(12) Bilge Rat

224 49 17
                                    

Aku menyandarkan tubuhku pada pintu apartement Harry. Aku sedang menunggunya kembali. Aku mengira dia ada di apartementnya, ternyata dia sedang keluar. Awalnya aku mau pulang tapi Harry mengatakan sebentar lagi dia akan sampai, untuk itulah aku masih berdiri disini untuk menunggu Harry pulang.

Aku merapatkan coat yang membungkus tubuhku untuk menahan dingin yang kurasakan. Aku tahu sekarang pasti penampilanku sangatlah buruk. Rambut yang tadi kuuraikan dengan rapi sekarang sudah berantakan akibat air hujan begitu pula dengan makeup yang tadi menghiasi wajahku sekarang ikut luntur. Selain karena hujan yang membuat makeup yang pada wajahku luntur, air mataku juga menjadi penyebab utamanya. Aku tidak tahu harus marah pada siapa sehingga aku melampiaskannya dengan menangis seperti sekarang.

Aku bingung harus menceritakan ini pada siapa. Aku tidak mungkin pulang ke rumahku dalam keadaan berantakan seperti ini bahkan sampai menangis dan mengadu pada ibuku. Kurasa ibuku hanya akan menasehatiku dan menyalahkan aku. Dia juga sudah mengatakan kalau ada apa-apa kedepannya, maka yang akan menanggung akibatnya aku sendiri.

Kupikir malam ini benar-benar sempurna. Ya, aku bisa menyebutnya seperti itu sebelum Stella menelepon pada Zayn. Aku tidak tahu sama sekali apa yang terjadi pada percakapan mereka sampai Zayn meminta aku untuk pulang dengan menggunakan taksi. Aku juga tidak mau menyalahkan Zayn, karena sebelumnya dia sudah bertanya padaku apakah aku tidak apa-apa pulang dengan taksi. Aku juga tidak enak jika aku menolaknya. Mungkin melihat aku yang sudah sering tidak keberatan dengan permintaannya, Zayn jadi meminta seenaknya. Seperti kejadian tadi, aku hanya mengiyakan permintannya seolah aku mengatakan,"Ya kau pergi saja kencan dengan Stella, aku tidak apa berkali-kali kau perlakukan seperti ini." dan bodohnya lagi sekarang untuk apa aku menangis dan mendatangi Harry.

"Chamomile," aku mendongak setelah mendengar seseorang menyebut namaku. Aku langsung menunduk setelah tahu kalau Harry ada didepanku. Ia meletakkan kedua tangannya pada pundakku. Meskipun aku tidak menatapnya, aku tahu kalau sekarang ia sedang memperhatikan wajahku. "Kenapa kau jadi seperti tikus got?"

Aku menggeleng pelan sambil mengusap wajahku dengan satu tanganku. Aku hanya ingin Harry mengantarku pulang dan juga memperbaiki penampilanku sebelum pulang agar orang-orang berpikir ucapanku benar-benar terbukti kalau aku baik-baik saja setelah menikah dengan Zayn. "Kau darimana sampai basah seperti ini. Kau habis main hujan. Kau sudah besar Mauve."

Aku hanya diam. Dan sialnya lagi lagi aku menangis. Aku tidak tahu kenapa suara Harry justru semakin membuat dadaku menjadi sesak. "H-hey. Kau menangis? Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan tikus got."

"B-bukan Harry," ucapku dengan masih menunduk. Aku tidak mau dia melihat wajahku yang kacau seperti sekarang. Kuharap Harry hanya berpikir kalau riasan wajahku jadi berantakan seperti sekarang karena air hujan bukan karena menangis.

"Kalau begitu kita masuk," ujar Harry. Harry membuka pintu apartementnya. Pada saat Harry menangkap mataku sedang melihatnya, aku kembali tunduk untuk menghindari tatapannya. Harry masuk ke apartementnya disusul aku yang mengekor di belakangnya. "Kau mau disini atau di kamarku."

Aku tidak menjawabnya melainkan duduk di sofa. "Mauve, kau kenapa. Kemana Zayn."

Aku hanya menggeleng pelan sebagai jawabannya. Kalau aku bicara itu justru menunjukkan kalau tadi bahkan sampai sekarang aku sedang menangis karena saat ini suaraku sudah berubah jadi parau. Semakin aku menahan untuk tidak menangis, itu justru membuatku terisak. "Kau mau teh atau coklat hangat? Atau kau mau aku membuat keduanya."

Aku menarik tangan Harry kembali agar ia duduk disampingku. "Kau kenapa Mauve, kenapa kau dari tadi hanya diam. Kau menangis?"

"A-aku hanya menggigil kedinginan." aku menunduk melihat ke bawah lantai agar Harry tidak melihatku. Aku tidak peduli kalau setelah ini Harry justru menyalahkan aku. Dari awal dia sudah memperingati aku untuk tidak menerima tawaran Zayn tapi aku justru tidak mau mendengarnya. Kupikir Harry pergi mengambil sesuatu yang bisa membuatku hangat, setelah aku mengatakan kalau aku sedang kedinginan. Dia justru masih duduk disampingku sambil terus memperhatikanku. Sebenarnya aku tidak kedinginan, aku mengatakan itu agar Harry berhenti menatapku seperti sedang penasaran dengan apa yang terjadi padaku.

"Chamomile. Aku tahu kalau kau sedang menangis sampai terisak seperti itu. Bukan karena menggigil kedinginan."

"A-aku tidak marah pada Zayn hanya saja aku tidak terima dia selalu seperti ini. Aku tidak meminta dia memutuskan pacarnya karena aku sadar hubunganku dengan dia hanya sebuah perjanjian. Tapi aku mau dia sedikit menghargai aku-" aku terperanjat saat aku merasakan Harry memelukku. Ia memelukku dengan sangat erat dan mencium puncak kepalaku beberapa kali.

"Jadi yang membuatmu sampai kehujanan dan menangis seperti ini, Zayn. Memangnya kemana dia sekarang. Bagaimana bisa dia membuatmu seperti ini."

"Dia sedang bersama Stella. Tadi kami sedang makan malam, lalu ditengah perjalanan Zayn meminta aku untuk pulang dengan menggunakan taksi," jawabku dengan masih memeluk Harry, pelukan Harry benar-benar mampu membuat aku berhenti memikirkan hal bodoh yang membuat aku menangis. "Aku minta maaf sudah merepotkanmu dan juga terima kasih sudah mau pulang."

Setelah aku akhirnya bisa tenang dan juga berhenti menangis aku melepaskan pelukan Harry. Baju yang dipakai Harry ikut basah karena memelukku. Harry ikut memperhatikan penampilanku yang memang sangat pantas untuk diperhatikan. Mungkin sebentar lagi dia akan menertawakanku. "Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku mau marah pada Zayn. Tapi aku sadar dan tahu aku ini siapa, Chamomile."

"Ya. Zayn tidak salah. Aku yang salah. Harusnya aku tidak datang padamu disaat seperti ini. Bukankah kau sudah memperingati aku untuk tidak melakukan ini," ucapku. Kalau Harry mau mengusirku sekarang juga tidak apa-apa. Aku memang pantas mendapatkan itu. Sudah seharusnya dia tertawa sekarang melihat aku seperti ini.

"Kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Lagipula siapa perempuan yang tidak mau dan menolak menjadi istri Zayn, walaupun itu hanya kontrak. Setidaknya kau bisa melihat wajahnya setiap hari dan memenuhi keinginanmu," aku menyipipitkan mataku mendengar Harry mengucapkan itu. "Ya... Tapi mana mungkin Zayn memilihmu kalau kau memiliki pemikiran seperti itu. Aku minta maaf-"

"Lagi? Kau tidak perlu meminta maaf Harry. Kau memang benar. Awalnya aku melakukan ini selain untuk membantu Zayn, aku juga melakukannya karena atas dasar penasaran. Kalau sudah seperti ini, aku tidak penasaran lagi bagaimana rasanya hidup dengan pria yang hampir sempurna seperti Zayn."

"Kau serius sudah tidak penasaran lagi?" Harry menaikkan sebelah alisnya menatapku. Aku menelan liurku sendiri melihatnya mendekatkan wajahnya. "Memangnya kau sudah tahu dia dan melihatnya?"

"M-maksudmu." Harry menaikkan bahunya sambil tertawa sendiri dan aku tidak mengerti dimana letak lucunya dari ucapanku barusan. Dia begitu sempurna, bagaimana bisa aku membencinya. "Harry. . . Aku minta maaf dan berterima kasih untuk semuanya. Selama ini aku benar-benar tidak tahu diri."

Harry yang tadi menatap keatas sambil tertawa sekarang benar-benar diam. Hey, aku hanya mengucapkan maaf dan terima kasih. Kenapa dia menatapku seperti aku baru saja mengucapkan kata kata yang luar biasa. Harry memeriksa keningku seperti aku sedang sakit. "Kau minta maaf, kau mau meninggal?"

"Aku serius."

"Aku tidak sedang mimpi 'kan?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Kalau kau mau aku bisa menamparmu agar kau percaya kalau kau sedang tidak mimpi."

"Aku belum percaya. Kurasa tamparanmu tidak akan mempan. Bagaimana kalau kau menciumku agar aku bisa sadar."

"Memang iya," ucapku dengan memegang kedua pipi Harry. aku melakukan apa yang Harry minta. Kedua tangan Harry memegang pinggangku dan mengangkatku untuk duduk diatas pahanya. Aku benar-benar merindukannya.

"Pakaian kita basah Chamomile."

[]

ChamomileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang