Chapter 1

3.3K 232 41
                                    

Namanya Levi Ackerman. Remaja SMA berumur 15 tahun yang baru saja dipindahkan oleh ayahnya ke luar kota kelahirannya. Dari awal, dia sudah menanamkan sugesti bahwa semenjak ibunya meninggal, dia tidak akan bisa bahagia. Hanya sugesti, ingatlah itu!

.
.
.

Fajar menyingsi. Kehangatannya masih kalah oleh dinginnya pendingin ruangan di kamar pemuda berambut hitam legam di dalam balutan selimut tebal. Sudah seminggu sejak kedatangannya ke kota ini. Kehidupannya di Yokohama -kota kelahirannya- sudah sangat sempurna, kenapa ayahnya tega memindahkannya kesini? Ini kota besar, Tokyo.

"Ngh?" lenguh pemuda dalam selimut, merasa tidurnya terusik oleh cahaya matahari yang dengan tidak sopan menerobos masuk lewat celah gorden putihnya.

Kelopak mata pucat terbuka sedikit, menampilkan bulatan hitam kebiruan dengan pupil yang perlahan mengecil akibat pencahayaan. Bulatan tersebut bergulir malas melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.

"Ugh! Jangan ganggu tidurku nanti!" desisnya pada jam tak bersalah.

Tak lama kemudian, jam tersebut berdering nyaring hingga membuat pemuda pucat mendelik ganas. Dengan sekali hentak, baterai jam tersebut terlepas dari tempatnya. Tak lupa aura suram dari pemuda pucat di atas kasur yang mampu membuat seranggapun berpikir seribu kali untuk sekadar lewat di dekatnya.

Masih dengan aura suramnya, kaki mungil berbalut celana tidur menyembul keluar dari selimut dan menempatkannya di atas lantai marmer dingin. Jujur saja, entah kenapa Kenny -ayah Levi- memang berniat membunuh anaknya perlahan karena hiportemia. Jangan heran, karena Kenny memang tidak menginginkan Levi.

Setelah berendam dengan air hangat, Levi keluar dengan keadaan telanjang bulat. Maklum, kan tidak ada siapa-siapa disini. Dengan segera ia memakai seragam sekolah dan berjalan menuruni tangga rumahnya. Bayangkan saja, rumah dua lantai untuk satu orang, bahkan tidak ada pelayan disini. Levi merasa seperti serangga ketika dirinya mendongak, menatap lantai dua dari tengah-tengah ruang keluarga.

Sarapannya sederhana mengingat dia hanya sendiri disini. Levi cukup bersyukur ayahnya membelikan peralatan dapur yang lengkap. Tapi tetap saja terlalu mewah, bukan?

Roti bakar dengan selai cokelat dan strawberi serta susu vanila hangat. Sejak dulu, ayahnya tidak pernah memasakkan sesuatu untuknya, jadi dia memasak untuk dirinya sendiri. Dia sangat mahir untuk pekerjaan rumah.

Selesai sarapan, ia segera bersiap-siap ke sekolah barunya. Jaraknya cukup jauh, tapi Levi tak mau membuang hartanya untuk kegiatan bodoh, menaiki kendaraan contohnya. Dengan adanya kendaraan hanya akan menambah polusi udara dan menghabiskan minyak bumi dengan cuma-cuma. Jalan kaki saja sudah sangat cukup untuknya. Selain hemat uang, menyehatkan juga, iya kan?

Sina International High School. Sekolah swasta megah di tengah-tengah kota besar dengan peraturan ketat. Levi sungguh tidak menyangka akan bersekolah disini. Setidaknya ayahnya mampu membiayai hidupnya sedemikian mewah walaupun dirinya terusir dari hidup ayahnya. Lupakan kenyataan itu. Tujuannya saat ini adalah Ruang Kepala Sekolah.

.
.
.

Lorong panjang ditelusuri oleh kaki jenjang berbalut kain celana seragam. Hentakan sepatu PDH menggema seantero lorong berkat rasa kesal mendalam oleh tubuh mungil tersebut. Kelas Levi berada di lantai empat, sedangkan lift hanya diperuntukkan oleh guru dan karyawan sekolah. Apa-apaan itu? Memang murid-murid sekolah ini dianggap apa?

Am I Your Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang