Mama Satu Dua Tiga Empat

2 0 0
                                    

Mama terus saja berjalan. Tak ada hentinya langkah kaki. Berputar dari satu tempat ke tempat lainnya. Bunyi dari perutnya tak lagi dihiraukan. Aku tak peduli lagi, pikirnya. Aku mampu menahan serangan lapar. Bagaimana dengan anak-anaknya? Mereka masih sangat kecil, belum tahu ganasnya dunia, pun tak dapat bertahan kalau tak ada makanan dan perlindungan darinya. Dingin yang menggigit adalah hal lain yang dikhawatirkannya.

"Satu... Dua... Dimana kalian?!" Teriaknya pada angin. "Tiga... Empat!" Lolongnya pada keheningan malam. "Dimana kalian, nak?!" Ratapnya pada debu yang berterbangan.

Sebentar saja kutinggal mengambil makanan, mereka sudah hilang, sesalnya. Tadi pagi anak-anaknya masih ceria bermain bersamanya di tempat tinggal mereka. Mama menyesal tidak bisa menyediakan rumah bagi anak-anaknya. Hanya tempat tinggal yang berpindah ke sana dan kemari.

"Kalian lihat dimana anak-anakku?" Tanyanya pada siapa pun yang lalu lalang.

"Pergi sana!"

"Jauh-jauh sana!"

Hanya usiran dan ucapan bernada kasar yang didapatnya. Lusuh badan dan bau menguar mungkin jadi alasan mereka tak mau berurusan dengannya. Terkadang, tendangan untuk menjauhkannya juga di dapat. Demi Mama tak mendekat yang kemungkinan bisa saja menularkan kutu-kutu kepada mereka yang ditanyainya.

Satu, anak pertama. Wajahnya sayu, dan matanya selalu seperti ingin menangis. Dua, anak kedua. Wajahnya tegas seolah-olah dia tak gentar oleh dunia. Tapi, dia tetaplah anak mungil yang tak berdaya, setegar apa pun. Tiga, anak ketiga. Sejak lahir selalu sakit. Matanya tak mau membuka sempurna, hidungnya selalu berair. Mama berusaha meyakinkan diri kalau Tiga akan bertahan dan terus hidup sampai banyak usianya. Empat, anak keempat, adalah yang termungil, tatapi yang terkuat. Empat berani menjelajah tak jauh-jauh dari tempat tinggal mereka seorang diri. Menemukan banyak hal dan bertanya banyak hal juga pada Mama.

"Satu... dimana kamu, nak?!" Teriaknya lemah. "Dua... Tiga... Kalian kemana?!" Serak suaranya karena seharian berteriak. "Empat..." Mama lalu tersungkur tak berdaya di pinggir jalan, tak peduli lagi ada kaki-kaki yang akan menyepaknya dan membuat sakit sekujur tubuhnya. Dia lelah, lapar, sedih, dan nyaris putus asa.

"Kemari, sayang..." Suara lembut itu mengisi rongga telinga Mama. "Kamu kemana saja. Kamu pasti lapar." Lanjut suara lembut itu berngiang. Mama tak berani membuka matanya, takut bayangan indah itu hilang.

Elusan lembut pada kepalanya, tepukan hangat pada punggungnya, lalu makanan enak akan tersedia di depannya tanpa dia bersusah payah mengais dari tempat jorok. Setelah perutnya kenyang, dia akan merasa mengantuk dan akan diantarkan ke tempat tidur yang bersih dan wangi. Di sana dia bisa berpuas diri memejamkan mata tanpa takut ada mara bahaya mengintai.

Itu sudah lama berlalu. Saat itu Mama masih semungil Empat, selemah Tiga, setegar Dua, sesayu Satu. Mama dahulu punya keluarga yang membagi kasih mereka padanya.

"Kamu kalau main jangan jauh-jauh, ya. Nanti kamu diambil orang yang pakai karung. Kamu dimasukkan ke karungnya, dan dibawa pergi jauh dari sini." Ucap kakaknya saat itu. Mama selalu ketakutan membayangkan orang dengan karung yang bisa membawanya pergi jauh dari rumah penuh kasih ini, berpisah dari keluarganya. Mama selalu mengingat kata-kata itu dan memilih bermain di dalam rumah saja.

Suatu hari yang cerah, keluarga mereka pergi ke taman untuk bersantai. Mama senang pergi ke taman. Tak ada orang berkarung di taman karena isinya adalah banyak keluarga mirip keluarganya. Dia bisa bebas bermain kesana kemari tanpa perlu merasa takut. Di taman banyak kupu-kupu. Mama bebas mengikuti kupu-kupu kemana pun arah terbangnya. Di rumah tak ada kupu-kupu karena Mama dan keluarganya tinggal di salah satu rumah di dalam gedung yang sangat tinggi. Pergi ke taman sering dilakukan keluarganya dan keluarga lainnya di sore akhir pekan yang cerah.

Mama Satu Dua Tiga EmpatWhere stories live. Discover now