Berhubung lagi weekend dan tugas udah pada tuntas, jadi nggak ada alasan lagi buat Yujin sama Minhee sok sibuk. Terutama Yujin, sih. Setiap Minhee ajak main, pasti selalu nolak dengan berbagai macam alasan.
Sekarang mereka lagi ngopi cantik di kamar Yujin yang dipenuhi banyak barang. Bahkan mainannya sejak jaman dulu masih ada. Tapi walaupun penuh, barang-barang itu tersusun sangat rapi sesuai ukuran, jenis, merk, atau entahlah. Pokoknya terorganisir, deh.
Sampe-sampe, setiap kali Minhee masuk sini tuh rasanya nggak tega mau napakin kakinya. Iya, takut ngotorin. Dia juga ngeri setiap ngelihat rak buku yang nggak terlalu besar itu terisi penuh dan sangat padat.
Kan jadi nggak tega kalo mau ngambil satu buku, takut sususannya langsung hancur!
"Hee, lusa kakak gue pulang, loh. Mau oleh-oleh apa?"
Minhee mendadak gelagapan. "Kak Minju pulang? Kok cepet banget?"
Jadi Yujin ini anak ke-dua dari dua bersaudara yang terpaut tiga tahun. Kakaknya merantau di kota orang dan bakal pulang kalo lagi libur semester.
"Iya, awas aja lo malah malu-malu singa pas ketemu dia!" ancam Yujin teringat kejadian sebelum-sebelumnya.
Pokoknya bikin males deh kalo Minhee udah bertingkah setiap ada Kak Minju. Dia bakalan ngumpet di kamar Yujin atau nggak keluar rumahnya seharian. Mungkin dia masih trauma karena pernah dimarahin Kak Minju? Who knows?
"Suka-suka gue lah mau gimana," Minhee menyahut tengil. Ia memasukan setengah badannya ke dalam tenda barbie milik Yujin kecil waktu dulu. "Kalo gue ngumpet kayak gini bakal ketahuan nggak?"
Sebuah tendangan kecil mengenai kaki kanan Minhee, membuat pemuda itu tergelak. Lagi dan lagi. Hidupnya dipenuhi dengan tawa. Yujin menyahut malas, "bodo amat, lur."
"Ya abisnya dia galak banget kalo liat gue?"
"Kak Minju gak galak Minhee sayangku, lo-nya aja yang baperan." jawab Yujin super sewot.
Tanpa beranjak dari tenda mungil kesukaannya, Minhee senantiasa menyahuti ucapan Yujin yang memang bales-able. "Kok bisa tau sih gue baper dipanggil sayang sama lo?"
Yujin cuma masang wajah datar, nggak berminat buat ngebales. Nanti yang ada cowok itu malah kesenengan.
Tiba-tiba aja Yujin inget soal obrolannya sama Junho kemarin. Perihal Minhee yang takut disantet orang setiap diajak foto.
"Selca, yuk!" ajak Yujin tiba-tiba.
Tentu saja yang diajak bakal nolak mentah-mentah. Dia langsung menarik diri ke dalam tenda dan nutup akses masuknya pake peniti yang memang udah dicantolin di sana.
"Emangnya lo apaan sih sampe orang mau nyantet? Artis?" Yujin membuka bagian tenda yang berfungsi sebagai jendela. Terlihat Minhee sedang menutup wajah dengan telapak tangannya yang besar ith. "Di kelas aja kerjaannya tidur, siapa yang bakal kenal lo?"
Minhee menggembungkan kedua pipinya sambil menunduk. Sepertinya dia lagi mikir. Entah mikirin alasan lain buat nolak atau mikir buat mengiyakan ajakan Yujin.
"Dulu kan gue yang susah diajak foto, sekarang masa jadi lo, sih?"
"Hm," respon Minhee singkat. Ia mengangkat tenda-tendaan itu lalu keluar dari sisi bawahnya yang terbuka karena memang dibuat tidak menyatu.
"SERIUS?" Yujin bersorak girang. Ternyata nggak susah-susah banget ngebujuk Minhee. "Gue hargain privasi lo. Jadi tenang aja, gak bakal gue upload kemana-mana."
Yujin langsung sibuk mengarahkan kamera ponselnya mengikuti cahaya lampu kamar biar mukanya kelihatan lebih cerah.
"Heh liat depan!"
"Ogah ah, gini aja," jawab Minhee, kemudian balik mainin ponselnya.
"IH LIAT DEP-"
"CEPETAN MAU FOTO APA GAK?!"
Hshshshs galak banget.
"Tuh, kan, muka lo gak jelas jadinya!"
🎬
Junho duduk dengan tenang di sofa kamarnya dengan laptop yang berada dipangkuan. Suasana hatinya sedang baik untuk lanjut menonton film seri di sebuah website ternama.
Biasanya Junho bakal rebahan di kasur tanpa melakukan apa-apa. Paling corat-coret tembok kamarnya dengan berbagai alat gambar miliknya. Coretannya terkadang gambar sesuatu yang sepertinya hanya berasal dari imajinasinya, atau menulis kata-kata yang entah maksudnya apa.
Berbeda dengan kamar Yujin yang super rapi, kamarnya sangat berantakan. Tapi Junho nggak pernah merasa terganggu, malah nyaman-nyaman saja.
"Kak?" terdengar ketukan di pintu kamarnya diiringi suara Ibunya yang memanggil.
Junho melepas earphone yang terpasang di kedua telinganya tanpa beranjak dari sofa, "iya, Mah?"
"Obatnya di minum, Mamah mau keluar dulu sebentar," ucap Ibunya, masih berada di balik pintu.
"Iyaa," sahut Junho singkat.
Pandangan Junho beralih pada nampan kecil berisi obat-obatannya yang nggak bisa dibilang sedikit itu. Lalu disebelahnya terdapat kotak makan yang isinya belum ia sentuh sejak pagi.
Tanpa melakukan apa yang diperintahkan sang Ibu, ia kembali fokus pada layar laptopnya. Merasa masa bodoh dengan seluruh obat yang sudah diatur jam konsumsinya. Padahal dia sudah melewatkan dua kali, tapi kenapa tenang-tenang aja, sih?
'Gue bakalan minum kalo kambuh doang,' pikirnya.
Begitulah cara berpikir Junho yang sama pendeknya kayak sumbu amarah dia. Dia paling nggak suka kalo ngerasa lemah. Kayak apa, ya, pokoknya dia nggak boleh kalah sama rasa sakit.
Arti nggak boleh kalah sama rasa sakit di sini itu, jangan sampe dia terus ngerasain sakit waktu penyakitnya kambuh. Maka dari itu, dia bakalan minum obatnya kalo kambuh doang. Semata-mata cuma buat ngebuktiin ke dirinya sendiri, kalau dia bisa ngalahin rasa sakitnya.
"Ah, bangsat!" Ia menutup dengan kasar laptopnya. Matanya terpejam sesaat sambil mengatur napasnya yang mulai memburu.
"LO SIAPA, SIH?"
***
A/n:
hshshshs ini aapan sih :(
alurnya terlalu maksa ><