Seseorang menepuk bahu Kana dari belakang. Kana tidak menyadarinya, karena dia terlarut dalam lamunan nya. Pikirannya masih terbayang-bayang ucapan Didi di kantin tadi. Kenapa laki-laki itu gampang sekali menuduhnya berpacaran dengan Bimo?
Ternyata benar kata Cici, dalam sebuah hubungan, tidak mungkin akan selalu berjalan mulus. Pertentangan dalam hubungan menjadi alasan kenapa seseorang dipersatukan.
Dari Didi, Kana mendapat banyak pelajaran. Bagaimana cara bersabar, cara mengerti terhadap manusia, dan masih banyak lagi.
Goyahnya hubungan saat ini bukan menjadi alasan untuk Kana dan Didi memutuskan hubungannya."Eh, kok ngelamun sih lo?!" Suara bariton seorang cowok terdengar seperti sedikit membentak di telinga Kana. Gadis itu tersadar dari lamunan nya. Dia mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Berusaha tersenyum, dan menatap cowok yang tadi menepuk pundaknya.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Bimo, karena ternyata cowok itu lah yang tadi menepuk pundak Kana. Bimo duduk di sebelah Kana. Mengambil earphone nya lalu memasangkan di telinganya dan telinga Kana.
Kana menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Bimo tadi.
"Gak usah bohong, sayang." Kana mendelik tajam ketika mendengar ucapan Bimo.
"Bisa gak sih, gausah sayang-sayangan segala? Kalau orang denger kan bisa jadi fitnah?!" Bimo mengangkat sebelah alisnya, dan mengangkat kedua bahunya acuh.
"Emangnya kenapa? Gue itu manggil lo sayang karena gue anggap lo adik gue sendiri." Kana hanya menghembuskan nafas pelan, lalu menyenderkan tubuhnya ke batang pohon di belakangnya.
"Kok bolos?" tanya Kana pada Bimo. Bimo menoleh ke arah Kana, cowok itu sedikit tersenyum miring sambil menatap Kana.
"Lo nanya gue?" Kana mengangguk. "Lo sendiri, ngapain disini? Mau bolos juga kan?" tanya Bimo balik.
Kana tersenyum kikuk, lalu menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Gue males aja sama pelajaran Pak Botak, makanya gue bolos. Kalau lo, kenapa bolos?" Kana terdiam, tak berniat menjawab pertanyaan Bimo. Tetapi sentilan kecil di keningnya menyadarkannya.
"Lo bengong mulu, kenapa sih? Laper lo ya?" Kana mendelik tajam ke arah Bimo.
"Apa sih, gak nyambung."
"Gak papa, yang penting gue ganteng." Kana menghembuskan nafas pelan. Meng-iyakan saja ucapan Bimo yang PD nya sudah stadium 4.
Tiba tiba, sebuah botol mengenai kepala Bimo. Bimo mengaduh kesakitan. Cowok itu mengusap kepala belakangnya yang terkena lemparan botol yang entah dari mana asalnya.
"Sialan, siapa sih yang ngelempar? Dikata kepala gue apaan? Pen lempar-lempar sembarangan aja!" Bimo mengusap kepalanya, sambil menengok ke belakang dan mencari-cari orang yang melempar botol itu.
"Jangan-jangan elo yang ngelempar ya Na?" tuduh Bimo pada Kana. Kana melototkan matanya, tak terima atas tuduhan Bimo. Bimo tertawa melihat reaksi Kana tersebut. Sedangkan Kana yang melihat cowok itu tertawa, lantas mencubit pinggang cowok itu dengan kencang.
°°°
"Lo gak bareng sama cowok tengil?" Gea bertanya pada Kana, sambil memasukkan beberapa buku dan alat tulis lainnya. Seperti biasa, setelah bel pulang berbunyi lima menit yang lalu, mereka bertiga ---Gea, Kana, dan Cici--- baru bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
"Nggak, cowok itu sibuk sama urusannya," jawab Kana tanpa menoleh ke arah Gea. Gea mengangguk mengerti. Kana juga sudah cerita kalau hari kemarin Bimo sibuk karena cowok itu membantu ayahnya mencari adik tirinya.
"Kira-kira, adik tirinya itu seumuran siapa yah?" Gea menggendong tas merah di bahunya, begitupun Gea dan Cici.
Kana mengangkat kedua bahunya acuh,"mungkin seumuran kita."
Mereka bertiga berjalan keluar kelas, ketika sudah dipastikan bahwa koridor sekolah sudah sepi. Dengan perbincangan kecil, dan lawakan-lawakan yang membuat humor mereka anjlok, hal itu sudah menjadi kebiasaannya.
Terkadang, mereka sengaja pulang lebih lambat hanya karena ini menggosip terlebih dahulu. Sebenarnya tidak penting, tetapi, hari tanpa menggosip itu seperti tidak lengkap dalam hidup mereka. Ada yang kurang saja bawaannya. Entah itu menggosip perut Pak Botak yang semakin lama semakin membuncit, menggosip anak kelas sebelah yang memakai bedak tebal ketika di tepuk oleh Vio ngebul, dan masih banyak lagi bahan gosipan lain.
"Eh anjirr, pulpen gue ketinggalan di kolong meja." Cici menepuk jidatnya, dan menghembuskan nafas kasar.
Gea menoleh ke arah Cici dengan tatapan heran,"bukannya tadi lo pasukin ke dalam tas ya?"
Cici tergagap,"hah? I-itu, pulpen yang satu lagi mak-maksudnya."
"Ayo Na, temenin gue ambil, lo kalau gak mau anterin gak papa Ge, biar gue aja sama Kana." Cici mengedipkan matanya beberapa kali, sesekali melirik ke arah parkiran sekolah. Gea mengerti, dia melihat ke arah parkiran sekolah seperti yang Cici arahkan. Setelah mengetahui apa yang ada di parkiran, Gea mendorong Kana untuk berbalik badan dan berjalan menuju kelasnya lagi. Sedangkan Kana yang didorong seperti itu hanya diam, lalu mengikuti Cici yang menariknya dengan tatapan kosong menatap lantai koridor.
Mereka berdua berjalan menuju kelasnya. Saat sampai di depan kelas, Kana berhenti, membiarkan Cici yang masuk sendiri untuk mengambil pulpennya yang katanya ketinggalan.
Kana tau Cici berbohong, gadis itu juga tau apa yang terjadi di parkiran tadi. Hanya saja dia diam, berpura-pura tak tau.
Kana juga tau kalau Cici dan Gea sengaja menyembunyikan apa yang terjadi di parkiran tadi. Tetapi kayaknya mereka gagal, karena Kana sudah melihat sendiri apa yang terjadi di parkiran itu.
Kana berusaha tersenyum, tangannya bergerak ke atas untuk menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Dia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Gea dan Cici.
[][][][]
Kira-kira apaan sih yang ada di parkiran?
KAMU SEDANG MEMBACA
La-Luna (Selesai)
Teen Fiction[Fiksi Remaja] -- Alkana Febiola Alfarieta, gadis yang biasa disapa Kana adalah seorang gadis yang belum mengetahui kehidupannya yang sebenarnya. Gadis itu memiliki wajah cantik. Berkulit putih, hidung cukup mancung, bulu mata lentik, dan mata canti...