Sepuluh tahun yang lalu aku masih berumur 13 tahun, aku merasa senang dekat dengan orang tua yang memberi pengertian, karena hal itu yang ku inginkan sejak masih kelas 2 SD. Berjalannya waktu aku biasa dan itu terjadi dimana aku duduk bangku SMP I 17 MIFU di Desaku, setiap pagi tidak pernah luput dari amarah Ibuku, ya....itu yang ku rasa hingga pagi hari aku bangun pagi sekali setelah sholat Shubuh keadaan biasa aku bantu Ibuku masak-masak di dapur.
“Mar....?” Ibuku memanggil
“Iya Bu....ada apa?” jawabku
“Ambil wadahnya kuah bayam itu? Beliau menyuruhku tanpa pikir panjang aku mengambil wadah yang biasa dibuat wadahnya kuah, segera kutuang kuah Bayam yang masih panas di atas Tomang (tungku buat masak:MDR) kedalam wadah tersebut dan membawanya kemeja makan. Sebelum sampai kemeja makan aku terpleset keset yang ada didepanku serta merta aku terjatuh dan kuah yang ku bawa tumpah berceceran dilantai tanpa ada sisa sedikitpun, melihat itu Ibuku marah-marah.
“Loh! Kenapa ditumpahkan Mar!! Dak lihat kamu ya?! mendengar itu aku ketakutan apalagi meliahat ekspresi wajahnya. Ibu terus masih marah-marah sambil masak yang lainnya. Aku membersihkan kuah yang berceceran dilantai dan mengepelnya. Aku hanya diam rasa takut menyelimutiku kala itu.
***
Aku pasti kena marah oleh Ibuku, kesalahan kecil saja rasanya sudah seperti segudang kesalahan, aku hanya merasa takut dan takut. Apabila mengerjakan sesuatu dan mendengar suara Ibuku aku langsung bergetar takut, takut salah, takut tidak cocok dan semacamnya. Hingga rasa takut itu berkelanjut sampai aku mondok di Pesantren. Ketika ngirim jika ada yang salah Ibu tidak sungkan memarahiku walau didepan anak-anak santri lainnya. Akibat hal semacam itu aku merasa trauma dan selalu hanya diam dan diam tidak mengalami perkembangan. Lambat laun umurku sudah 18 tahun tapi rasa penakut tidak juga hilang-hilang. Mungkin karena keseringan mendengar omelan-omelan Ibu yang terlalu keras aku tidak mempunyai keberanian berpendapat, meminta sesuatu yang ku butuhkan, pendiam. Anehnya ketika aku banyak diam Ibu bilang yang tidak-tidak.
“Diam tok ini, jadi orang jangan diam tok, jangan diam-diam menghanyutkan” mendengar perkataan itu aku merasa teriris “setega itukah Ibu mengataiku, ya Allah....jadikan hamba orang yang sabar...Amin” lirih dalam hatiku. Saking keras dan kasarnya Ibu hingga membuat Kakak kandungku mengatakan aku tidak ubahnya anak tiri. Mendengar seperti itu aku juga mengiakan. Aku lak sana anak tiri. Sering aku menangis ketika menjelang tidur berfikir kenapa Ibuku seperti itu, apa salahku ya Allah....? tidak sedikit air mataku mengalir. Begitu tidak kuatnya diriku sampai-sampai aku ingin pergi dari rumah, bajuku sudah didalam tas dan ditaruh dibelakang pintu kamar, niatku sudah tekat waktu itu.
“Aku tidak kuat disini ya Allah, ini bukan rumahku.” Aku menangis didalam kamar sendirian meratapi keadaanku yang entahlah waktu itu hanya perasaan anak kecil yang merasa hidup dalam kungkungan. Malam tiba aku berusaha meluruskan niat untuk pergi, sebelum itu aku kekamar Ibu dan melihatnya terbaring lemas karena kelelahan bekerja sendirian berperan sebagai seorang Ayah dan Ibu dalam satu genggaman tangannya.. aku mendekatinya dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut, setelah ku keluar kamar Ibu memanggil namaku.
“Mar....?’ Ibu memanggilku aku menoleh dan menghampirinya.
“Ambilkan Ibu air” ia menyuruhku mengambil air, aku pergi kedapur mengambil air putih dan memberikannya pada Ibuku, Beliau menerimanya dengan tangan gemetar aku menyaksikannya merasa terharu.
“Ibu sakit...?” tanyaku seraya memegang tangannya
“Tidak, Ibu tidak sakit hanya panas dan pusing saja.” Jawab Ibu
Badan Ibu panas aku sangat khawatir dan panik, aku mencari obat Bodrek yang masih tersisa dilomari dan memberikannya pada Ibu.
“Ini Bu...obat bodreknya minum.” Ibu meraih obat itu dan meminumnya, selesai minum obat Ibu kembali tidur. Aku tidak bisa berbuat apa-apa niatku untuk pergi malam itu batal seketika, meliaht Ibu sakit dalam kondisi tubuhnya panas masih saja bilang tidak sakit, aku menunggui Ibu sampai tertidur, sebelum tidur Ibu berpesan.
“Tidur Mar...sudah malam?” dibalik selimutnya, aku tidak menjawabnya hanya menatap Iu yang terbaring diatas kasur. Ibu orangnya kasar dan mudah emosi orangnya. Aku ingat 2 tahun lalu ketika seleai makan aku memecahkan mangko’ yang berisi ikan, mendengar ada barang pecah Ibu langsung menghampiriku, melihat raut muka sudah membuat aku ketakutan.
“Kenapa dipecahkan...?!” tidak sempat aku menjawab tangannya sudah mendarat diwajahku berkali-kali, aku ditampar, aku menangis sambil membersihkan sisa beling yang ada dilantai, Ibu masih ngomel aku tidak mengeri omelannya.
***
Lulus MA di Pesantren menurutku aku mulai membaik, rasa penakutku tidak terasa sangat besar, tapi terkadang masih merasa takut. Berjalannya waktu hingga sampai aku masuk perguruan tinggi di Pesantren aku mulai menyadari sesuatu yang selama ini aku tidak pernah hiraukan. Ternyata amarah Ibu semuanya beralasan. Ibu sering marah-marah yah...memang itulah aku dulu anak yang cupu, dan tak berpengalaman, yang tidak mempunyai keinginan untuk maju, semua marahan Ibuku diangggap negatif, disamping itu Ibu bercerai dengan Ayah sesudah aku dilahirkan Ibu dan tepat di 40 harinya Ayah pulang marah-marah, dia membentak Ibu, hendak mau memukul Ibu, dan menerjangnya hingga aku terlepas dari pagkuan Ibu, tapi Ibu berusaha meraihku dan mendekapku dengan erat, Ibu tidak melawan Ayah waktu itu, Ibu hanya berusaha melindungiku. Setelah Ayah memukul ia pergi entah kemana, ternyata Ayah kena guna-guna. Setiap pulang pasti marah-marah dan ingin memukul. Akibat kejadian itu perceraian terjadi diantara Ibu dan Ayah. Ayah lupa anak dan nafkah yang harus diberikannya. Ia menikah lagi sampai sekarang aku dewasa, tapi untuk sekarang Ayah sudah mulai mengingat anak-anaknya. Mungkin dari kejadian itulah Ibu sedikit keras ia menanggung 4 anaknya seorang diri berperan menjadi seorang Ayah dan Ibu bagi aku dan saudaraku yang lain. Aku berusaha mengarti keadaan Ibu sekarang, aku sayang Ibu, untuk mewujudkan kasih sayangku pada Ibu aku berusaha selalu berprestasi dan berbakti padanya. Alhamdulillah aku sering mendapatka juara dikelas-kelasku dan pulang bawa piala. Ibu senang dan sejak itu aku tidak lagi mendengar marah-marah Ibu yang kasar. Aku berusaha untuk mengerti keadaan Ibu dan berusaha menutupi kenangan pahit yang pernah Ibu rasakan. Aku ingin menjelma menjadi anak yang membanggakan Ibu yaitu orang yang berilmu, karena aku tumbuh dibalik selendang keberanian dan kesabaranmu. Perjuangan Ibu tidak bisa terbalas oleh langit dan seisinya, Ibu mendidikku menjadi anak yang tidak manja dari Ibu memarahi dengan omelannya dulu yang idak aku hiraukan, aku sadari sekarang, bahwa dalam kata-katamu ada pesan yang harus aku catat dalam hidupku dan tidak pernah melupakannya. Terimakasih Ibu, perjuanganmu tetap menjadi semangat untukku. Semoga Ibu selalu dalam ridlo-Nya dan perlindungan-Nya. Amin....
***
Ini cerita sahabat terbaikku yang sekarang sudah belajar diperguruan tinggi, ia orang yang selalu punya semangat tinggi, salah satu semangatnya ialah seorang Ibu yang berdiri kokoh mendoakan dan menyayanginya tanpa ada batas ruang dan waktu. Ibu buka orang jahat, dan bukan orang plin-plan, tapi Ibu adalah malaikat kita, kita selalu menopang padanya senulai dari kecil hingga sampai dimana Ibu mampu untuk menopang hidup.
Oleh: NQ
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTAIAN PENA
Short Story"Kala pena sudah bergerak dan hati berbicara serta anganpun berjalan, maka muncullah apa yang sudah ada dihadapan anda sekarang. setiap cerita buatlah pelajaran dalam hidup, karena semuanya memang untuk kita pelajari dan ambil manfaatnya"