istri saya. Kamu bisa lanjut di sini lagi."

Mengapa pak Fiko terkesan sangat ingin menyuruhku untuk menjadi asisten istrinya?

Memang tak ada orang lain lagi selain aku?


Bersambung

Heal MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang