Ghissa : Begin And The End

42 2 2
                                    

Hae, guys. Gue back dengan satu bacaan seru. Cuman one shoot, sih. Hehehe😂. Sebelum membaca, mari kita injek bintang di atas. Kalau udah selesai baca, tolong hargai dengan comment kalian ya. Trims.

°¬°¬°

Adeta Mahranian point of view

Seingatku mentari tak pernah menyentuh kulitnya lagi. Ia selalu meringkuk di bawah gulungan selimut. Hidup layaknya orang mati. Namanya Ghissa dan ia telah mati dibunuh mimpinya sendiri.

¬¬¬

Siang ini begitu terik, ah, sang surya begitu bersemangat hari ini. Aku menyeka peluhku, berjalan seraya menenteng sekotak nasi dan lauk-lauknya di dalam plastik.

"Huft. Icha, semoga yang kali ini lo terima ya," ujarku bermonolog dengan diri sendiri.

Obsidianku menangkap pintu cokelat, pintu kosan Ghissa. Dengan setengah berlari, kupercepat langkahku.

Tok.. Tok.. Tok...

Masih sama seperti hari kemarin, dia masih bergumul dengan rasa sakitnya, tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

"Gue langsung masuk ya, Icha."

Tanganku tergerak menggapai gagang pintu, bau pengap seketika menguar memenuhi indra penciumanku.

"Ahhh..."

"Hiks.. hiks..."

Aku meletakkan bungkus plastik dan bergegas menuju kamar Ghissa. Mataku membulat, terkejut oleh apa yang diperbuatnya. Dengan sigap aku mengambil alih pisau kecil itu dari tangan Ghissa dan menahan amarahku yang siap meledak kapan saja.

"Icha, jangan bodoh! Lo tau gak sih apa yang lo lakuin itu sama aja kayak orang bodoh?" Aku menggertaknya.

Ia menatapku sendu, tangannya terangkat untuk mengusap gerlingan air mata yang belum menetes.

"Emang kenapa? Ada gitu masalahnya buat lo? Kenapa lo gak pergi aja sih, Deta, kayak temen-temen gue yang lain? Bisa gak sih lo gak ganggu hidup gue? Gue mau mati kek, mau hidup kek, mau ngapain aja," kesahnya.

Nafasnya terengah sesak akibat terlalu lama menangis. Amarahku nyalang saat itu juga, tanganku terangkat siap untuk menamparnya.

"Bahkan, sastra yang selama ini gue banggakan gak menghasilkan apa-apa. Malah membawa gue jauh dari kedua orang tua gue. Nilai-nilai yang selama ini gue dapatin pun gak bisa ngebuat orang tua gue bangga. Dan gue menyesal masuk fakultas ini,"  dia mengerang, "Kalau gue gak masuk fakultas di universitas ini, gue ga bakal jauh dari orang tua gue. Gue ga bakal ngeliat mereka pisah. Ini semua gara-gara gue. Ahh..."

Aku mengepalkan tanganku geram, bisa-bisanya dia menyalahkan dirinya lagi. Keheningan sejenak menyelimuti kami, ia menangis kecil, lagi.

"Lo gak salah, Cha." Bibirku berucap penuh harap.

"Mereka pisah, ya, karena memang sudah takdirnya mereka untuk pisah. Dan gue berharap lo gak nyalahin diri lo sendiri lagi dan gue gak suka kalau lu ngelakuin hal bodoh kayak tadi," tuturku pelan, "Coba pikirin deh, ini udah tiga bulan, Cha. Tiga bulan yang artinya gak ada yang bisa lo rubah lagi. Semuanya udah terjadi. Gue lebih suka ngeliat lo ketawa sendiri baca novel dari pada ngeliat keadaan lo seperti sekarang. Gue lebih suka lo fokus dengan cerpen yang lo karang dan acuhin gue, dari pada lo ngelakuin hal tadi."

Aku meninggalkan gadis itu sejenak, lalu mengambil bungkusan plastik makanan yang kutinggalkan tadi. Tak kala aku menghampirinya dan memberikan kotak nasi di dalam bungkus plastik itu. "Makan dulu. Nangis nya ntar an lagi aja, Cha. "

Obsidianku menerawang ke seisi kamar. Tertawa saat menyadari bubur yang tadi malam kuberikan membusuk, sepertinya ia sama sekali tak menyentuhnya.

"Perut lo gak sakit, Cha?" ejekku.

"Gak."

Singkat, padat dan jelas. Ia mengacuhkanku dan kembali melahap nasi dan lauk yang kebawa tadi.

"Veny sama Kia gak ada kunjungin lo samsek?"

Ia terbatuk pelan dan aku membukakan minuman untuknya. "Gak. Mereka kan hanya temen gue di dalam kelas bukan di luar kelas," keluhnya.

Aku menatap wajahnya, "Cha," bisikku pelan.

"Hmm."

"Lo harus janji ya, habis ini lo jangan kayak gini lagi. Gue bakal berusaha bantu lo untuk ngejar ketertinggalan nilai-nilai sama ujian-ujian lo."

"Gue gak tau." Kali ini ia mendesah pelan.

"Lo itu berharga, Cha. Banyak yang sayang sama lo. Janji sama gue, itu juga mimpi lo kan dari dulu. Lo pengen jadi penulis terkenal. Pokoknya lo harus janji, Cha."

"Lo bohong. Gak ada yang peduli lagi sama gue." Ia membentakku.

"Ada, Cha."

"Siapa?"

"Gue orangnya. Gue sayang sama lo. Lo seberharga itu buat gue. Jadi, janji ya jangan ngelakuin hal bodoh kayak gitu tadi?"

GHISSA (One Shoot) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang