.
.
"Americano dingin, atas nama Mr. Kim?"
"Yep, terima kasih," Namjoon menyambut gelas plastik tinggi berisi es kopi pahit yang diulurkan padanya sambil tersenyum sekilas. Setelah menyelipkan sejumlah tip, mata tajamnya beredar memandang seisi kafe tersebut, mengernyit sekilas sampai dilihatnya Hoseok melambaikan tangan dari meja di dekat pintu toilet.
Namjoon mendengus dan mendekat sambil berdecak tak senang, "Bersebelahan dengan kamar kecil, Jung? Serius?" desisnya, menjatuhkan ransel ke kursi kosong di sebelah dan duduk menyilangkan kaki di depan sahabatnya. Hoseok mendelik tak terima.
"Tempatnya ramai. Lihat sendiri kan? Dan terasnya penuh."
Pemuda tampan itu mengedikkan bahu dan menyibak rambut ke belakang dengan acuh. Disesapnya kopi sambil terus-menerus melirik ke arah pintu, mengabaikan deret kalimat Hoseok yang berceloteh tentang rencana pengadaan pesta mahasiswa Korea minggu depan. Bercengkerama dengan sesama penghuni kampung halaman yang tengah bermukim di negeri orang memang punya citarasa tersendiri.
".......jadi menurutmu enaknya bagaimana? Biaya konsumsinya tak terlalu mahal kan? Heeeei!! Kau dengar tidak?"
Namjoon mengangkat alis tanpa dosa, "Huh? Oh, ya, terserah. Berapapun tak masalah," tambahnya cepat sebelum Hoseok keburu mengamuk gara-gara diacuhkan, "Kalau perlu, kutanggung konsumsi mereka semua. Ngomong-ngomong, lihat Seokjin tidak? Dari kemarin kok tidak masuk kuliah?"
Ganti Hoseok yang menggerakkan alis skeptis, bola matanya bergeser penuh minat, "Untuk apa cari-cari Seokjin?"
"Aku cuma mau bilang kalau literatur anatomi untuk bimbingannya sudah ada. Baru kupinjamkan dan antrinya lumayan, untung aku kenal seseorang di perpustakaan besar."
Hoseok nyengir sejadi-jadinya, denting iseng di otaknya berdering nyaring, "Ya simpankan saja dulu, gampang kan? Tak usah banyak alasan deh, seluruh kampus juga tahu kalau kau tertarik padanya."
Ekor mata Namjoon meruncing, malas digosipkan, "Ada masalah?"
Sahabatnya mengangkat kedua tangan sejajar dada tanda damai, kuatir ditinju tepat di perut seperti saat mengusili Seokjin memakai belalang minggu lalu. Dua manusia bertubuh besar yang sama-sama punya kekuatan mengerikan. Untung salah satunya sedang tidak di sini, "Nothing, pal. Whatever floats your boat."
"Jadi? Lihat tidak?"
Lengan Hoseok terjulur mengambil donat di piring saji, digigitnya santai sambil berujar kalem diantara kunyahan, "Tidak, coba tanya Jimin," dagunya digerakkan ke arah seorang mahasiswa berpantat seksi yang sedang memilih-milih kue di konter depan, "Kalau tak salah, apartemen mereka bersebelahan. Tunggu, kenapa tidak telepon saja? Kau punya nomornya kan? Jangan bilang belum."
Namjoon mengetuk-ketukkan jemari di atas tutup gelas kopi, gamang. Tentu saja dia punya nomor telepon Seokjin, bahkan kode surat elektrik sekaligus nama akun LINE pemuda berwajah menawan itu. Hanya saja, dia tak pernah menggunakannya karena merasa belum perlu. Toh sejak perkenalan resmi empat bulan lalu, hampir setiap hari mereka bertemu, mengobrol panjang lebar, dan kerap jalan berdua menyusuri koridor. Seringkali Seokjin ikut makan siang atau sekedar minum kopi bersama Namjoon, kadang Hoseok turut bergabung diantara mereka dan bersemangat membantunya menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus, termasuk mengenalkan lingkup pertemanannya yang berasal dari berbagai benua. Maklum, sebagai mahasiswa pindahan di petak barat Columbia, Seokjin masih butuh petunjuk mengenai banyak hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Fiksi Penggemar[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...