8. Maafkan Aku, Diah!

565 34 0
                                    

"Pokoknyo keluarga kami ndak satuju kalau Si Ben babini duo!" (Pokoknya keluarga kami tak setuju kalau Ben beristri dua). Seorang lelaki paruh baya mengatakan itu dengan tegas.

"Begini, Pak. Mohon maaf jika semuanya sangat mendadak dan mengejutkan," kata ibu Mas Ben memulai kalimatnya. "Kami sekeluarga juga tak menyangka akan berakhir seperti ini." Ibu Mas Ben seperti sedang mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan maksudnya.

"Tapi masih banyak jalan lain, Buk. Ndak harus pulo Si Ben babini duo." (Tapi masih banyak jalan lain, Bu. Ben tak harus beristri dua). Lelaki itu menyela. Ia sangat yakin dengan pendapatnya.

Ibu Mas Ben mengela napas, tak jadi melanjutkan kalimatnya. Ia sangat memaklumi apa yang dirasakan keluarga Diah, tapi kenyataan yang ada di depan mata, siapa yang bisa bertanggung jawab? Begitulah kira-kira gambaran yang terpancar dari wajahnya.

Meskipun tak mengerti kalimat yang disampaikan lelaki itu secara rinci, tapi aku memahami ke mana arah pembicaraan mereka. Lelaki itu ternyata adalah adik ibunya Diah. Bertiga dengan keluarganya yang lain, ia sudah ada di kamar rawat Mas Ben saat aku datang setengah jam yang lalu.

Saat aku masuk lelaki itu melemparkan pandangan tak suka yang sangat kentara. Pastilah ia sakit hati melihatku yang datang mengacau dalam kehidupan keponakannya.

Mas Ben tampak tak bersemangat menghadapi pembicaraan ini. Ia hanya menunduk sambil sesekali melempar tatapan menerawang ke sekeliling ruangan. Disidang seperti itu memang tak mengenakkan. Walaupun ini semua kami pilih hanya untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang sudah kami lakukan.

Sementara itu ibu Diah tak hentinya menangis di kursi putih dekat lemari es. Ia tak mau ikut membahas lagi. Ia hanya ingin Mas Ben tak mengkhianati Diah, putrinya.

"Baiklah, saya mau bertanya. Jika Ben tak menikah dengan perempuan ini, lalu siapa yang akan mengurus keluarga mereka? Adakah yang bersedia?" Ibu Mas Ben memecah keheningan.

Semua orang di ruangan itu saling berpandangan. Agaknya pertanyaan itu tak ada yang bisa menjawabnya.

***

[Mba, aku mundur.]

Pesan itu kukirimkan pada Mba Eva, bosku di Jakarta. Kuharap pemberitahuan awal ini cukup untuk mengabarinya secara pribadi. Nanti surat pengunduran diriku akan kukirim via email.

Kurapikan kerudung putih yang kini menutupi kepalaku. Hari ini kami melangsungkan pernikahan di ruangan bernuansa hijau muda tempat Diah dirawat. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pernikahan ini dilaksanakan juga.

Aku sendiri semalaman tak tidur untuk menimbang apakah pilihanku sudah tepat atau tidak. Aku tahu untuk sementara aku tak mungkin bekerja lagi di kantor penerbitan itu, tapi aku berjanji akan menebusnya di kemudian hari. Ayah meninggalkan banyak sekali pelajaran hidup untukku, termasuk bertanggungjawab atas kesalahan yang telah kuperbuat.

Pernikahan dengan Mas Ben kuanggap cara untuk bertanggungjawab atas kesalahanku pada Mas Ben dan Diah. Meskipun ini hanya untuk sementara, kupastikan rasa cintaku takkan pernah hilang. Sebab rasa cinta itu juga lah aku melakukan semua ini. Aku akan berusaha agar kehadiranku benar-benar untuk menolong Mas Ben yang kucintai.

Aku memasuki ruangan dengan hati berdebar. Di sana sudah ada Pak Penghulu, Mas Ben, ibunya, Diah dan keluarga, serta beberapa orang lainnya. Sementara dari pihakku hanya diriku seorang. Ayah dan ibuku adalah yatim piatu yang dibesarkan di salah satu panti asuhan di Jawa Timur. Nasib telah membawa mereka merantau ke Jakarta, bekerja, memiliki rumah, dan tinggal seperti keluarga bersama tetangga.

Kini kedua orangtuaku telah tiada. Ibu meninggal saat melahirkanku, sementara Ayah meninggal setahun yang lalu secara tiba-tiba. Hanya keluarga Bu Eno orang terdekat saat ini. Namun untuk berita pernikahan ini aku tak sanggup mengabari mereka. Mungkin belum saatnya. Keadaan terlalu rumit, dan tak semua dapat mengerti apa yang sedang terjadi antara aku dan Mas Ben.

Ibu Mas Ben sempat mempertanyakan asal-usulku. Namun setelah kuceritakan, beliau malah bersimpati akan kehidupanku. Meskipun pengertian, perempuan paruh baya itu memang sangat tegas untuk beberapa hal, termasuk pakaianku. Ia yang menginginkan agarku merubah penampilanku menjadi seperti ini.

"Mulai besok, kamu pakailah pakaian yang menutup auratmu," katanya saat aku akan pulang ke hotel kemarin.

Aku menurut saja walaupun sebenarnya belum terpikir untukku mengenakan pakaian tertutup seperti ini. Aku tak mau mencari masalah baru dengan membantah perkataan ibu Mas Ben. Dan di sini lah kami sekarang. Berkumpul di hadapan Diah yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Ia masih koma.

Proses pernikahan kami berlangsung haru. Mas Ben tampak sangat tampan dalam balutan baju muslim dan peci putihnya. Ia mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Namun satu hal yang mengganggu pikiranku. Lelakiku tampak tak bersemangat. Ia lebih sering menunduk dan sesekali menghapus bulir bening yang jatuh di pipinya. Apakah Mas Ben tak bahagia menikah denganku? Pertanyaan itu mengusik hati ini.

Mataku pun terasa panas. Ini pernikahan teraneh yang pernah kusaksikan. Pernikahan yang bukannya memancarkan kebahagiaan, namun malah menjadi nampan air mata. Hanya Pak Penghulu dan ibu Mas Ben yang menyelamati pernikahan kami.

Tak terasa pipiku pun basah. Entah haru karena aku kini resmi menjadi pendamping lelaki yang kucintai, atau karena sedih sebab memiliki pernikahan yang tak diinginkan banyak orang.

Aku meraih tangan Mas Ben dan menciumnya, khidmat. Kini ia telah menjadi imamku. Aku bahagia. Perlahan Mas Ben mencium keningku. Syahdu sekali rasanya. Bisa menjadi istri lelaki yang kucintai.

"Maafin Mas, ya Dek, udah menyeretmu sejauh ini," kata Mas Ben saat hanya tinggal kami berdua yang ada di ruangan Diah. Kalimat itu lagi yang diulangnya. Sebegitu dalamnya kah rasa bersalah Mas Ben padaku? Apa ia tak tahu bahwa aku sangat bahagia bisa mendampinginya? Walaupun hanya sementara? Sebuah suara seolah mengingatkanku tujuan utama pernikahan ini.

"Aku bahagia bisa mendampingimu, Mas," kataku, tersenyum sambil menatap tepat di manik matanya yang teduh namun penuh beban. Mas Ben meremas tanganku. Tubuhnya berguncang karena isakan.

"Tenang, Mas. Kita hadapi ini sama-sama, ya." Aku tak sanggup melihatnya rapuh seperti ini. Berbagai mimpi buruk tentunya menghantui Mas Ben semenjak kejadian naas itu.

"Ini semua salahku, Mas. Aku akan memperbaiki semuanya," sambungku lagi. Hanya gelengan kepala yang kudapati. Mas Ben tak berucap apapun tentang itu.

Aku berlutut di hadapan Mas Ben, menyamakan posisi dengan kursi rodanya. Kupeluk tubuh suamiku, erat. Ia menumpahkan segala sesak di dada, menangis di pangkuanku dengan setuntasnya perasaan. Perih sekali rasanya hatiku menyaksikan semua ini. Lama aku memejamkan mata mencerna semua ini, mencoba menenangkan diri agar langkah kami selanjutnya bisa kami jalani dengan baik.

Dan saat aku membuka mata, pandanganku tertumbuk pada sesuatu yang membuat jiwaku bergetar. Kulihat salah satu jemari Diah bergerak perlahan. Apa? Diah sadar? Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba aku disergap rasa takut yang teramat dalam.

***

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang