VI

1.5K 165 7
                                    

*ANDREW's Point of View*

Dylan mengajakku keluar. Dia mengangkat tangannya setiap kali ada penjaga yang ingin membuka mulut menanyakan kami akan pergi kemana. Dia berjalan sangat cepat seakan sedang terburu-buru sehingga tidak ada yang berani mencegatnya. Alhasil dia berhasil masuk ke mobilku dan membawa kami keluar dari rumahnya tanpa mengalami pengawalan sedikitpun.

Pada saat kami menuruni tangga rumahnya, aku sudah mengirim pesan kepada Rezka.

"URGENT! Datang sendiri. Jangan bawa Rico!"

Itu pesanku, lalu aku mengiriminya lokasi langsung ku jadi Rezka akan tahu dimana pun ponselku berada selama ku izinkan. Entah dia akan mengerti atau tidak tapi aku tidak lagi memegang ponselku selama menyetir karena takut akan ketauan Dylan. Dylan mengarahkanku ke sebuah wilayah yang lumayan jauh dari rumahnya. Di sini juga sebuah perumahan namun tidak sebesar kompleks rumahnya.

"Dylan?" panggilku, namun sebenarnya aku mulai merasa takut. Dylan diam saja, tidak menjawab.

"Di sini." katanya, spontan aku langsung menghentikan mobilku. Belum sempat mobilku berhenti sempurna, Dylan sudah membuka pintunya. "Tunggu." lalu dia lompat keluar. Saat itu aku bingung sebingung-bingungnya, aku seperti bisu karena tidak bisa memanggilnya dan hanya memandanginya memasuki sebuah rumah yang tidak ada bedanya dengan rumah yang lainnya.

Ku ambil ponselku namun tidak ada jaringan sama sekali di sini. Apa yang harus ku lakukan sekarang, bagaimana bila Dylan kenapa-kenapa dan aku tidak bisa menolongnya? Haruskah aku pergi ke kantor polisi sekarang? Tapi Dylan memerintahkan ku untuk menunggunya. Sudah 20 menit namun tidak ada tanda-tanda dari Dylan, aku semakin panik.

Sial! Sial! Ku hantamkan kepalaku berkali-kali di kemudi mobil, hingga terdengar suara motor berhenti di samping mobilku. "Makasih pak." katanya, dari suaranya pasti Rezka!

Aku menoleh dengan semangat, dan benar saja. Rezka memasuki mobilku melalui pintu belakang. "Drew, serius ya kalau kali ini kamu becan-"

"Kamu kenapa?" ancamannya yang belum selesai langsung berubah menjadi sebuah pertanyaan yang ikut terdengar panik, mungkin karena wajahku yang entah bagaimana bentuknya saat ini.

"Dylan!"

"Dylan? Kenapa? Mana dia? Ini kamu bawa aku kemana sih?"

"Tenang Rez, tenang! Dylan yang bawa aku ke sini."

"Oke. Oke. Terus sekarang Dylannya mana? Kenapa kamu pucat gitu?"

"Aduh ceritanya panjang! Pokoknya di-" belum sempat kulanjutkan omonganku ku lihat Dylan keluar dari rumah yang tadi dimasukinnya. Dia berjalan sambil tertunduk ke arah kami. Kaki, tangan, dan bibirku mati rasa, aku tidak bisa berbuat apa-apa melihatnya seperti itu mungkin Rezka juga merasakan hal yang sama karena dia juga terlihat terkejut.

Dylan masuk ke dalam mobil. Hidungnya mengeluarkan darah yang mengalir, ujung bibirnya memar dan mengeluarkan sedikit darah, begitu juga dengan pelipisnya. "Dylan!" jerit Rezka yang membuat aku dan Dylan tersentak.

"Hey, darling. Kok di sini?" jawab Dylan santai bahkan dengan senyuman. Aku masih diam saja, tidak bisa bereaksi maupun berkata-kata sampai Rezka menepuk pundakku sangat kuat. "Rumah sakit!" perintahnya, lalu ku injak pedal gasku sedalam mungkin. Peluh menetes dari keningku, kaki dan tanganku gemetar.

"Jangan. Jangan. Jangan. Jangan ke rumah sakit." kata Dylan. Aku merasa kebingungan, darah di hidungnya masih mengalir. "Aku bilang jangan!" Dylan menarik sebelah tanganku menyebabkan mobilku berputar 180˚, karena kemudi terbanting dan kecepatan kami lumayan tinggi. Suaraa decitan antara ban mobil dan aspal pun terdengar jelas. Untung saja kami tidak menabrak apapun karena jalanan sepi dan tidak ada yang terluka akibat kecelakaan ini.

Dylan menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang, tangan kanannya berada di keningnya, ku pikir dia terluka namun dia tersenyum bahkan sedikit terkekeh. "Dylan, kamu gila ya!" bentak Rezka dari kursi belakang. Dylan tersenyum, lalu dia berpindah tempat ke belakang menyusul Rezka. Dia meletakkan kepalanya di pangkuan Rezka, dan Rezka membiarkannya saja walaupun wajahnya sekarang juga ikut pucat. "Kamu kenapa, hm?" tanya Rezka sambil mengelus kepala Dylan lembut, suaranya mulai parau.

Dylan menggapai pipi Rezka lalu mengusap air matanya, "Stt, sttt, sttt. Aku gak suka kamu nangis." kata Dylan. Aku hanya mampu melihat mereka dari kaca spion saja, jantungku masih berdebar tak karuan, kaki dan tanganku juga masih bergetar.

"Kalau gak suka aku nangis kamu jangan gini dong. Ini kamu kenapa sampai berdarah-darah gini?" Rezka juga menyeka air matanya yang semakin deras kali ini. Sedangkan Dylan senyum saja.

"Ini ulah mommy kamu, Lan?" tanyaku yang membuat Dylan berhenti sejenak mengelus pipi Rezka lalu dia melanjutkannya lagi.

"Mommy kamu? Bener yang dibilang Andrew?" selidik Rezka, namun Dylan tetap tidak merespon dia hanya tersenyum dan tidak lepas menatap Rezka.

"Kan bener! Aku lapor polisi sekarang!" ku raih ponselku namun Dylan buka suara, "She's my mom. She won't kill me." katanya.

"Dylan, kamu jangan gini sayang. Aku gak suka." isak Rezka.

"Ayo ke SMP." alih Dylan. Aku dan Rezka saling bertukar pandang, mesin baru ku nyalakan ketika Rezka mengangguk.

Ketika kami sampai, Dylan langsung keluar mobil dan berjalan menuju lapangan basket. Sekolah sedang liburan semester, tidak ada aktivitas di sini. Di tengah lapangan Dylan duduk, lalu membuka bajunya yang sudah terkena banyak noda darah. Bajunya digunakan untuk menyumbat darah yang keluar dari hidungnya. Tenang saja, dia mengenakan pakaian dalam semacam kaos.

Aku dan Rezka duduk mengapitnya. Ku lirik Rezka sudah mengistirahatkan kepalanya di pundak Dylan dan Dylan masih memegangi bajunya di depan hidungnya. Entah apa yang membuatnya memikirkan tempat ini. Di depan kami hanya ada bangunan khusus untuk kelas 7 dan sebuah perpustakaan di atasnya.

"I love you, guys." kata Dylan. Aku dan Rezka tidak menjawab tapi aku yakin Dylan pasti tahu bahwa kami berdua menyayanginya dengan sangat.

Kami berada di sana sampai gelap. Tidak ada perbincangan yang terjadi, kami hanya diam dan menikmati. Tempat ini yang mempertemukan kami bertiga, ada banyak hal yang telah terjadi, dari pertemuan hingga perpisahan yang ku anggap cacat. Dulu kami masih sangat kecil, banyak hal yang kami lakukan tanpa berpikir panjang dan mungkin hal itu masih terjadi hingga sekarang. Dalam hitungan tahun ada banyak yang terjadi. Dylan yang kini kembali lagi ke dalam lingkup persahabatan kami terasa sama, mungkin karena dia yang meloncati waktu di saat-saat SMA yang menjauhkan ku dengar Rezka hingga kini kami terasa asing, atau mungkin karena dia tidak berada di sana untuk ikut berdebat ketika aku dan Rezka bertengkar di hari sial itu.

"Dylan, kamu harus tau kalau semuanya gak sama seperti dulu." kataku sebelum Dylan tersenyum dan bangkit dari duduknya, mengakhiri kebersamaan kami.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang