Prolog

22 2 0
                                    

"Ra, jangan nangis. Kamu tau kan, aku paling nggak bisa liat kamu nangis" pinta Dirga sambil sedikit menunduk untuk melihat wajahku yang menunduk guna menutupi air mata yang mengalir di pipiku. 


"Udah? Gitu aja, Ga? Kamu nggak ada pembelaan apapun?" Tanyaku sambil menahan isak tangis yang sedari tadi sudah pecah saat Dirga mengajakku berjalan menuju sebuah lorong kosong, agar kami bisa leluasa membicarakan hal yang sesungguhnya tidak ingin aku bicarakan. Berharap Dirga menjelaskan bahwa apa yang aku dengar barusan adalah sebuah kesalah-pahaman. 


"Ra, semua yang kamu denger barusan itu emang bener. Semuanya bener, Ra. Aku nggak bisa kasih penjelasan apapun. Aku pikir ini udah keputusan terbaik buat kamu. Buat kita, Ra. Aku harap kamu ngerti." Tangisku semakin menjadi, es krim coklat kesukaanku yang sejak tadi masih aku genggam sengaja aku hempaskan ke lantai. Tak selera lagi rasanya aku makan es krim yang malah jadi saksi bisu atas perpisahanku dengan Dirga. Meskipun aku menyukainya. Sepertinya, setelah ini es krim coklat akan menjadi musuhku. Aku berlari sekencang mungkin tanpa arah. Entah kemana. Menerobos hujan deras yang tanpa sengaja menyamarkan tangisku. Aku pikir Dirga mengejarku. Ternyata tidak. Bahkan meminta maaf-pun tidak. Seolah apa yang ia lakukan sudah paling benar.


...

Dirga, apa kamu ingat? Aku pernah bilang kalau kamu adalah orang kesembilan yang paling aku cintai di dunia ini. Faktanya, sampai sekarang masih kamu. Aku nggak pernah menemukan orang kesepuluh. Lalu, kamu bilang, angka sepuluh itu enggak ada. Kamu bilang, angka terakhir di dunia ini adalah angka 9. Cuma kamu yang tau alasannya. Kalau kamu sudah lupa, aku harap surat ini bisa membantu kamu untuk mengingat semuanya.

Entah surat ini akan dibaca atau enggak sama kamu. Entah kapan surat ini berani aku kirim ke kamu. Atau malah nggak aku kirim sama sekali. Seperti surat-surat lain yang aku tulis dan berakhir aku simpan di dalam kotak warna abu-abu yang aku sembunyikan di atas almari bajuku.

Dirga, sayangku, seketika tangisku kembali pecah saat mengingat betapa kerasnya takdir menamparku. Sakit sekali. Bahkan bekas tamparan itu masih ada sampai sekarang. Aku tidak tahu apakah kamu ditampar pula oleh takdir? Atau kamu yang menyuruh takdir menamparku? Banyak sekali yang ingin aku tanyakan kepadamu. Tentang kenapa sampai sekarang aku tetap tidak bisa membenci kamu? Kenapa sampai sekarang aku merasa masih ada kamu di dalam hatiku? Bahkan aku seharusnya tidak layak dicintai oleh lelaki lain yang cintanya tulus karena aku masih menyimpan namamu di hatiku.

Aku bukan orang yang pandai merangkai kata seperti kamu, Dirga. Tapi setidaknya, aku bisa jujur dalam setiap suratku. Surat yang mungkin suatu saat akan aku bakar juga. Karena setelah ini, sepertinya aku nggak akan menulis surat lagi untukmu. Ini surat perpisahanku. Biarlah namamu selalu punya tempat tersendiri di hatiku. Biarlah hanya aku yang tahu. Aku harus melanjutkan hidupku bersama orang yang tulus mencintaiku. Terima kasih telah memberi banyak kenangan manis untuk hidupku, Dirga Marhaendra.

Dari orang kesembilan yang paling kamu cintai di dunia,

Lentera Kaneishia Andjani

LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang