"TETEH BANGUN!"
Mata Yujin langsung terbuka lebar. Jantungnya berdegup kencang ketika tidur lelapnya terpaksa selesai karena suara gedoran pintu dan teriakan Bundanya yang luar biasa nyaring.
Jam di dinding seolah mengejek karena jarum pendeknya sudah menunjukkan angka tujuh! Kenapa kamu tega banget, sih, jam dinding!?
Mood Yujin mendadak semrawutan waktu sadar hari Senin ini ada upacara bendera. Dia nggak mau banget harus berdiri di jajaran orang yang dihukum atau telat, intinya yang melakukan kesalahan. Reputasinya sebagai murid yang selalu datang pagi barengan Pak Amin, selaku tukang bersih-bersih, bisa-bisa lengser karena telat sehari!
Atau mending bolos aja, ya?
"Teteh itu udah ditungguin Junho!"
Kalimat yang barusan ia dengar berhasil menampar alam bawah sadarnya. Betul, daritadi dia masih tiduran di kasur sambil mikirin alasan apa yang bagus buat ngebolos.
"Iyaa, Bun, bentar lagi."
Yujin segera memakai seragamnya yang sudah disiapkan dari semalam, kemudian mencuci muka serta menggosok giginya secepat kilat. Beneran cepat banget. Nggak lupa sunscreen, bedak, sisir, dan parfum langsung ia masukkan ke dalam pouch birunya.
Setelah beres, ia langsung memasukkan asal seluruh buku tulis ke dalam tasnya dan segera turun ke bawah sambil menenteng sepatu serta kaos kakinya.
Aduh, gila minder lihat Junho udah ganteng banget sementara dia mandi aja enggak.
"Aduh kamu tuh—"
"Teteh berangkat ya, Bun. Assalamualaikum," Yujin menginterupsi ucapan Bundanya yang hendak mengomel. "Ayo, Jun!"
Junho memang selalu bawa mobil setiap ke sekolah. Biasanya Yujin ngamuk, soalnya kadang suka macet. Tapi ini pertama kalinya dia bersyukur banget Junho tetap dengan pendiriannya buat bawa mobil.
Kenapa Yujin bisa seneng banget? Tentu saja dia nggak perlu bawa-bawa pouch dan buku segitu banyak di tasnya. Selain ada razia make up, dia juga males banget bawa tas berat.
Setelah masuk ke mobil, Yujin langsung memakai kaus kaki dan sepatunya dalam satu menit. Dilanjutkan dengan memakai seperangkat make up sederhananya. Tanpa banyak tanya, Junho langsung melajukan mobilnya.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Yujin sudah beres dandan sejak lima menit yang lalu. Tapi bukan itu intinya.
Sekolah masuk jam 7.30 dan sekarang mereka terjebak macet. Jaraknya pun masih cukup jauh dengan sekolah. Rasanya Yujin mau keluar terus marathon aja.
"Bakalan telat banget ini," ucap Junho.
Yujin menengok ke belakang dan samping, mencoba menemukan orang beralmamater sama. Biar nggak terlalu panik. Tapi nihil, semuanya pada bapak-bapak yang mau kerja.
"Aduh pusing, ah," keluhnya berusaha pasrah. Matanya terpejam, pikirannya melayang memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.
Gimana kalo ada ulangan harian dadakan?
Gimana kalo kelompok biologinya kebagian presentasi sekarang?
Gimana kalo Yujin banyak ketinggalan?
Terlalu banyak pikiran negatif. Tapi itulah Yujin. Dia nggak bisa keluar dari garis. Nggak mau, nggak bisa, dan nggak berani.
"Ayo, mau bolos aja?" tawar Junho setelah 10 menit mobilnya masih diam di tempat. "Nanti izin aja."
"Ih enggak, ah. Aku takut kalo tiba-tiba ada sesuatu," tolak Yujin.
Junho mengetuk-ngetukan jarinya ke setir mobil, berpikir. "Lagian tumben banget kamu telat bangun?"
Ah, jadi keinget lagi, kan.
"Gak tau, aku tidur cepet kok," jawab Yujin seadanya.
"Udah ah, kita bolos aja," akhirnya Junho yang memutuskan. Dia terlalu malas memperjuangkan hal yang sia-sia. Soalnya pasti mereka bakal sampai di sekolah tuh sekitar jam delapan lebih, belum di hukumnya. Hadeh, ribet.
Mendengar itu wajah Yujin berubah masam dan mulutnya bersiap protes. Namun, Junho langsung memotongnya. "Break the rules sekali gak bakal dosa, kok."
"Terus izinnya gimana?"
"Hah? Gue harus ngarang surat izin buat lo berdua?"
"Iya, cepetan sana!"
"Dih, ogah banget. Kelas lo berdua tuh beda arah anjir malesin bolak-balik."
Yujin mencak-mencak mendengar respon Minhee yang apa-apa nggak mau terus itu. Sementara Junho tersenyum tipis melihat raut wajah menggemaskan gadisnya.
"GAK MAU TAU, POKOKNYA HARUS MAU!"
Sambungan telepon pun dimatikan sebelah pihak. Yujin menghembuskan napasnya jengah. Lalu menyandarkan kepalanya pada pundak kiri Junho.
Mereka sedang duduk santai di sebuah puncak bukit yang cukup terkenal di kota.Sementara di sisi lain kota, seorang pemuda sedang misuh-misuh menuliskan sesuatu pada secarik kertas sambil mencontek ponselnya.
"HAH perasaan gue diperbudak mulu!"
🎬
Gadis berjaket abu itu menatap sekitar sebelum akhirnya membuka pintu utama rumahnya. Kedua tangannya penuh dengan tentengan yang ia bawa dari kota tempatnya belajar itu.
"Assalamualaikum, Bunda?"
Tampak wanita dengan handuk yang melilit kepalanya datang tergopoh-gopoh. Itu Bunda baru selesai mandi.
"Waalaikumsalam," Minju memeluk Bundanya. Tapi Bunda malah salah fokus. "Kakak kok kurusan, sih?"
Minju tertawa. Padahal dia makan cukup, tapi nggak tahu, deh. "Lemak ditubuh Kakak nguap kali, Bun. Di sana panas banget soalnya."
Bunda cuma geleng-geleng kepala. Sementara Minju sibuk mengeluarkan oleh-oleh dari paperbag yang dibawanya tadi. "Oh iya, Bun, nanti Teteh jadi ikut Kakak ke sana?"
"Bunda udah nawarin, tapi dia nggak mau jadi psikiater," jawab Bunda.
Minju mengangguk paham. "Kakak juga gak kuat, Bun. Rasanya mau nyerah."