Kesembuhan Melalui Metode Syirik

13 0 0
                                    

Kesembuhan Melalui Metode Syirik (01)

“Buktinya Saya Sembuh”

Di antara fenomena kaum muslimin yang kita lihat sekarang ini adalah anggapan mereka bahwa sesuatu itu dianggap benar (sesuai dengan syariat) jika hal tersebut berhasil mendatangkan tujuan yang mereka cita-citakan. Sebagian masyarakat kita menempuh metode-metode syirik untuk sembuh dari penyakit. Di antaranya dengan mendatangi dukun, paranormal, atau mendatangi makam wali untuk meminta kesembuhan kepada mereka. Atau dengan memakai jimat tertentu di bagian-bagian tubuh yang sakit. Hal ini juga tidak lepas dari budaya nenek moyang kita di masa lalu bahwa benda-benda di alam seperti batu, pohon dan sejenisnya, bisa jadi memiliki “kekuatan ajaib” yang dapat menentukan nasib manusia, termasuk masalah sembuh tidaknya dari penyakit.

Lalu ketika kita sampaikan bahwa hal itu diharamkan karena termasuk syirik, serta merta mereka langsung membantahnya dan tetap keras kepala dengan mengatakan, ”Nyatanya, banyak kok yang sembuh!” Demikianlah, mereka membantah bukti-bukti kebenaran dengan “bukti” tercapainya tujuan yang mereka inginkan.

Inilah di antara penyakit masyarakat kita saat ini. Mereka seolah tidak peduli lagi, apakah perbuatan mereka itu sesuai dengan syariat atau tidak, yang penting bagi mereka adalah bukti nyata berupa tercapainya tujuan kesembuhan yang mereka harapkan. Tidak perlu lagi mempedulikan mana yang halal, mana yang haram, mana yang tauhid, mana yang syirik, yang penting tindakan mereka itu cepat mendatangkan tujuan yang mereka cita-citakan.

Mereka seolah-olah tidak peduli lagi, apakah tindakannya itu menyebabkan aqidahnya “menjadi sakit” atau tidak, yang penting bagi mereka adalah badan mereka menjadi lebih sehat, dan penyakit jasad yang mereka derita menjadi hilang seketika. Mereka lebih memilih hati dan akalnya yang menjadi buta sehingga tidak bisa menerima “indahnya” dalil-dalil syariat, daripada matanya yang menjadi buta sehingga tidak bisa lagi melihat keindahan duniawi dan segala kesenangan di dalamnya.

Oleh karena itulah, mereka tidak peduli lagi dengan dalil, tidak peduli lagi dengan “Allah Ta’ala berfirman … ”, tidak peduli lagi dengan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda … “, apalagi dengan “Ulama fulan berkata demikian dan demikian …”Mereka juga lebih memilih keselamatan di dunia dari berbagai penyakit dan dari kemiskinan daripada keselamatan di akhirat dengan terhindar dari adzab-Nya yang sangat pedih.

Inilah Cara Berfikir Jahiliyyah

Marilah kita bandingkan bantahan itu dengan sikap orang-orang jahiliyyah dahulu, ketika mereka mengukur kebenaran dan kebatilan dengan banyaknya pengikut dan kondisi para pengikutnya, bukan dengan melihat dalil syariat. Menurut mereka, apabila perbuatan itu diikuti orang banyak, maka itulah kebenaran. Sedangkan apabila pengikutnya sedikit, maka itulah kebatilan. Inilah salah satu ukuran yang mereka gunakan ketika melihat kebenaran. [1]

Padahal, Allah Ta’ala justru menyatakan bahwa mayoritas manusia itu tidak mengetahui dan justru akan menyesatkan kita dari jalan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Akan tetapi, kebanyakan manusia tidaklah mengetahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 187)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

AqidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang