-abadikan dirimu
Aku tuliskan sepucuk surat ini untukmu yang terus hidup dalam pikiranku.
Ada banyak hal yang seharusnya kau tanyakan padaku sejak terahir kita saling memanggil nama satu sama lain. Dalam bias renung dan lamun, pertanyaan-pertanyaan itu merembes ke setiap saluran ingatan dan menetes-netes seolah air garam di atas luka. Kita tidak pernah menantikan harapan-harapan baru, bukan? Namun, yang harus kau tanyakan padaku adalah bagaimana risalah keharuan yang kita buat itu berakhir dengan satu tanda titik, bukan tanda tanya.
Aku tuliskan ini untukmu walau aku tahu surat ini tidak akan pernah sampai kepada orang yang telah mati (kau yang dulu).
Aku selalu berpikir sudah berapa lama aku mengobrol dengan kesendirian yang aku anggap wujud dirimu, ya, dirimu. Tidak, ini bukan kegilaan. Ini adalah kenyataan yang ada ketika kau – yang dulu harusnya abadi – kini menjadi bayangan-bayangan setan. Perkelahian antara aku – yang ingin kau jadi kenangan – dan diriku lainnya – yang ingin kau berwujud – tidak pernah berakhir dengan satu konklusi. Kontemplasi-kontemplasi saling menumpuk. Tinggal menunggu siapa yang akan jatuh pertama kali: aku atau diriku yang lainnya.
Apakah kau sadar bahwa sekarangpun aku sebenarnya mengobrol dengan diriku sendiri. Ya, kau yang kuajak bicara sekarang hanya imajiku sebagai hasil dari sikap yang terlalu bertele-tele, atau bisa juga kau sebut hipokrit. Ternyata, dengan sejuta pengandaian dan pemahaman, aku juga tidak bisa mengarang jawaban yang mungkin akan keluar dari mulutmu itu.
Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu aku abadikan sebagai memorimu.