Sembilan Belas

1.9K 114 4
                                    

Tuhan.

Izinkan walau sesaat, aku berterimakasih sekaligus memohon maaf atas kebahagiaan yang engkau sebut dosa.

-Gusna

Gusna's POV

Aku sudah membicarakan semuanya dengan nenek, atas sikap Jaka yang menyebalkan, dari mulai berbuat macam-macam kepada Kantia hingga membuatku babak belur seperti ini. Dan nenek bilang dia akan mengambil semua tanah nenek yang ayah Jaka kelola, dan tidak akan menerima hasil kebun keluarga Jaka bila mana keluarga Jaka hendak menjualnya kepada nenek, untuk sementara. Nenek bilang itu suatu cara agar keluarga Jaka lebih mendidik Jaka dengan tegas lagi.

Nenek sangat tidak terima saat melihatku pulang dengan keadaan wajah memar dan babak belur. Bahkan nenek sampai memarahi ayah Jaka habis-habisan. Tidak sia-sia aku berakting meringis-ringis sakit di depan nenek, walau setelahnya Kantia menertawaiku hingga perutnya kram. Aku pikir itu tidak masalah, aku harus sedikit berkorban agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Jaka tiga tahun lebih tua dariku, walau keluarganya bekerja untuk nenekku, bukan berarti mereka ditugas sebagai tukang bersih-bersih kebun atau tukang panggul. Keluarganya cukup terpandang di desa ini, sedari kecil Jaka tidak pernah di sekolahkan di sekolah yang sama seperti anak desa lainnya. Ia selalu di masukan ke sekolah swasta yang mengharuskan merogoh kocek lebih besar dibandingkan sekolah di sekitar sini.

Bahkan sekarang kata nenek dia tengah kuliah di salah satu universitas negeri di Jakarta, kebetulan saja sekarang dia sedang libur dan nenek menyuruhnya untuk menemaniku pergi ke bukit. Maka jangan aneh lagi dengan sikap gaul dan jelalatannya itu, dia sudah mencemari etika dan tatakrama pemuda desa selama ini.

Selain mengelola tanah milik nenekku, keluarga Jaka juga punya tanah kepemilikan sendiri. Sudah cukup atas dicabutnya kepercayaan mengelola tanah oleh nenek, ternyata nenek juga menambah penderitaan mereka dengan menutup jalur penjualan hasil kebun untuk keluarga Jaka. Aku yakin mereka akan kelapakan karena di wilayah ini hanya nenekkulah tengkulak yang terbilang cukup besar.

Entahlah, setidaknya aku sekarang bisa bernapas lega. Bukan berarti berbahagia di atas penderitaan orang lain, melainkan merasa lega telah membeberkan kebenaran bagaimana Jaka yang sebenarnya. Cukup sekian ceritaku mengenai Jaka, aku tidak ingin lagi membahasnya apalagi sampai kembali melihat batang hidungnya. Terkecuali Jaka telah berubah, menjadi seorang pemuda desa beretika seperti yang lainnya. Rasanya percuma bukan, disekolahkan di sekolah elit tetapi etikanya kalah dari rakyat jelata. Sia-sia saja jadinya.

...........................

Wajahku sudah terlihat seperti layar tanceb, Kantia memaksaku untuk menempel banyak pelester dan perban di wajahku. Setiap sudut luka bahkan luka sebesar butiran debu pun tetap harus ia tutup oleh pelester, atau tidak ia warnai dengan obat merah. Ah sudahlah aku tidak bisa menolak perintahnya.

Oh iya, jika kalian berpikir aku tidak jadi melakukan perjalanan ke air terjun. Kalian salah besar, aku dan Kantia tetap melanjutkan perjalanan. Dan ternyata rasa sakitku dan rasa syok Kantia bisa terbayarkan.

Flashback on

Akhirnya aku dan Kantia sampai di tempat tujuan, gemuruh air terjun setinggi tujuh belas meter dengan airnya yang sedikit berwarna kehijauan sudah menyambut kami. Seketika rasa lelahku terbayarkan, aku harap Kantia juga seperti itu.

Kami hanya membawa satu ransel, dan semua perbekalan kami satukan di dalamnya. Sepanjang perjalanan tadi aku menggendong ransel itu di punggungku, tidak mungkin membiarkan Kantia membawa ransel berat ini sendirian. Sedangkan aku mungkin sudah tidak aneh lagi dengan hal berat dan kegiatan yang menguras keringat.

The Time [GirlxGirl] (Editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang