Selepas subuh Mukijan dan Fitri telah bersiap untuk mengantar Sriyatun ke rumah sakit di kota. Semua telah berpakaian rapi dan mempersiapkan segala kebutuhan yang mungkin diperlukan saat berada di sana.
Sesuai janji, Fachry benar-benar datang menjemput. Mobil citycar merah yang dikendarainya itu tampak lebih bersih dari biasanya. Berkilau. Sepertinya baru saja dicuci. Tak kalah dengan mobil, si empunya juga terlihat berbeda. Lebih rapi dengan setelan kemeja lengan pendek motif warna biru muda dan celana berbahan wool-flanel berwarna navy. Rambutnya pun tersisir ke belakang.
Setelah mengucap salam, Fachry bergegas membuka pintu belakang mobil, mempersilahkan Mukijan yang membopong Sriyatun untuk masuk, lalu menutupnya kembali.
"Fitri, kamu duduk di depan," ucap Fachry seraya membukakan pintu depan mobil untuk gadis itu.
Fitri menurut saja. Ia masuk lalu duduk dengan nyaman. Fachry tersenyum lebar melihatnya.
Suasana pedesaan begitu asri. Sepanjang perjalanan hamparan sawah membentang sejauh mata memandang. Pohon-pohon menjulang tinggi berjajar rapi di kiri kanan jalan.
Di tengah konsentrasi mengemudi, mata sipit Fachry sesekali melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. Fitri tampak tenang sekarang, tak seperti kemarin atau hari-hari yang lalu. Tak terlihat raut tegang atau terbebani. Mata bulatnya yang memandang ke luar jendela mobil, terpancar rona kebahagiaan. Bibir mungil itu, meski tak begitu jelas, namun ada secuil senyum di sana.
Semakin dalam Fachry menatap makhluk indah itu, semakin kencang pula detak jantungnya. Semakin tak beraturan, berantakan. Bahkan menjadi lebih kacau lagi ketika tiba-tiba Fitri membuka suara.
"Terima kasih, Dok, atas bantuannya. Saya ndak tahu bagaimana nanti bisa membalas budi."
Pria tampan itu mengerjap dan berdehem sebentar untuk mengembalikan fokus pikiran.
"Santai aja, Fit. Nggak perlu sungkan, saya cuma membantu."
"Iya, Pak Dokter. Saya jadi ndak enak sama Pak Dokter yang sudah repot-repot bantu keluarga saya." Mukijan ikut bersuara.
"Matur nuwun. Terima kasih, Pak Dokter." Sriyatun yang sedari tadi hanya diam juga ikut menimpali.
"Bapak-Ibu gak usah sungkan. Saya hanya membantu sedikit, sebisa saya aja. Semoga dengan adanya saya, bisa sedikit meringankan beban," ucap Fachry.
"Saya bersyukur sekali ada Pak Dokter yang baik sekali. Ndak nyangka. Kok ada orang yang begitu sempurna. Sudah ganteng, pinter, baik lagi! Kalau saja bisa saya pek mantu*, seneng sekali saya. Tapi kan ya ndak mungkin to, Pak Dokter? Hehehe ...." Perkataan Mukijan barusan sukses membuat wajah Fachry memerah dan tak bisa menahan senyum di bibir begitu lebarnya.
Begitu pula dengan wajah Fitri yang juga memerah. Namun, gadis berambut panjang itu sepertinya tak menyukai guyonan sang ayah. Ia malah tampak marah dan malu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar lima puluh menit lamanya, sampailah mereka di tempat tujuan. Sebuah rumah sakit besar di kota yang tersohor karena peralatannya yang lengkap dan modern.
Fachry menurunkan keluarga Mukijan lalu segera berpamitan agar tak terlambat datang ke puskesmas.
Selepas kepergian Fachry, mereka bergegas masuk rumah sakit menuju ruang pendaftaran. Beberapa prosedur administrasi rumah sakit dijalani seperti arahan Fachry sebelumnya.
Satu per satu proses pemeriksaan di rumah sakit Sriyatun jalani. Meski memakan waktu yang cukup lama, tapi Mukijan dan Fitri tetap sabar menemani.
Seperti dugaan, benar saja, wanita paruh baya itu ternyata steril dari berbagai penyakit. Tak ada sakit serius yang ia derita. Seperti itulah yang dokter spesialis saraf tadi sampaikan. Lega sekaligus bingung dengan kenyataan ini.
Fachry yang telah menjemput lalu membawa keluarga Mukijan kembali ke rumah, tak kalah terkejut dan bingung dengan keadaan Sriyatun.
"Bagaimana bisa begitu, ya, Pak Dokter?" tanya Mukijan setelah membaringkan istrinya di tempat tidur.
"Entahlah, Pak. Saya sendiri baru kali ini menemui kasus seperti ini," jawab Fachry seraya duduk di teras depan rumah. Mukijan juga ikut duduk di kursi yang lain.
"Apa mungkin mamake Fitri diguna-guna, ya?" Lelaki berbadan kurus itu mulai berspekulasi.
"Apa? Diguna-guna? Didukunin gitu maksudnya, Pak?"
"Iya. Bisa jadi, Pak Dokter. Kalau bukan, lantas apa lagi yang mungkin? Saya kok mulai yakin."
"Kalau benar ada yang mengguna-guna Ibu, apa yang mungkin jadi alasan dia melakukannya, Pak? Apa Bapak punya musuh?"
Mukijan mengernyitkan dahi. Mengingat-ingat sesuatu hal yang mungkin bisa jadi jawaban.
"Saya merasa ndak punya musuh je, Dok! Wong saya itu ndak pernah cari masalah sama orang. Paribasane becik meneng ala meneng**. Tapi ya ndak tahu juga kalau ternyata ada orang yang diam-diam ndak suka sama saya atau keluarga saya."
Mereka diam sejenak. Berkelana pada pikiran masing-masing. Di tengah keheningan, tiba-tiba Fitri keluar dengan membawa nampan dengan dua buah gelas berisi teh hangat di atasnya.
"Fitri!" Dokter itu berseru. Terbersit sebuah jawaban di kepalanya.
Si empunya nama menoleh heran. "Ya?"
"Mungkinkah ini semua gara-gara kamu?"
Gadis itu terkejut tak percaya. "Ma-maksudnya a-apa, Dok?"
"Mungkinkah mereka mengguna-gunai ibumu karena kamu? Agar kamu terpaksa jadi penari desa?"
Bagai tersambar petir, Fitri terkejut bukan main. Begitu pun dengan sang ayah.
'Kenapa baru sekarang terpikir kemungkinan itu?' batin Fitri.
"Ka-kalau memang benar begitu, siapa yang tega melakukannya?" Bergetar bibir Fitri mengucapkannya.
"Mungkinkah dia ....?" Suara gadis itu tercekat di tengah perkataannya. Tak mampu ia menyebut nama itu. Seseorang yang sampai mati pun akan ia kejar sebagai pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan.
Tbc.
*pek mantu = dijadikan menantu
*paribasan becik meneng ala meneng = peribahasa Jawa yang artinya 'baik atau buruk ambil sikap diam'. Maknanya, tidak mau mencampuri urusan orang lain, meski baik atau buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu sang Penari Tradisi (END)
RomanceFitri Pancawati, gadis berparas ayu itu adalah penari tradisi desa Sekarseni. Demi menjadi seorang penari tradisi, ia harus rela 'madu'-nya dicicipi oleh para sesepuh desa.