Aqidah ahlus sunnah adalah aqidah Islam yang shahih, yang dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang dipahami oleh generasi terbaik umat ini, yaitu generasi shahabat radhiyallahu Ta’ala ‘anhum. Aqidah ahlus sunnah dicirikan dengan sikap pertengahan (wasathun atau wasathiyyah). Yang dimaksud dengan wasathun (pertengahan) adalah aqidah moderat, adil, pilihan, dan aqidah terbaik (bukan asal moderat tapi sesat), di antara dua kutub ekstrim aqidah yang menyimpang, namun mereka nisbatkan aqidah menyimpang mereka tersebut kepada agama Islam. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan yang demikian dan juga berlepas diri aqidah-aqidah yang menyimpang tersebut.
Dalam berbagai permasalahan bab aqidah, aqidah ahlus sunnah adalah aqidah pertengahan antara dua kutub esktrim yang menyimpang dari jalan yang lurus. Kutub ekstrim pertama adalah mereka yang berlebih-lebihan (ghuluw dan ifrath) dalam agama. Sedangkan kutub ekstrim kedua adalah mereka yang bersikap meremehkan perkara agama (tafrith). Maka aqidah ahlus sunnah adalah aqidah yang haq, aqidah yang shahih, aqidah yang pertengahan, aqidah yang terbaik dan adil, dan berada di antara dua kutub ekstrim penyimpangan, yaitu kutub ifrath dan kutub tafrith.
Dalam tulisan serial ini, akan kami jelaskan sisi pertengahan aqidah ahlus sunnah dalam lima perkara pokok aqidah:
Pokok pertama: dalam masalah ibadah
Dalam masalah ibadah, ahlus sunnah berada di tengah antara kelompok Syi’ah Rafidhah di satu sisi dan kelompok Daruuz dan Nushairiyyin, di sisi yang lainnya.
Penyimpangan Rafidhah adalah berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. . Mereka berlebihan dalam ibadah dari sisi membuat-buat berbagai perayaan (hari besar atau hari ‘id) yang bid’ah, yang tidak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Sebagaimana kita ketahui, yang pertama kali merintis dan mempelopori perayaan maulid Nabi, yang kemudian diikuti oleh orang-orang selain mereka.
Selain itu, mereka bersikap ghuluw terhadap orang-orang yang mereka anggap shalih, yaitu dengan membuat bangunan megah di atas kubur mereka, shalat di sisi kubur, thawaf mengelilingi kubur tersebut [1], dan juga menyembelih binatang sembelihan untuk penghuni kubur tersebut [2]. Orang Syi’ah Rafidhah adalah pelopor dan terdepan dalam membuat bangunan, termasuk masjid, di atas kubur.
Jadi, sikap berlebih-lebihan dalam ibadah kaum Rafidhah adalah dengan menyembah para penghuni kubur, dengan menunjukkan berbagai bentuk peribadatan kepada mereka, baik berupa sembelihan dan doa permohonan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan atau tercegah dari mara bahaya yang mereka khawatirkan. Intinya, Rafidhah adalah kelompok yang bersemangat dalam ibadah kepada Allah Ta’ala, sampai-sampai mereka beribadah kepada Allah dengan bentuk ibadah yang tidak pernah disyariatkan alias bid’ah.
Di sisi yang lainnya, adalah kelompok Daruuz dan Nushairiyyin, mereka ini juga disebut dengan kelompok ‘Alawiyyin. Dua kelompok ini dijumpai di negeri Syam, yaitu Suriah, Libanon, dan Palestina. Di antara aqidah Nushairiyyin adalah mereka mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib. Sedangkan di antara aqidah Daruuz adalah mereka mempertuhankan seseorang bernama Al-Hakim Biamrillah Al-‘Ubaidi. Para ulama menyebut dua kelompok telah keluar dari Islam (murtad), meskipun mereka mengaku sebagai muslim.
Penyimpangan mereka adalah mereka tidak mau beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali. Atau dengan kata lain, mereka tinggalkan semua bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Jadilah mereka tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat, tidak berhaji, dan seterusnya dari ibadah-ibadah yang lain. Dengan kata lain, mereka tidak punya semangat ibadah kepada Allah Ta’ala sama sekali.