Malam ini atensiku ditarik paksa pada sebuah suara yang berasal tak jauh dariku, dan berhasil membuatku kembali duduk. Rasa kantuk yang tadinya tak mau pergi, hilang begitu saja ketika seseorang baru saja menutup mulutnya setelah sebuah kalimat yang tak pernah ku bayangkang dia ucapkan.
"Gue berhenti dari dance." Kalimat itu yang membuatku berharap kalau ini semua hanya mimpi. Aku sudah terlelap tidur, dan kalimat itu sebagian dari mimpiku yang tidak akan menjadi nyata. Tapi seseorang yang masih berdiri tak jauh dari tempat tidurku membuatku sadar, kalau ini bukan mimpi.
"Lo bercanda kan, Bang? Gak lucu kalau tengah malem gini lo nge-prank gue." Ucapku dengan tertawa seperti biasanya.
"Gue serius, Gar. Mulai besok gue nggak ke studio lagi." Dia berucap lagi. Dan aku baru sadar, tidak ada suara jenakanya.
"Udah malem, Bang. Mending lo balik ke kamar, tidur. Gue nggak mau dengerin omongan gak jelas lo." Dasar aku yang tetep ngotot kalau ucapan dia malem-malem gini cuma bagian dari omongan random dia. Aku udah bersiap menarik kembali selimut, pertanda kalau aku nggak mau denger apapun dari dia.
"Gar, gue ngomong gini, biar lo denger langsung dari gue bukan dari orang lain." Semakin dia ngomong, entah kenapa ada perasaan marah yang tiba-tiba hadir. Aku kembali terduduk, dan hanya fokus pada dia.
"Kenapa? Kenapa lo berhenti?" Tanyaku sebisa mungkin menahan emosi. Bermenit-menit yang lalu aku masih menganggapnya bercanda, tapi nyatanya malam ini dia masuk ke kamarku bukan dengan omongan random seperti biasanya.
"Gue udah gak nyaman." Halah omong kosong. Mana aku percaya dia dengan alasannya seperti itu.
Arwino Bramasta, atau aku biasa manggilnya Bang Wino. Aku kenal sama dia gak cuma setahun atau dua tahun. Dia kakak kelasku waktu SMP dan orang yang sudah berhasil mengenalkanku dengan dunia dance. Dan Bang Wino sama dance itu dua kata yang gak bisa dipisahkan. Jadi, aku nggak bakal percaya kalau 'udah gak nyaman' jadi alasannya buat berhenti dari dance.
"Gue pergi, lo baik-baik di sana." Pamit Bang Wino.
"Mau pergi kemana sih, Bang? Tempat lo di sana."
"Sorry. Bukan lagi tempat gue."
"Sumpah, Bang, lo kenapa? Tiba-tiba ngomong keluar dari dance, padahal tadi siang aja lo masih santai-santai aja. Bukan kaya Bang Wino yang gue kenal."
"Ya, gue seperti ini." Jawabnya. "Udahlah, gue cuma mau ngomong itu. Istirahat gih, bentar lagi kompetisi." Ucapnya sebelum berbalik arah menuju pintu.
"Bang, lo udah janji. Dan gue harap lo gak lupa sama janji lo." Ucapku pelan, tapi masih berhasil membuatnya menghentikan langkahnya.
"Sorry, gue harus lupa sama janji gue." Jawabnya tanpa menoleh sedikitpun. Kemudian langkahnya membawanya hilang di balik pintu kamarku. Sedangkan aku masih tak beranjak, memanggilnya saja pun tidak.
Aku percaya, setiap orang punya rasa sakitnya sendiri-sendiri. Tak pernah ada ukuran yang bisa digunakan untuk membandingkan antara rasa sakit seseorang dengan orang lain. Dan mungkin sekarang aku sedang berhadapan dengan rasa sakitku. Bilang saja, aku terlalu berlebihan mengenai sebuah hubungan persahabatan. Aku akan mengamini itu dengan sukarela. Karena memang seperti inilah aku.
Arwino Bramasta bukan hanya seorang teman yang ku kenal sejak lama. Bukan juga seorang kakak yang selalu membenarkan semua apa yang aku lakukan. Dia memang tak sebaik itu. Tapi, seorang Bang Wino adalah teman yang bisa membawa seorang Edgar Harisson hingga bisa bertahan sampai saat ini. Dan seharusnya aku sadar, tak ada yang selamanya di dunia ini. Begitupun dengan Bang Wino. Mungkin sekarang memang saatnya dia pergi dengan alasan yang tidak mau dia bagi denganku. Salahku yang terlalu bergantung padanya, sampai aku tak siap ketika aku harus bertahan sendiri. Dan malam ini, ku habiskan untuk menyadarkan bahwa mulai besok tak aka nada lagi Bang Wino yang ku temui di studi dan sekarang aku harus berjuang sendiri.
"Edgar, Bapak yakin kalau kamu pasti sudah tahu mengenai keluarnya Arwino dari klub ini." Ucap Pak Reza ketika aku menghadapnya siang ini. Aku hanya mengangguk pelan.
"Karena Arwino keluar, itu artinya dia juga tidak bisa ikut kompetisi dance untuk bulan depan." Pak Reza memberi jeda ucapannya, sedangkan aku hanya bisa menghela nafas pelan. "Awalnya, Bapak berencana jadiin dia leader buat kompetisi nanti, tapi dia minta Bapak pilih kamu buat jadi leader." Jujur, aku terkejut dengan penjelasan Pak Reza.
"Saya, Pak?" Tanyaku meyakinkan kalau pendengaranku tak salah.
"Iya. Kemarin Bapak juga sudah sempat membicarakan ini dengan Arwino, tapi dia menolak bahkan dia keluar dari klub ini. Dia bilang, ada hal yang harus dia prioritaskan. Jadi, kamu siap kan, Gar?" Mendengar penjelasan dari Pak Reza seperti ada yang memukulku. Kenyataan memang ada yang disembunyikan sama Bang Wino. Aku selalu bercerita apapun ke Bang Wino, berharap dia juga bisa bercerita apapun kepadaku. Tapi nyatanya aku masih seperti orang asing untuknya. Kalau memang ada yang harus diprioritaskan dari dance, dia bisa jelaskan tadi malam, agar aku tak salah paham.
"Edgar?!" Suara Pak Reza menarik kesadaranku.
"Eh, iya, Pak?" Jawabku tergagap.
"Jadi, kamu siap kan?" Tanya Pak Reza mengulangi penawarannya.
"Akan saya coba, Pak." Jawabku pelan.
"Baiklah. Bapak percaya kalau kamu bisa, Gar." Ucap Pak Reza sambil menepuk pundakku pelan. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis.
Keluar dari ruangan Pak Reza, langkahku berhenti di depan mading. Poster kompetisi dance untuk bulan depan memenuhi mading itu. Yang entah bagaimana, diriku seolah dibawa ke waktu dimana aku sama Bang Wino menonton dance competion beberapa tahun silam.
"Gue pengen berada di atas panggung itu." Ucapku spontan waktu itu.
"Ya udahlah, gih naik." Jawab Bang Wino dengan santainya.
"Bang, maksud gue tuh.."
"Iya, paham gue." Potongnya seakan tahu, apa yang akan aku proteskan.
"Bayangin, Bang. Lo bakal ngrasain musik, tarian dan teriakan jadi satu. Dan itu lo rasain dari atas sana." Aku membawa imajinasiku, suatu saat nanti bakal merasakan atmosfer panggung.
"Lo juga bakal berdiri di atas sana kok, Gar. Nanti. Percaya sama gue." Ucap Bang Wino dengan pandangan masih ke panggung.
"Nggak cuma gue. Kita. Lo juga bakal di sana kan? Kita bakal satu panggung kan?" Daripada bertanya, aku lebih menganggap itu pernyataan.
"Iya." Jawab Bang Wino singkat tapi tegas.
Iya. Jawabnya beberapa tahun silam. Dan jawaban itu sekarang sudah berubah. Tidak ada yang namanya satu panggung. Tidak ada Bang Wino yang akan ikut merasakan bagaimana astmosfir kompetisi nanti. Yang ada hanya Edgar Harisson.
"Gar, pada dasarnya setiap manusia diciptakan sendiri-sendiri. Kalau ada yang menemani itu bonus. Jadi, jangan pernah bergantung pada siapapun. Semua ada waktunya. Jika lo udah terlalu nyaman bergantung pada seseorang, ketika orang itu nanti pergi, lo sendiri yang akan kesusahan untuk bertahan. Padahal lo harus tetap berjuang untuk hidup lo sendiri. Jadi, mulai sekarang, lo harus terbiasa sendiri. Nanti, ketika gue juga pergi, you must be survive." Tiba-tiba ucapan Bang Wino ketika aku bercerita kalau aku selalu merasa sendiri, kembali terulang. Kalau saja aku tahu, kalimat itu mungkin ia tujukan untuk saat ini, aku tak akan meresponnya dengan bercandaan seperti waktu itu.
Entah kenapa, tak ada sakit lagi untuk keputusan Bang Wino. Seperti katanya, semua ada waktunya. Dan sekarang mungkin waktunya untuk pergi. Agar aku tak terlalu bergantung padanya. Seperti ucapannya 'you must be survive', ya aku harus bertahan untuk hidupku sendiri. Semoga bahagia dengan keputusan lo, Bang.
---
Di cerita Edgar masih ada hubungannya sama Arwino. Tapi sudut pandang Edgar sendiri.
Memang, akan ada saatnya kita berada di posisi Edgar. Gak selamanya temen yang berjuang bareng dari awal, akan di samping kita terus. Ada saatnya berjalan sendiri-sendiri.
Terima kasih buat yang udah mau baca. Kalau mau komen, sangat di persilakan. Ngasih saran, pendapat atau kritikan, silakan.
Na.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Mereka
FanfictionTentang hidup, persahabatan dan bagaimana mereka bertahan. Semua akan mereka ceritakan. Note: Cerita ini tidak berkesinambungan perbagiannya, karena tiap bagian tokohnya berbeda jadi ceritanya juga berbeda. Tapi tokohnya yang berkesinambungan. Pokok...