Cahaya Part 16

7 1 0
                                    

Aku masih bingung dengan pernyataan Anna, tentang seorang dokter muda yang ingin menikahinya. Akhirnya dengan penuh kehati-hatian kutanyakan siapa dokter muda itu. Trernyata dia adalah kakak angkatan Anna. Dan dia baru saja dilantik menjadi dokter muda. Ayahnya seorang profesor ahli bedah jantung dan mempunyai sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta, aku sangat heran, mengapa seorang dokter muda dengan latar belakang orang tua yang hebat, mau menikahi Anna, yang hanyalah seorang gadis yatim piatu, cacat,  dengan berlatar belakang kehidupan  sangat miskin. Antara percaya dan tidak, aku merasa seperti berada dalam cerita dari negeri dongeng. Seperti Cinderella yang bertemu pangeran tampan. Tetapi cinderella adalah seoranģ wanita cantik serta mempunyai kesempurnaan secara fisik, namun Anna, dia hanya seorang gadis biasa yang Allah anugrahi dengan otak yang cerdas kebetulan dia memang berwajah cantik dan lembut. Aku tidak memungkiri, hampir semua orang yang memandang wajah Anna akan jatuh suka atau sayang padanýa. Namun fisik Anna tidak normal, dia pincang, dia tidak akan mampu berjalan cepat apalagi berlari. Aah, kegamangan akan semua fikiranku membuat hatiku galau. Aku tidak tahu, apakah harus menerima lamaran dokter muda itu, atau harus menolaknya. Akhirnya sebagai syarat aku memberikan waktu minimal tiga bulan untuk lebih mengenal Randy, dokter muda itu.

Anna masih bingung dengan kegalauanku.  Anna bakan memberikan alasan yang tidak dapat aku bantah.
"Kak, apabila seseorang telah merasa mampu untuk menikah, kenapa harus dilarang, dari pada mereka berzinah, lagi pula menikah itu hal yang disukai rosululloh, sebagai ummat nya kita sebisa mungkin mengikuti ajarannya, ini adalah bagian dari penyempurnaan sebagai ummat rosululloh."
"Kakak bukan melarang An, tetapi usiamu masih sangat muda, baru sembilan belas tahun, dan kamu masih kuliah, apa kamu bisa menyelesaikan kuliahmu setelah menikah nanti?"
"Sebelumnya kami sudah berdiskusi kak, dan aku memberikan syarat agar aku masih tetap bisa meneruskan kuliahku. Dan Randy setuju, karena kami sepakat bahwa kami tidak mau pacaran."
"Kenapa memang kalau pacaran, kan itu jalan untuk lebih mengenal siapa calon suamimu kelak An, jangan sampai kita membeli kucing dalam karung."
"Kak, pacaran itu dilarang dalam agama kita, karena akan mendekatkan kita pada maksiat, pacaran identik dengan berduaan, pergi kemana-mana berdua. sementara kita tidak boleh berdua saja dengan lawan jenis apalagi dengan orang yang bukan mahrom kita."
Ucapan Anna bagai tamparan buatku, aku langsung teringat masa laluku yang cukup kelam bersama pak Ilham. Aku tak mempunyai lagi pembendaharaan kata untuk menangkis ucapan Anna. Dengan berat hati aku membenarka apayang Anna kemukakan.

Anna memperkenalkan Randy padaku, seorang dokter muda yang ganteng, perawakannya tidak besar dan cukup kecil untuk ukuran laki-laki, senyum nya lembut dan misterius, dia sedikit feminim,  namun cukup tegas dalam bertutur kata. Selama taaruf Anna tidak pernah mau hanya berdua dèngan Randy. Dia selalu ditemaní oleh beberapa temannya. Dan itu  membuatku lega. Akhirnya waktu yang ditunggu datang, kami diperkenalkan Randy pada kedua orang tuanya. Aku cukup heran kenapa harus kami yang mendatangi rumah  kediaman Randy, kenapa bukan pihak lelaki yang datang bertamu kerumah kami, seperti kebiasaan kita pada umumnya. Namun hal itu tidak aku permasalahkan mengingat kondisi yang kami punya. Kami hanya hidup berdua dan kami pun tidak mempunyai rumah tetap . Kami hanya punya kamar kost.

Lututku hampir copot ketika mengunjungi rumah orang tua Randy. Rumah yang sangat besar dan mewah, kami melewati pos satpam ketika masuk rumah itu. Dan kami disambut oleh kedua orang tua Randy dengan cukup ramah. Ayahnya yang seorang profesor terlihat cukup pendiam walau melihat kami dengan mata penuh sèlidik. Ibunya seorang wanita anggun berpenampilan mewah dan sanggup membuat mata kami silau. Tanpa banyàk basa basi kami diajak keruang makan yang mirip dengan ruang pertemuan di hotel berbintang lima. Disanalah kami bagài dua orang pèsakitan yang tengah diinterogasi polisi.
"Oo, ini yang namanya Anna, menurut randy kamu baru berumur sembilan belas tahun betul?"
"Betul bu." sahut Anna pelan.
"Hmm, cukup cerdas juga ya otakmu, dengan umur segitu sudah hampir jadì doktèr."
Anna hanya menjawab dengan tersenýum.
"Tetapi ngomong-ngomong sejak kapan kakimu pincàng?"
Pertanyaanya cukup sarkatis  dan segera kujawab.
"Semenjak usià dua tahun bu."
"Memangnya kalian dulu tinggal dimana sampai kedùa orang tuamu tidak memberikan imunisasi sehingga adikmu terkena polio?"
Kami dulu tinggal di bedeng dekat pembuangan sàmpah bu,  dan orang tuà kami bekerja sebagai pemulung sehingga tidak mempunyai biaya untuk memberi kami imunisasi." Aku menjawab dengan jujur sambil menatap reaksi kedua orang tua Randy.
Ayahnya mengeryitkan dahi. Dan ibunya memperlihatkan wajah datar dan dingin.
"Oo, pantas kalau begitu."
Aku hanya terdiam dan melirik Anna yang tampak gelisah.
"Anna, kira-kira apa yang bisa kamu lakuķan sebagai tenaga medis dengan keadaan seperti itu, kamu tahu bahwa seorang dokter mungkin harus berjalan cepat atau bahkan berlari ketika harus membantu pasien yang sedang krítis?" Ayahnya Randy tanpa diduga mengeluarkan pertanyaan yang cukup sinis.
Wajah Anna terļihat memerah, namun Randy menjawab pertanyaan ayahnya dengan cukup diplomatìs.
"Seorang dokter tidak harus selalu menjadi pekerja yang langsung menangani pasien, dia bisa saja menjadi pengelola rumah sakit."
"Siapa menurùtmu orang yang màu mempekerjakan manusià yang tidak normal seperti manusià lainnya?"
pertanyaan ayah Randy membuat darahku mendidih. Namun Anna segera meremas tanganku dan menjawab.
"Maaf bapak ibu, mungkìn pernyataan saya terlalu kasar, tetapi saya yakin bahwa Allah memberiķan rejeki kepada siapapun tanpa melihat fisik, usia, atau golongan mana. Jadi meski saya punya keterbatasan fisiķ, saya percaya bawa rejeki saya tidak akan pernah tertukar dan saya yakin bahwa Allah akan memberi saya sumber rejeki lewat tangan siapa yang Allah kehendaki." Jawaban Anna membuat kami semua terdiam, sungguh jawaban Anna membuat mereka tidak mampu berkata apa-apa.

Bersambung

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang