---
Jimin berjalan santai menelusuri lorong rumah sakit dengan satu bucket bunga tulip biru di tangannya untuk Hosiki hyungnya yang kini tampak begitu serius menekuri sebuah buku tebal di tangannya. Ah, itu modul pelajaran milik Taehyung saat di bangku menengah atas dulu. Apa hyungnya itu berniat menamatkan sekolahnya melalui jalur khusus karena sebelumnya Hosiki hyungnya hanya menamatkan sekolah sampai di tingkat menengah pertama karena kejadian buruk yang menimpa mereka semua dan mengakibatkannya tidak bisa mengenyam bangku sekolah menengah atas hingga saat ini. Hosiki hyungnya masih belum menyadari kehadirannya dan Jimin memilih membiarkan dan sibuk pada game online di ponselnya. Terus begitu sampai hampir satu jam berlalu hingga tengkuk Jimin merasa pegal dan sang hyung yang jatuh tertidur dengan buku modulnya yang tergeletak disampingnya dengan posisi terbuka. Hosiki hyungnya belajar begitu keras untuk bisa memenuhi janjinya.
Seharusnya Jimin tidak perlu melakukannya. Jimin jadi merasa bersalah pada hyungnya. Dia selalu saja menuntut ini dan itu pada hyung itu padahal, jika diingat-ingat kembali, Hoseok belum pernah sekalipun menuntut ini dan itu padanya. Jimin baru menyadari, kalau selama ini dia telah menjadi adik yang buruk untuk Hosiki hyungnya. Lagi dan lagi, Jimin menyesali perbuatannya.
"Maafkan aku, hyung..."
.
.
Hoseok tengah menunggu Namjoon yang tadi sempat pamit untuk pergi ke kamar kecil. Sudah hampir 20 menit berlalu, sahabatnya itu tidak kunjung kembali dan meninggalkannya sendirian di taman rumah sakit padahal sekarang langitnya sudah tidak secerah tadi. Kini berubah kelabu dan siap menumpahkan muatannya kapan saja. Hoseok ingin segera kembali ke ruang rawatnya jika saja kedua tangannya tidak berulah dan berakhir mati rasa. Hoseok hanya bisa pasrah sekarang. Berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya dari tetesan hujan yang mulai menderas.
"Maafkan aku, Sikie. Aku tadi sakit perut, jadi urusanku disana menjadi memakan waktu yang lama. Maaf karena membuatmu menunggu."ucap Namjoon penuh sesal kala keduanya sudah berada di ruang rawat. Hoseok membuang nafas pelan lalu bergumam malas. Sejujurnya dia sedikit kesal pada sahabatnya yang membuatnya nyaris demam karena terlalu lama terguyur air hujan. Salahkan saja lagi Kim Namjoon yang tadi tidak memperbolehkannya membawa ponsel karena niat awal mereka hanya untuk melihat matahari tenggelam di taman rumah sakit. Sekarang, kepalanya sedikit pening dan hidungnya terasa gatal. Sepertinya dia akan terserang flu setelah ini.
"Sikie...kau marah ya ?"tanya Namjoon dengan nada bersalah, menatap Hoseok dengan wajah memelasnya. Hoseok hanya meliriknya sekilas lalu menyahut pendek,"aku tidak."
"Kau jelas marah, Seok. Oh, ayolah aku kan tidak sengaja dan sudah bilang maaf padamu. Kenapa kau mendiamiku sedari tadi. Hoseok-ah, jangan seperti, jebal. Aku tidak bisa kau diami seperti ini..."rengek Namjoon membuat Hoseok mendengus geli lalu menatap Namjoon yang tampak begitu lucu dengan tampang seperti itu. Bukan Kim Namjoon sekali.
"Ck, baiklah aku sudah memaafkan dan tidak marah lagi padamu. Sudah sana pergi mandi. Nanti kau ikutan flu sepertiku."
Mendengar hal itu, Namjoon terperanjat kaget, membolak-balik tubuh Hoseok dan berkali-kali memeriksa suhu tubuh sang sahabat yang memang sedikit berbeda. Lebih tinggi dari sebelumnya."aish, mengapa kau baru mengatakannya. Aku akan memanggil suster Caroline untuk memeriksa kondisimu."Namjoon bersiap bangkit dari duduknya untuk menemui salah satu perawat yang menangani Hoseok untuk memeriksa keadaan sang sahabat namun dia urungkan kala lengannya di tahan oleh sahabatnya itu. Hoseok menggelengkan kepalanya,"tidak perlu. Aku sudah baik-baik saja. Tidak perlu berlebihan seperti itu."
"Tapi, Seok---"
"Sst, diamlah. Kepalaku pening sekali. Lebih baik kau minta nona Kwan membuatkanku teh madu. Tenggorokanku agak sakit sekarang."ujar Hoseok membuat Namjoon mengangguk mengerti, beranjak keluar menemui salah satu petugas yang mengurusi makanan para pasien disana untuk memintanya membuatkan teh madu untuk sahabatnya itu.