Cutiku berakhir sudah. Aku senang bisa kembali bekerja. Dengan begitu aku bisa beretmu Vera, meski aku hanya berjumpa dengannya sebagai mitra kerja. Namun ketika aku sampai di tempat kerja Vera, dia tak ada di sana. Dia telah mengundurkan diri beberapa hari yang lalu. Sebuah langkah yang baik baginya. Hanya saja aku jadi kehilangan kesepatan untuk bertemu dengannya. Aku sudah tak tahan lagi, jadi kuberanikan diri untuk mengirm pesan padanya.
"Dimana Ver?" Pesanku telah ditandai dua centang. Mataku terpaku pada layar, menunggu centang itu berubah menjadi biru. Jantungku berdebar kencang seolah hidupku tergantung pada dua tanda centang itu. Mungkin aat ini aku adalah orang terbodoh di dunia. Sudah lebih dari satu menit, warna belum berubah. Hatiku semakin gelisah. Waktu seolah berhenti. Dua menit, berlalu. Penantianku serasa tak berujung. Setegar itukah hatinya. Kunyalakan sebatang rokok untuk menemaniku. Aku diam dalam penantian. Tiga menit, sudah terasa seperti 3 abad. Aku mulai putus asa. Kuhisap rokokku dalam-dalam. Kuhembuskan asap ke atas. Anganku membubung tinggi bersama asap-asap itu. Memasuki menit keenam keajabian terjadi. Dua tanda centang itu telah membiru.
Harapan mulai bersemi, tetapi ada rasa takut menyelinap dalam hati. Bagaimana jika hanya berhenti pada warna biru. Mataku mengawasi dengan cemas. Satu ,dua, tiga detik berlalu. Tak ada tanda-tanda Vera sedang mengetik pesan. Hingga akhirnya rokokku sampai pada hisapan terakhir. Kumatikan rokok diatas asbak. Bersamanya mati pula harapanku. Tunggu..... akhirnya Vera mengetik sesuatu. Kuambil sebatang lagi, kunyalakan kembali harapan itu. Mimpi-mimpiku kembali membumbung tinggi.
"Kos" Aku tersenyum girang. Rasanya seperti baru saja menang undian. Saatnya untuk ke level selanjutnya.
"Mau ketemu?" kataku pada Vera, taruhan telah dinaikan, hatiku berdebar semakin kecang.
"Blue Sky?" kali ini aku tak perlu menunggu lama. Menang besar.
"Aku jemput?"
"Ketemu di sana aja. Aku naik ojol"
"Okay."setelah membalas pesannya segera aku meluncur k Blue Sky.
Sampai di sana aku langsung duduk di sofa favoritku. Tak lama kemudian Vera datang menghampiriku. Kami duduk bersebelahan memandang angkasa. Purnama menerangi malam kami. Vera, beer, live accustic, dan bintang-bintang. What a Perfect night.
"Kamu berhenti kerja?", tanyaku. Vera mengangguk. "Apa rencanamu?," tanyaku lagi.
"Belum ada." Kami diam beberapa saat. Aku langsung memutar otak. Berusaha menemukan sesuatu yang bisa dikerjakan Vera. Menurutku Vera telah memberikan seluruh tabungannya pada Ibunya. Dengan demikian opsi membuka usaha, otomatis gugur. Aku bisa saja menawarkan tabunganku untuk dia gunakan, tetapi sudah pasti ditolak. Atau, Vera bisa bekerja di toko milik Nenek. Ah, tidak. Itu sama saja membuat perkara. Jadi apa yang bisa kami lakukan.
"Mau jadi pendamping sebaya?" tanyaku.
"Ga makasih." Jawabnya.
"Nenekku butuh karyawan lho," sedikit nekat. Kalau Vera mengiyakan aku akan pusing sendiri. "Anes, cukup," katanya,"I'll be okay. Nanti juga ada jalannya sendiri" Aku suka optimisme dalam dirinya. Namun terkadang sedikit mengkhawatirkan. Sejauhaku mengenalnya dia hampir selalu beruntung. Kecuali beberapa minggu lalu tentu saja. Aku kembali diam kehabisan bahan penbicaraan. Malam ini aku ngin menghidari pembicaraan yang serius. Termasuk kondisi kesehatannya. Aku tahu dia belum pergi ke layanan kesehatan untuk pemerikasaan lanjutan.
"Satu minggu ini ngapain aja?" kataku. "Liburan ke Malang," jawabnya.
"Okay, ke Malang ga ajak-ajak."
"Aku perlu waktu buat sendiri."
"dan hasilnya?" kataku pada Vera, aku rasa sebuah pembicaraan serius memang tak terhindarkan.
"Aku berhenti kerja."
"Sebuah keputusan besar. Selamat buatmu. Tapi bagaimanapun juga amu harus punya rencana"
"iya, ngerti. Untuk berapa bulan kedepan masih aman kok."
Rupanya aku salah soal tabungan. Vera masih menyimpan beberapa. "kenapa ga buka usaha Ver, kita bisa join."
"Nanti lah," jawabnya begitu santai. "Beberapa bulan ke depan, situasinya akan sangat bebeda," kataku menunjuk perutnya. Sebenarnya aku ingin mengajakknya menikah, tapi aku yakin itu justru akan menjadi sebuah penolakan yang menyakitkan .
"Apa kamu pernah lihat burung pipit kelaparan?" katanya padaku. Aku tak percaya seorang LC mengatakan hal itu padaku. Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tak pernah melihat iman sebesar ini," kataku menyartirnya.
"Semua orang bisa berubah Anes," katanya. "Ke Malang kamu kemana?", tanyaku penasaran.
Dia tak menjawab. "Pipit kecil, ingatlah manusia harus bergumul di bumi. Perempuan harus merasakan sakitnya melahirkan, dan laki-laki harus merasakan lelahnya mengolah tanah."
"Aku bukan burung kecilmu," katanya padaku. "Aku tahu," kataku, "bukan itu maksudku," jawabku.
Vera tersenyum sinis. "Liburanmu gimana? Kamu cutikan?"
"Istirahat di rumah. Bantu-bantu nenek sama tante."
"Cuma itu?"
"Aku ke Semarang. Itu aja. Ga ada yang special."
Kemudian kami kembali terdiam. Aku melihat Merapi yang berdirih kokoh dengan angkuhnya. Sementara itu Home Band mencover lagu "No Matter What" milik Calum Scott. "I love this song," kataku pada Vera.
"Ga usa baper," katanya.
"Sinis banget sih."
"Kamu tahu kan, mengapa lagu itu ditulis. Lagu itu punya makna yang mendalam buat Calum Scott." Kata Vera padaku. Apapun yang terjadi di Malang, aku senang melihat Vera mulai mau bicara lagi. Dia benar-benar berubah.
"Aku tahu, buatku lagu itu mengajarkan apa itu cinta yang sejati. Cinta ibu merupakan gambaran cinta sejati, yang tanpa syarat. Aku tak mengerti, mengapa Allah tidak digambarkan sebagai Ibu saja."
"Bukankah di akhir lagu, sang Ayah akhirnya mengatakan hal yang sama dengan Ibunya?", kata Vera.
"Rasa takut si anak yang menghalangi cinta sang Ayah," kataku, "Apa kau merindukan ayahmu?"
"Kalau kamu?" katanya membalik pertanyaan. Tak mudah untuk menjawabnya. "Apa aku punya alasan untuk merindukan seseorang yang pernah menyakitiku?" jawabku.
"Lalu bagaimana aku bisa merindukan seseorang yang tidak aku kenal?" kata Vera lagi.
"Mungkin terdengar gila, tapi kita sama-sama tahu, kalau kita merindukan ayah kita. Hanya rasa marah dan dendam menghalangi kita untuk mengakuinya, memaafkan bukan perkara mudah."
"Bolehkah aku menyalahkannya atas apa yang terjadi saat ini?" Vera bertanya padaku.
"Boleh saja, tetapi itu takkan mengubah apapun," kataku.
"Aku tahu, hanya saja... lupakan," kata Vera tersenyum.
"Anes, aku telah mengalami senidri bagaimana tumbuh tanpa seorang ayah. Dan semua itu akan terjadi lagi pada anakku."
Kembali kami menatap langit. Sembari bertanya tentang misteri kehidupan. Adakah jawaban itu tersembunyi di antara bintang-bintang? Perlahan Vera menyandarkan kepala ke bahuku. Dalam hati aku bertanya bagaimana seorang buta akan menuntun seorang buta? Bagaimana kami bisa bertahan ditengah ketidakpastian? Tidakkah DIA sadar, bahwa sesuai ini terlalu rumit untuk kami pahami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pita Merah untuk Vera
RomanceAnes seorang aktivis HIV/AIDS tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang LC yang ia dampingi. Kisah cintanya menjadi semakin rumit ketika Vera-perempuan yang ia cintai- terinfeksi HIV. Secara manusiawi ia berusaha menyangkal cinta yang ia...