Satu

385 26 5
                                    

Solo, 2018

Hari ini langit tampak cerah, gumulan awan tak setebal hari-hari sebelumnya. Memasuki musim hujan, banyak hewan kecil yang menggelikan di sekitar rumah dan di pepohonan buah—mencari tempat perlindungan untuknya bertahan hidup. Mentari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Entah akan menjadi apa dunia ini jika sinar mentari tak menemani bumi.

"Lana, cepatlah bergegas untuk sarapan!" seru ibu yang berada di lantai bawah. Inilah keseharian ku, dimulai dengan suara ibu yang melengking membangunkan seluruh penghuni rumah—juga tetangga tentunya.

"Sayang suaramu itu bisa membangunkan seluruh warga kampung. Dan membuat mereka akan datang kemari," tutur ayah menggoda ibu yang sedang menyiapkan sarapan untuk kami.

Di rumah kecil dengan taman mini di teras rumah hanya ada kami bertiga—aku, Ayah dan ibu—juga dengan kucing kesayangan kami yang semakin hari menjadi gempal. Saat aku bertanya, "Ibu kenapa Kak Reno tidak pulang saja ke Indonesia? Kenapa harus di Eropa dia belajar?" Ibu menjawabnya dengan mengangkat bahu seakan membiarkan aku sendiri yang bertanya.
Kakak ku—Reno Maureen—lebih menyukai hidup di negara orang meskipun, ia sendiri kewalahan karena sering mengalami "home sick" dimana ia sering mengatakan bahwa ia rindu melewati telepon. Sudah dua tahun ini ia merantau ke negeri orang setelah menyelesaikan studi S1 di jurusan Ekonomi. Ia terpilih menjadi siswa yang beruntung melanjutkan studinya di Austria. Sebenarnya ia menginginkan untuk berkuliah di Jerman—karena ia sudah menghabiskan waktunya ketika berkuliah untuk belajar bahasa Jerman—meskipun di Austria juga menggunakan bahasa resmi Jerman.

"Kayaknya Lana ga bisa sarapan deh, hari ini ada jam ke-0," keluh ku setelah duduk dan meminum susu yang tidak terlalu panas.

"Sayang, buatkan bekal untuk calon putri solo kita. Supaya ia tidak kelaparan di sekolah nantinya," ucap ayah sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Aku memutar mataku jengah, "yah kan Lana sudah bilang gak mau jadi Putri solo. Biar nenek aja dulu yang jadi kembang desa, Lana gak mau!"

"Sudahlah yah, perbincangan dari dulu kok gak selesai-selesai. Ini bekalmu, besok lagi kalau bangun siang ibu gak mau bikinin bekal lagi."

"Lana berangkat ya.."

Aku berjalan terburu-buru sambil memasukkan bekal yang ibu siapkan untukku. Kulirik arloji yang melingkar di tanganku, "Sudah lewat lima menit dari jam enam. Itu pertanda aku akan sangat terlambat," aku bergegas mengeluarkan sepedaku dari garasi—tak sempat untuk mengelapnya dari debu—aku mengambil kain lap dan ku lempar ke keranjang.

"Baiklah, paling lama target adalah sepuluh menit. Lewat jalan biasa akan membutuhkan waktu lima belas menit dan artinya aku akan terlambat," ku kayuh seledaku sekaligus mengubah tingkatan geer sepeda dari tingkat satu ke tingkat tiga.

Kembali ku lirik jam tanganku, sudah 5 menit berlalu dan aku tiba di jalan raya. Astaga, aku lupa hari ini jalan utama akan dialihkan karena ada parade. Ku tepuk pelan dahiku dan mencoba berpikir lagi.

"Jalan tikus!" seruku kemudian ku kayuh lagi sepedaku melewati gang kecil.

Hingga akhirnya aku melihat masalah besar yang menghambat jalanku, "Astaga, kenapa truk sampah datang sepagi ini?!"

***

"Aku janji besok akan menuruti kata ibu, baiklah aku berjanji!" Ucapku sambil merapikan rambut di depan cermin toilet sekolah. Hari ini semesta sepertinya mengutukku karena tidak mendengarkan kata ibu. Truk sampah itu buktinya. Ku endus kembali rambutku yang berbau apek.

"Eww...sepertinya Aku harus mencuci  rambutku,"

"Astaga Alana! Jangan bilang kau akan keramas disini?!" Sergah seorang wanita dengan rambut kuncir kuda.

"Hmm...."
"Kau gila?"
"Mela, kau lihat rambutku ini ha? Bau banget!" ucapku kemudian kembali melanjutkan aktivitas ku.
"Sahabatku ini memang sudah gila, kau tidak mengikuti jam ke-0 dan lebih memilih mengurus rambut mu itu? Yang benar saja!"
"Diamlah, aku sedang sibuk!" Mela mendelik ke arahku.

Mela—teman sebangku sekaligus sahabatku satu-satunya—tetap menemaniku hingga aku selesai mencuci rambutku. Katakanlah aku gila karena sudah mengorbankan jam ke-0 ku untuk mengurus rambutku. Jika saja truk sampah itu tidak sengaja menumpahkan air sampahnya di rambutku maka aku tidak akan keramas darurat seperti ini. Untuk apa aku berkebut-kebut ria hanya untuk keramas di sekolah?

Aku membungkus kepalaku yang basah dengan jaket tebal yang aku gunakan ketika berangkat sekolah. Seragam ku sudah terlepas dan menyisakan kaos lengan pendek yang biasa ku gunakan ketika dirumah. Kulirik lagi jam tangan yang ada di sebelah wastafel, 06.30 yang artinya jam ke-0 akan berakhir dalam waktu lima belas menit.

"Kau benar nggak akan ikut jam ke-0?" tanya ku pada Mela yang sibuk bermain smartphone miliknya.

"Nggak, lagian hari ini pak Rahmat tidak hadir. Hanya ada tugas yang di tanggalkan sama temen-temen."

Aku membulatkan mata tidak percaya, "serius? Ku pikir aku tak beruntung hari ini...wah...."

"Sudahlah cepat keringkan rambutmu itu dan kembali ke kelas!"

"Siap bos!"

***

Aku berjalan santai melewati koridor kelas yang telah sepi tak lupa menenteng jaket basah yang beberapa menit lalu kugunakan untuk mengeringkan rambutku. Di ujung koridor terlihat pak Yuda—kepala sekolah—yang keluar dari kantor guru bersama seorang murid laki-laki. Tanpa pikir panjang kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju kelas yang berada 4 meter di depanku. Sedetik setelah aku masuk, Herman—ketua kelas memberitahu bahwa kepala sekolah akan masuk ke kelas. Terlihat Mela yang sudah menungguku duduk di bangkunya.

"Maaf Lana, aku duluan. Tadi waktu bolos di kantin kepergok sama pak Yuda," ucapnya disertai Kekehan pelan.

"Santai aja kalik," balasku singkat kemudian menyiapkan buku pelajaran.

"Pak Yuda bawa murid baru," serunya yang membuat kelas bergemuruh seperti kawanan lebah.

"Selamat pagi anak-anak!" Sapa pak Yuda setelah masuk kelas bersama seorang laki-laki dibelakangnya.

"Kalian ada teman baru, silahkan perkenalkan diri nak!"

Laki-laki jakung berkulit putih bersih dengan tas ransel yang tidak terlalu besar mengangguk hormat kepada pak Yuda. Rambutnya yang rapi dan klimis menandakan bahwa ia orang yang perfeksionis. Terlihat senyum tulus menyapa yang terhias di wajahnya—membuat seluruh wanita di kelas kembali bergemuruh. Kecuali aku.

"Hai teman-teman, perkenalkan nama saya Muhammad Fatih Zuhair biasa dipanggil Fatih, umur saya tujuh belas tahun saya kelahiran Bandung. Salam kenal, semoga kita menjadi teman dekat dan kita saling membantu dalam kebaikan...."

Aku melihatnya sekilas lalu kuarahkan kembali pandanganku ke buku yang telah ku letakkan dimeja. Enggan untuk melihat anak baru, sangat tidak tertarik.

"Alana, pak Yuda mungkin akan menyuruh anak baru itu duduk di bangku sebelahmu..." bisik Mela yang duduk sebangku denganku.

Aku melirik bangku sebelah ku yang kosong, "biarkan saja, dia tidak menggangguku itu sudah cukup."

Kulihat langkah kaki terhenti di sebelah bangku yang ku duduki. Tak lama setelahnya terdengar deheman, "permisi, saya boleh duduk di sebelahmu kan?"

"Duduk saja kalau mau duduk, tidak ada yang melarang..." Sahut Riko yang duduk di depanku kemudian berbisik namun aku tetap bisa mendengarnya, "Alana tidak akan marah, dia saja tidak peduli aku didepannya."

Bukan aku tak peduli, hanya saja aku tak ingin terikat cerita lagi dengan orang asing yang datang dan memberikan segalanya. Juga meninggalkan cerita dengan ribuan pertanyaan yang memenuhi kepala. Aku hanya tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.

Katakan saja aku pengecut, yang tidak berani memulai cerita kembali meski banyak orang yang menanti.

Inilah aku,
Kisah tentang diriku, dirinya dan kamu.

****

Assalamualaikum semua,
Apa kabar? Semoga baik dan tetap semangat.
Jangan lupa vote and comments supaya author semangat buat membangun karya yang positif.

Satu vote dari mu akan menghasilkan ribuan aksara yang sempurna.

Jazakumullah Khairan.
Devania 😘

Aku [ H I A T U S ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang