بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
21. Ujian
Belum ada satu nomor pun yang mampu Veli jawab. Lembar jawabannya masih kosong, padahal waktu terus berjalan. Rumus yang kemarin-kemarin dia hafal hilang begitu saja, pergi tanpa pamit. Sebenarnya Veli sudah menyiapkan keikhlasan jika hal ini terjadi. Rusaknya otak akan berimbas kepada hafalannya yang sulit, kehilangan sebagian memori, dan kesusahan untuk mengingat.
Dia mencari soal yang mudah dijawab, angka demi angka ditulis lalu diberi garis dua di bawah angka yang menjadi jawabannya. Dia sedikit ragu dengan angka hasil akhir, takut jika rumus yang digunakannya salah. Semoga benar, Veli memejamkan mata dan melangitkan harapan. Berharap Allah dengan rendah hatinya mewujudkan harapannya.
Dia beralih ke soal lainnya. Sedikit lama dia memahami maksud dari soal tersebut. Sikutnya ditumpu ke meja, lalu meminjat pelipisnya. Jika dulu, gampang saja bagi Veli dalam menyelesaikan soal matematika, sekarang tidak lagi. Seakan Allah memang sengaja mencabut semua ilmu dunia yang sudah menempel di otaknya.
Baru kali ini Veli merasa bahwa ujian adalah penyiksaan. Mana semua soalnya esai, cara pengerjaannya wajib ada, dan kerapihan tulisan dinilai.
Veli berusaha memainkan angka untuk mencari jawaban, tanpa disadari sebuah cairan merah menodai lembar jawabannya. Dengan gesit tangannya menutup hidung dan mulutnya.
"Sepuluh menit lagi." Pengawas mengingatkan.
Ketika orang lain mempercepat nulisnya karena dikejar waktu, Veli bangkit dan keluar tanpa pamit.
"Mau ke mana kamu?" tanya pengawas ketika Veli akan keluar. Namun, gadis itu malah berlari. "Velicia!" Saat tubuhnya baru berdiri hendak mengejar, seorang santriwati yang duduk di belakang Veli tadi angkat suara.
"Hiya mimisan, Ustadzah. Kena lembar jawabannya."
Allah.
Allah.
Allah.
Veli tertunduk di kursi koridor, menatap lekat sapu tangan yang ada ukiran namanya dan David di sana. Namun, ukiran huruf forever always together ternodai cairan merah, seolah hal tersebut sebagai tanda bahwa mereka memang tidak akan bisa selamanya untuk bersama.
Sapu tangan itu selalu Veli bawa ke mana-mana, sebagai persiapan saja jika terjadi hal seperti sekarang. Setiap kali melihat noda itu, Veli selalu menjatuhkan air matanya. Hatinya terasa ditumpuk oleh beban berat, membayangkan apa hari besok dia masih bernapas?
Jika sudah sampai saatnya, Veli berharap agar Engkau memberi kesempatan untuk Veli meminta ampunan dulu atas dosa-dosa yang telah Veli perbuat
"Assalamuaikum."
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan sapu tangannya dalam kepalan ketika seorang Ustadzah berdiri di depannya. Kepalanya diangkat, senyumnya dikembangkan. "Waalaikumussalam, Ustadzah," jawabnya seraya mencium tangan yang hanya terlihat jari saja.
"Kenapa di sini?"
"Tidak apa-apa, Ustadzah. Veli pamit, ya." Dia segera bangkit lalu mencium tangan gurunya lagi. "Assalamuaikum."
Tidak ada sesuatu yang terlintas di pikirannya selain masjid. Inilah salah satu kemuliaan seseorang yang selalu mengingat kematian, mereka akan gencar beribadah untuk mempersiapkan bekal. Bersikap seolah ajal menghampirinya satu detik lagi.
Veli tidak peduli dengan ujian yang ditinggalkan, mengerjakan atau tidak nilainya sudah bisa ditebak. Bukan dia berputus asa dalam menjawab, hanya saja Veli ingin segera bersujud kepada Allah. Rasanya berat jika menahan beban sendirian, dia butuh Allah, sebagai tempat segala-galanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinamika Hati [SELESAI ✔]
SpiritualKemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penya...