Di antara pokok keimanan seorang muslim adalah beriman kepada “al-haudh” (الحوض). Dari sisi bahasa Arab, “al-haudh” adalah tempat berkumpulnya air [1], sehingga dalam bahasa kita (bahasa Indonesia) bisa dimaknai dengan danau, telaga, atau yang sejenis dengan itu. Al-haudhadalah telaga yang Allah Ta’ala siapkan untuk Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, sehingga umatnya dapat mendatangi dan meminum air telaga tersebut. Pada hari kiamat yang amat mengerikan kelak, manusia dibangkitkan dalam keadaan susah payah, matahari didekatkan dalam jarak satu mil, kondisi sangat terik, sehingga kita berada dalam kondisi kehausan dan sangat butuh air untuk minum.
Dan di antara kasih sayang dan rahmat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau telah menunggu umatnya di telaga beliau pada hari yang sangat mengerikan tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ
“Aku menunggu kalian di telaga” (HR. Bukhari no. 6576).
Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita untuk bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di telaga beliau dan minum dari telaga tersebut. Sehingga dalam tulisan serial kali ini, kami ingin memaparkan beberapa pembahasan penting terkait keimanan terhadap al-haudh [2].
Beriman kepada Al-Haudh termasuk dalam Pokok Keimanan
Beriman kepada telaga Nabi termasuk dalam pembahasan keimanan terhadap hari akhir, yang mencakup keimanan terhadap hal-hal yang terjadi setelah kematian, sebagaimana yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits-hadits tentang telaga Nabi mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh puluhan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak mungkin mereka semua bersepakat untuk berdusta. Hal ini berarti bahwa kita yakin dengan penuh keyakinan bahwa telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar adanya.
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah berkata, “Beriman kepada telaga Nabi termasuk dalam aqidah yang wajib diyakini oleh seorang hamba. Terdapat hadits-hadits tentang telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencapai derajat mutawatir.” [3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat raudhah (taman) di antara taman-taman surga. Dan mimbarku berada di telagaku” (HR. Bukhari no. 1196).
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَذُودَنَّ رِجَالًا عَنْ حَوْضِي، كَمَا تُذَادُ الغَرِيبَةُ مِنَ الإِبِلِ عَنِ الحَوْضِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh akan banyak laki-laki yang ditolak (diusir) dari telagaku, sebagaimana diusirnya unta asing dari telaga (pemilik unta)” (HR. Bukhari no. 2367).