Kelas sudah mulai sepi seiring bel pulang berdering.
"Aku nggak akan bisa bilang ini ke Tian. Terlalu beresiko."
Aku kembali menjatuhkan kepalaku ke meja untuk kesekian kalinya. Shenya menarik napas panjang. Ia sudah tak sabar lagi.
"Kalo kayak gini terus, sampe kapan kamu mau memendam. Kalo kamu nggak nyoba ya namanya nggak bisa. Tapi kalo kamu udah nyoba itu namanya belum bisa." Shenya megangkat kepalaku kembali tegak menghadap wajahnya.
"I think, i can't do it, Shen."
"And i know. You can do it, baby. Kita nggak akan tahu bisa ngelakuin sebelum kita nyoba kan?" dia menaikkan kedua sudut bibirku. Membentuk sebuah senyuman.
"Kamu salah kali ini, Shen. Aku bahkan sudah bisa tahu dengan melihat keadaannya. Susah ya, kalau pacaran sama beda umur," aku mengalihkan pandangan ke arah jendela yang terbuka sedikit.
Shenya memudarkan senyumannya.
"Dan bahkan aku nggak tahu bagaimana Tian-mu itu."
Satu kalimat yang selalu aku harapkan tidak keluar dari mulut sahabatku itu, akhirnya keluar juga.
"Itu juga karenanya, Shen."
Angin bertiup perlahan. Ikut hanyut dalam perbincangan tanpa ujung. Yang pada akhirnya hanya menghasilkan penyesalan.
"Akan ada saat dimana kita mendapat sebuah masalah, tapi hanya diri kita sendiri yang tahu bagaimana menyelesaikannya."
Shenya menghembuskan nafas panjang.
"Aku bahkan tak pernah sadar. Bahwa semesta sudah serumit ini," gumamku sambil memainkan bulpoin yang sendari tadi kupegang.
Shenya meringis.
"Jangan berpikir sempit. Semua pasti punya alasan."
Aku terdiam merenungi kata-katanya. Suara cetikan bulpoin memecah keheningan.
"Ah, bahkan sekarang kita menjadi dua orang yang berbeda," aku tertawa kecil.
Shenya ikut tertawa mendengar pernyataanku tadi. "Memang terkadang sulit untuk tahu di bagian mana kita menjadi diri kita sendiri."
'Drrtt...'
Panggilan di telepon genggam Shenya membuat perbincangan tanpa arah ini berakhir. Meninggalkan suatu enigma tanpa sebuah cara.
¶
Tetes air hujan jatuh tanpa henti. Membuat beberapa senyuman lenyap dengan lenguhan. Aku terdiam menatap rintik yang tak kunjung reda. Menghitung waktu untuk membunuh jenuh yang menyerang.
Suasana koridor sudah mulai sepi. Tinggal beberapa anak yang masih setia menunggu jemputannya.
"Arunika?"
Aku sontak menoleh ke asal suara. Sebuah wajah yang sudah lama terpendam di lubang kenangan.
"Sudah lama ngga ketemu, eh sekarang ternyata satu sekolah lagi" sapaku setelah lama terdiam untuk mengingat.
Wira, temanku saat smp yang baru saja pindah sekolah ke sma yang sama denganku.
"Udah lupa ya sama aku?" Ia duduk di sebelahkku. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.
Aku tidak menghiraukannya dan melanjutkan lamunanku.
"Masih sama ternyata." gumamnya. Aku mengernyitkan dahiku.
"Apanya yang sama?"
Lama-lama semakin nggak jelas aja Wira, batinku.
"Kamu selalu jadi orang yang sama di mataku. Nggak peduli gimana sikapmu ke aku." Wira menatapku tajam.
Mendengar jawaban Wira membuatku spontan menengok kearahnya.
Deg. Pandangan kami bertemu beberapa saat. Ada sebersit perasaan yang seperti hidup kembali.
"Eh..maaf," aku tergugup sesaat.
"Jangan mikir aneh-aneh dulu dong, maksudku itu, kamu sama sekali nggak berubah dari dulu. Jutek." sindiran yang halus tapi sangat telak.
Wira terkekeh melihat ekspresiku yang begitu kaget.
"Itu tandanya waktu berbaik hati, dia nggak ngebiarin aku jadi orang lain."
"Tapi kalau menurutku, waktu udah curang," ujarnya tak terima. "Dia ngebiarin kamu punya orang lain buat curhat, jadinya aku dilupain."
Aku tertawa lepas mendengar jawabannya. Waktu smp, bisa dibilang kita dekat, bahkan Wira paham betul sifatku.
"Kak Tian gimana? Sehat kan?" tanyanya. Tawaku berhenti, berubah menjadi garis lurus tanpa arti.
"Hmm, sehat kok."
"Udah lama nih nggak ketemu. Oh iya, kamu nggak dijemput sama Kak Tian?"
Aku mulai tahu arah pembicaraan ini akan kemana.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Hujan juga sudah mengakhiri pertunjukannya. Aku berniat untuk segera mengakhiri perbincangan ini.
"Wir, aku pulang dulu ya. Udah dijemput ayah." aku beranjak dari tempat dudukku.
"Arun, aku masih orang yang sama juga lo. Kalau kamu butuh, aku siap bantu kamu. Hati-hati di jalan ya!"
Aku menggangguk dan segera pergi dari hadapannya.
Langkahku dipenuhi percikan air yang masih menggenang di halaman sekolah. Entah mengapa aku dipertemukan lagi dengan Wira. Seseorang yang sudah sangat ingin kulenyapkan dari lembaran hidupku.
YOU ARE READING
Datatitaya
General FictionPercayalah akan ada akhir dari apa yang pernah mulai. (hiatus dulu ya nulis ini, mampet tapi dapet sebuah pencerahan menulis yang lain hehe)