Bagian 1 : Mini Market Mitra

1K 109 81
                                    


Jam sepuluh malam. Kinar duduk di belakang meja teller dengan monitor yang terus menyala dan rak berjejerkan rokok setinggi pintu.
Sendirian.

Seharusnya Kinar merasa takut. Tetapi tidak.

Sudah 7 tahun bekerja di Mini Market Mitra ini, me-list barang, menaruh barang pada tempatnya, mengambil barang yang kadaluarsa. Dengan gaji segaris UMR.

Kinar menjadi saksi pegawai masuk dan berhenti silih berganti. Beberapa diantaranya bertanya mengapa Kinar bertahan.

Alasan sentimentil?
Tidak ada.

Mungkin Kinar merasa seperti sisa nasi pada piring yang sudah mengering dan tidak bisa dibersihkan. Terjebak dan tidak bisa pindah.

Siapa yang mau menerima wanita 30 tahun lebih dengan pengalaman 5 tahun bekerja di supermarket yang sama berijazah SMA.

Ya, Kinar pernah kuliah. Fakultas Ilmu Politik yang hanya mendapatinya berkata dalam hati. Apa yang ia lakukan disini? Jadi ya akhirnya dia keluar.

Sekelabat seorang pria masuk, mengambil minuman dari refrigerator dan meletakkannya di hadapannya.

"Hanya ini pak?" tanya Kinar.

"Iya," jawabnya singkat.

"Isi pulsanya pak sekalian." Kinar fokus men-scaning minuman tanpa melihat wajah orang di depannya.

"Lain kali saja mbak." jawab pria tersebut.

"Semuanya 6000 rupiah." Kinar tetap menatap monitor.
Pria itu memberi uang pas.

"Terima kasih. Semoga datang kembali." Salam Kinar sambil setengah membungkuk.

Akan tetapi pria itu masih berdiri disana. Lalu akhirnya ia menatap wajah orang didepannya.

"Iya, ada lagi pak yang bisa saya bantu?"

"Bagaimana bila mbak saya tawarkan untuk membesarkan seorang anak?" tanyanya tiba-tiba.

Wajahnya mendekat ke Kinar. Kinar terdiam, mundur ke belakang.

Apakah saya tidak salah dengar.
"Ap ...  Apa pak? " Kinar ingin memperjelasnya.

"Mbak mendengar dengan baik pertanyaan saya tadi."
Wajah pria itu terlihat berminyak dengan rambut lepek disisir samping, berjaket hitam dengan samar bau yang menyatakan ia belum mandi.

Kinar menghela nafas.
"Bapak. Saya saja masih ngontrak. Kalau bapak ke pinggiran kali disana atap dan dindingnya seng. Itu kontrakan saya. Bagaimana saya bisa membesarkan anak."
Kinar tahu ekonomi makin sulit tapi ia tidak sangka ada orang yang tega menyerahkan anaknya.

"Tapi ini bukan anak biasa. Maksud saya bukan dari waktu ini, dari masa lalu."

Kinar merasa jantungnya mulai berdegup kecang dan mulai melihat-lihat dimana ia meletakkan handphonenya.

"Anak ini adalah diri anda sendiri."

*****

Raising meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang