Al Kahfi Land Office, Depok, 2004
Sejak pagi hingga malam, langit menumpahkan air lebih banyak dari biasanya, seolah ingin membersihkan udara dari polusi pembangunan yang mulai menjepit di luar kawasan hutan pinus.
Kantor telah sepi. Seperti biasa, Widi merupakan salah satu penghuni malam paling setia di kantor Segitiga selain petugas keamanan. Setelah seharian menanti, akhirnya seseorang yang ia tunggu muncul di dunia maya.
"Sukses ya, ngerjain! Tega banget! Dari Bandung ke Depok kan jauh, Wid," tulis Uge.
"Kamu beneran datang?" tanya Widi.
"Iya. Aku udah ketemu sama jalan terusan Kahfi yang ada di sepanjang hutan pinus, di sana enggak ada bangunan sama sekali."
"Mungkin kelewat, posisi kantorku memang enggak dipinggir jalan, kamu harus turun ke bawah, nanti bangunannya baru kelihatan. Tapi gerbangnya besar kok. Oh iya! Aku lupa ngasih tahu nama kantornya! Maaf ya, Ge."
"Aku udah 3 kali bolak-balik, tapi enggak ketemu gerbang. Karena ngelihat ada jalan setapak, aku berhenti. Ternyata itu jalur buat nurunin lembah. Sampai di bawah sana, cuma ada danau dan satu dataran kecil semacam pulau. Kawasan hutan pinus itu memang belum kesentuh bangunan. Aku malah udah ketemu sama yang punya tanah."
Widi bersandar lemas di kursinya, dengan malas, ia mengetik. "Semakin terbukti. Kita memang beda waktu."
"Kenapa nyimpulin gitu sih?"
"Kemarin aku telpon ke kosan, kata Kang Ujang kamu udah pergi 5 tahun yang lalu. Hari ini kamu datang ke kawasan hutan pinus, ternyata kantor aku belum ada."
"Ah itu sih kamu ngarang aja. Ternyata kamu yang terobsesi sama hal lintas waktu."
"Oke, kemarin kamu sempet konfirmasi enggak ke Kang Ujang, kalo dia nerima telpon dari aku?"
"Udah. Katanya, kemarin dia seharian enggak angkat telpon. Lagian nama Ujang kan pasaran banget di Bandung, hehe."
"Kalo gitu, aku salah sambung. Orang yang pakai nama Kang Ujang itu bilang, Oh, Den Uge nu alim seperti ustad, nu getol ka masjid, gondrong, tinggi, kasep tapi awut-awutan, suka di kamar terus dan sebagainya. Maap Neng, Kang Ujang banyak nanya teh, karna takut ketuker sama Den Agi."
Uge terkejut. "Kayaknya kamu bener. Kang Ujang kosan Bodas memang suka nyerocos kaya gitu. Si Agi itu juga memang sering dianggap mirip sama aku, walau sebenarnya enggak."
"Ge, kita memang beda waktu! Kantorku ada di dekat danau itu, persis di depan pulau kecil itu. Hari ini aku sengaja enggak mau ninggalin kantor dan bolak-balik terus ke lobi untuk mastiin ke resepsionis siapa aja tamu yang datang. Kebetulan di catatan mereka, enggak ada tamu yang asing. Kamu tadi datang saat kantor ini belum ada."
Tiba-tiba Pak Jajat datang, ia mengetuk pintu kaca ruangan Widi. Widi tersenyum mempersilakannya masuk.
"Mbak Widi, maaf saya mengganggu nih," ujar Pak Jajat.
"Enggak lah. Ada apa, Pak Jajat?" tanya Widi.
"Mbak Widi dipanggil Pak Erlangga di rumah kotak."
"Tumben. Waduh, serem nih."
"Tadi sih tampangnya lagi adem. Saya ambil payung dulu di depan ya, Mbak."
"Enggak usah Pak Jajat, saya punya jas hujan motor kok," sahut Widi.
"Masa ke rumah Segi Empat pake jas ujan? Entar dikira Bapak, ada astronot, hehe. Tunggu di teras aja, entar saya anterin payungnya."
"Ya udah, terimakasih Pak Jajat," jawab Widi sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu
RomanceUge, mahasiswa I TB, mengenal Widi, arsitek di Al Kahfi Land, melalui Chatting Lintas Waktu. Awalnya mereka tidak percaya berada di waktu berbeda, karena penasaran Uge mendatangi kantor Widi. Ternyata di sana tidak ada satu pun bangunan, Uge hanya...