Agatha's POV
Hari ini gue memutuskan untuk nggak latihan dulu bareng Bram. Perasaan gue kacau dan nggak mood untuk ngobrol dengan orang lain sekarang. Gue merasa bersalah karna sikap dingin gue ke Bram tapi gue harap dia bisa mengerti.
Kalau biasanya gue pakai jam istirahat untuk main gitar bareng Bram di ruang musik, kali ini gue duduk di atas rooftop sendirian.
Gue ketawa geli. Gue sadar apa yang gue lakukan sekarang sama kayak kebiasaan gue dulu sewaktu sebelum gue kenal Ekki dan Bram, sewaktu gue masih benar-benar sendirian.
Sendirian.
Tiba-tiba kepikiran lagi dengan kejadian waktu itu. Seharusnya gue nggak bilang perasaan gue ke Ekki. Lebih baik gue pendam daripada hubungan pertemanan kita jadi hancur begini.
Gue terlalu ceroboh untuk nggak peduli resiko yang akan terjadi, percaya diri seakan Ekki pasti terima dan semuanya berakhir dengan baik. Sekarang, gue sendiri bahkan nggak tahu apa gue bisa temenan lagi sama dia atau nggak.
Kalau waktu bisa diulang, gue nggak akan menyatakan perasaan gue.
"Ooh lo di sini ternyata?"Suara yang udah nggak asing lagi.
Lima murid itu menatap gue dengan senyuman licik mereka. Sekarang mau apalagi mereka?
Seketika ingatan tentang apa yang terjadi di kamar mandi waktu itu terulang lagi.
Ingatan sakit yang nggak bisa hilang.
Ingatan saat kedua tangan dan kaki gue dipegang sekeras mungkin, tatapan liar mereka, sakit di sekujur tubuh...
Mengingat itu semua membuat gue seketika lemas di tempat.
"Jadi lo udah nentuin tempat untuk mati? Di sini boleh juga"
"Tolong pergi, tinggalin gue"
"Kita baru sampai, malah langsung diusir"
"TINGGALIN GUE SENDIRIAN DI SINI" Gue sama sekali nggak bermaksud untuk membentak mereka, tapi gue udah benar-benar takut.
Kesal karna sikap gue barusan, Bio langsung berjalan mendekat dan memukul pipi gue. Gue langsung hilang keseimbangan karna pukulan Bio. Setelah Bio, yang lainnya nggak mau kalah dan ikut nyakitin gue. Awalnya gue berusaha untuk lepas dari mereka, tapi hasil nihil membuat gue akhirnya pasrah. Cuma kedua tangan gue yang berusaha sebisa mungkin menutupi kepala dan wajah.
Sakit dimana-mana, kepala, badan, tangan, kaki.
"Kok diam aja sih? Nggak seru banget" Suara salah satu dari mereka dengan napas yang tersengal-sengal.
Gue nggak tahu siapa yang bicara karna penglihatan gue yang udah agak kabur.
"Nggak...kuat..."
Mereka ketawa karna ucapan gue.
"Lo.. semua..." Gue juga ikut ketawa kayak mereka, "yang...harusnya... mati" Ketawa gue semakin kencang, puas dengan apa yang baru aja gue bilang.
Bagaikan membangunkan macan yang sedang tertidur, tawa mereka semua hilang. Bahkan gue cuma bisa dengar suara ketawa gue sendiri.
Entah mereka nonjok atau nendang wajah gue, cuma dalam hitungan detik lagi-lagi pipi dan perut gue rasanya nyeri banget.Mungkin dua atau tiga pukulan lagi, gue beneran mati. Jadi, tolong pukul gue sebanyak itu lagi. Biar gue nggak merasakan ini semua lagi.
Gue capek.
Gue muak.
"Udah mulai kurang ajar nih cewe"
"Beneran kita habisin aja?"
"Gila lo! Kalau sampai jadi urusan polisi, gimana bego?!"
"Tenang aja, lo tahu kalau nih cewe mati bakal jadi urusan dia? Aman kita"
"Ada gue, Ga. Ada gue..."
Bisa-bisanya suara Ekki terngiang dalam kondisi kayak gini.
"Jadi gimana? Mau kita beresin sekarang atau tinggalin aja? Gue juga capek kalau mukul dia terus!"
"Lempar aja dia dari sini"
Nggak...gue nggak mau mati sekarang! Gue nggak mau!Gue nggak bisa mati sekarang!
"Ada gue, Ga. Ada gue..."
Dengan sisa tenaga, gue menarik lengan seragam Matthew yang berusaha menyeret gue ke tepi rooftop.
"Jangan..."
Beberapa dari mereka cuma diam.
"Tolong..." Gue pukul lengannya, tapi dia tetap nggak peduli.
"Ja...jangan"
"Sorry...Please jangan hantuin gue nanti" Suara kecil Matthew
Gue bisa merasakan tubuh gue yang udah benar-benar di tepi, satu dorongan lagi dan gue bakal beneran jatuh.
"Ada kata-kata terakhir?"
Gue tetap berusaha memegang erat lengan seragam Matthew, satu-satunya pertahanan gue yang terakhir.
"...Ekki" Jawab gue singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Melt (GxG)
RomanceEkki, remaja perempuan berumur 17 tahun dengan kehidupan hitam putihnya. Semuanya terasa biasa saja untuknya. Tidak ada warna. Kosong. Hambar. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Agatha, teman sekelasnya. Pertemuan mereka mulai merubah pikirannya te...